Pada hari Senin, 22 April 2019, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan diskusi bedah buku karya aktivis buruh, Khamid Istakhori, yang berjudul “Berlawan! Pengalaman Pengorganisasian Serikat Buruh Kerakyatan di Indonesia.” Khamid Istakhori adalah Sekretaris Jenderal di Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) dan kini sedang menempuh pendidikan hukum di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Buku itu berisi pengalaman dan refleksi Khamid dalam mengorganisir gerakan buruh.
Bedah buku ini dihadiri oleh Khamid Istakhori, selaku penulis; Ilhamsyah, Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI); Arip Yogiawan, Ketua Divisi Kampanye dan Jaringan YLBHI; dan Alviani Sabillah, Ketua BEM STHI Jentera yang membawa prespektif millenial dalam diskusi. Diskusi ini dipimpin oleh moderator Aprilia Lisa Tengker, Pengacara Publik LBH Jakarta yang juga berkecimpung dalam isu perburuhan. Diskusi ini dihadiri sekitar 40 peserta dari kalangan mahasiswa, serikat buruh, maupun masyarakat umum.
Hal yang Jarang Ditulis, Namun Penting untuk Diteruskan
Itulah kesan pertama Ilhamsyah, selaku Ketua KPBI. Ia mengakui memiliki pengalaman yang sama seperti yang dituliskan Khamid dalam bukunya. Menuliskan pengalaman dinilai sangat penting, karena akan memberikan pelajaran ataupun panduan bagi orang lain maupun generasi selanjutnya. Menurutnya, buku yang berisi 10 macam kasus representasi permasalahan buruh di berbagai sektor industri ini bisa menjadi rujukan untuk memahami permasalahan perburuhan di Indonesia untuk mahasiswa maupun para buruh.
Buku ini memberikan pesan penting, bahwa ternyata musuh perjuangan buruh bukan hanya pihak perusahaan atau aparat, melainkan juga dari pihak serikat buruh itu sendiri. Beberapa kasus diantaranya PT Fuji Seat dan PT HPM. Strategi dan taktik perjuangan yang dituangkan dalam buku ini bisa menjadi sumber semangat dan rujukan untuk orang-orang yang sedang berjuang untuk tidak kenal menyerah. Pesan penting lain yang dapat dipetik adalah faktor keberhasilan gerakan buruh, yakni solidaritas, jumlah massa, keberanian, militansi kampanye, pemahaman buruh atas situasi dan rantai produksi serta strategi yang memberikan tekanan kepada perusahaan.
Dari prespektif milenial, Alviani sebelumnya tidak pernah menyangka bahwa fenomena ketidakadilan begitu masif terjadi di sekitarnya. Semasa SMA, yang terpikir hanya bermain dan belajar. Setelah kuliah, barulah Alviani banyak terapapar isu perburuhan, yang menurutnya sungguh miris sekali fenomena tersebut. Padahal peraturan perundang-undangan kita sudah cukup bagus melindungi hak-hak bagi buruh. Akan tetapi implementasinya sangat bermasalah. Bahkan setelah berdiskusi dengan keluarga dan orang terdekat, kejadian yang di dalam buku juga dialami ayahnya yang juga bekerja di sebuah perusahaan.
Menyadari hal itu, menurutnya milenial tidak bisa diam. Media sosial yang sangat erat dalam kehidupan milenial bisa menjadi alat untuk menyuarakan ketiakadilan yang dialami oleh buruh. Sebab, masih banyak orang di luar sana yang belum tahu bahkan skeptis dengan gerakan buruh. Sebagai Ketua BEM, Alviani juga terdorong untuk memobilisasi organisasi terlibat aktif dalam aksi buruh, misalnya pada saat May Day.
Menurut Yogi, kehadiran buku ini menjadi pelengkap buku berjudul “Buruh Menuliskan Perlawanannya.” Buku ini membawa sudut pandang yang lebih luas dalam merefleksikan pengalaman pengorganisasian. Banyak kutub-kutub yang pada umumnya jarang ditampilkan bisa disambungkan dengan baik. Misalnya membangun rasa solidaritas antar buruh yang harus dibangun dari hal sesederhana pendistribusian informasi. Sebab, distribusi informasi yang tidak berjalan baik berakibat partisipasi anggota yang tidak akan berjalan baik pula. Pengalaman bagaimana mengajak isteri para buruh untuk turut melakukan perlawanan. Bahkan menangkis isu rasisme. Walau, kritik yang sama disampaikan oleh Yogi dan Ilhamsyah, bahwa penulis dirasa kurang menuangkan emosinya ke dalam buku, padahal tulisan tersebut sudah memancing amarah pembaca.
Terakhir, penyampaian dari Penulis. Strategi yang dituliskan tidak perlu menjadi kekhawatiran akan ditiru atau diketahui oleh pihak lawan. Pun, selama ini selalu ada “kiriman” Polisi dan TNI yang memantau diskusi dan rapat buruh yang ia pimpin. Khamid juga menyampaikan bahwa gerakan buruh di Indonesia paling maju di Asia Tenggara. Misalnya, pengalamannya dalam mengorganisir buruh yang ia paparkan dalam konferensi internasional di India diadopsi gerakan buruh Myanmar.
Pesan penting yang hendak ditekankan penulis adalah pentingnya ideologisasi, yang dalam gerakan buruh tahun belakangan ia nilai lemah. Bahwa, kepentingan buruh di lapisan bawah selalu sama dan musuh tertinggi adalah kapitalisme yang membuat kehidupan ini runyam. Bukan ras, isu yang sering sadar-tidak sadar gencar dikoarkan. Melawan rasisme adalah salah satu hal yang penting dalam berbicara ideologisasi, ia adalah kunci penting untuk perlawanan buruh. Maka, penting bagi para buruh yang melakukan perjuangan untuk melepaskan segala atribut rasisme, agama, ras suku, bahkan persitegangan pribadi. Solidaritas adalah kiblat tertinggi gerakan buruh, anti rasisme adalah sikap politik.
Sasaran buku ini adalah terkhusus adalah SERBUK sebagai media penguatan internal dan untuk masyarakat luas. Buku ini diharapkan bisa memberikan inspirasi maupun pengetahuan untuk melakukan pengorganisiran buruh, maupun masyarakat luas.
Diskusi ditutup dengan diskusi dan tanya jawab dengan peserta, serta membagikan buku secara gratis kepada penanya terbaik.