YLBHI menilai, peristiwa pembubaran pertemuan para mantan tahanan politik di Jalan Potrosari Tengah No. 10, RT.4/RW.1, Kelurahan Srondol Kulon, Banyumanik, Semarang, adalah gambaran kemunduran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Pembubaran pertemuan oleh pihak kepolisian tersebut menjadi ancaman serius dalam penegakkan demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Pola pikir kepolisian cenderung membangkitkan kesalahan dan kekejaman rezim orde baru atau setidaknya tindakan pihak kepolisian dalam peristiwa tersebut telah membuka lembaran baru peristiwa kebobrokan Negara dalam memperlakukan warga negaranya,” kata Pengurus Yayasan LBH Indonesia (YLBHI),
Jeremiah Limbong, dalam keterangannya, Rabu (19/2/2014).
YLBHI sangat prihatin dengan sikap sewenang-wenang pihak kepolisian, dalam hal ini Kepolisian Sektor (Polsek) Banyumanik dan Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Semarang dalam menyikapi pertemuan warga korban peristiwa 1965, bahkan para peserta sampai dimintai keterangan oleh penyidik, seperti dicurigai layaknya pelaku kriminal.
“Peristiwa pembubaran dan penggiringan untuk penyidikan ke kantor kepolisian tersebut menunjukkan arogansinya pihak kepolisian, bahkan kepolisian menjadi pihak yang memberangus kebebasan berkumpul. Jika polisi sikapnya terus-terusan seperti itu selalu curiga kepada para mantan tahanan politik yang rata-rata sudah lanjut usia, bisa jadi nanti kedepan pihak kepolisian akan menempatkan personilnya di beberapa titik untuk mengawasi gerak-gerik para para mantan tahanan politik,’ kata dia.
Jeremiah Limbong menegaskan seharusnya peristiwa pembubaran tersebut tidak terjadi jika polisi dan warga negara Indonesia pada umumnya memahami bahwa para mantan tahanan politik merupakan korban kemanusiaan akibat kejamnya politik pada saat itu. Bagaimanapun juga para mantan tahanan politik adalah warga Negara yang mempunyai hak yang sama di mata hukum.
“Polisi dan warga negara Indonesia kiranya perlu memahami, bahwa para mantan tahanan politik merupakan korban rezim orde baru yang dituduh sebagai pihak yang terlibat dalam peristiwa tahun 1965, namun peristiwa tersebut sampai saat ini masih simpang siur kebenarannya,”kata dia.
Semestinya, menurut Jeremiah Limbong sebagai bangsa yang berbudaya dan beradab seharusnya menunjukkan sikap hormat kepada mereka-mereka yang sudah lanjut usia. Terlebih jika mengetahui penderitaan mereka selama rezim orde baru yang hak kebebasannya terpasung tanpa proses peradilan yang jelas. Maka sebuah kewajaran jika mereka-mereka saat ini menikmati kebebasannya, toh Negara juga memberikan jaminan terhadap kebebasan warganya untuk berkumpul dan berpendapat.
“Hal tersebut harus dipahami oleh pihak kepolisian, dan polisi harus memandang mereka sebagai sesama warga negara yang punya hak yang sama dan juga berhak mendapat perlindungan yang sama, sehingga tidak memandang mereka sebagai ancaman.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) seharusnya mampu menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum seharusnya menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia, sesuai visi dan misi Polri,” katanya
Sumber : tribunnews.com