Indonesia memiliki salah satu sejarah kelam dalam bidang legislasi, yakni dibatalkannya Undang-
Undang No. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian. Tidak tanggung-tanggung, Mahkamah Konstitusi
membatalkan secara sapu bersih seluruh materi mautan Undang-Undang tersebut pada Mei 2014
lalu. Disebut sejarah kelam karena tentu dibatalkannya secara sapu bersih Undang-Undang ini
merupakan bentuk keteledoran para perancang undang-undang. Tak lain tak bukan tentu saja
Pemerintah dan DPR. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pun mengamanatkan Pemerintah dan
DPR untuk segera membuat undang-undang perkoperasian yang baru.
Belakangan, draft RUU Perkoperasian yang baru tersebut mencuat ke publik. Akan tetapi,
muatannya dianggap masih mengulangi kesalahan yang sama seperti materi muatan dalam Undang-
Undang No. 17 Tahun 2012, yang dibatalkan sebelumnya. Oleh sebab itu, pada Selasa, 27 Agustus 2019, YLBHI pun memfasilitasi penyelenggaraan diskusi publik mengenai RUU Perkoprasian dan Matinya Demokrasi Ekonomi
Indonesia dengan menghadirkan berbagai pihak dari latar yang beragam. Dari Pemerintah hadir
Luhur Pradjarto (Deputi Kelembagaan Kementrian Perkoperasian dan UKM), dari parlemen hadir
Edhy Prabowo (Anggota DPR RI Komisi IV), dari akademisi hadir Nining Soesilo (Dosen Fakultas
Ekonomi Univesitas Indonesia), dari praktisi hadir Mikael (Ketua Pengurus Keling Kumang Group),
dari civil organization hadir Soeroto (Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis), dan hadir pula
advokat yang membawa Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 ke meja sidang Mahkamah Konstitusi,
M. Isnur (Ketua YLBHI Bidang Advokasi). Jalannya diskusi ini dimoderatori oleh Elvita Trisnawati.
Pemerintah: RUU Perkoperasian Hadir untuk Menjawab Perkembangan Perekonomian Global dan
Sudah Sesuai Prosedur Legislasi
Menurut Luhur Pradjarto, RUU Perkoprasian ini hadir sebagai bentuk respon negara terhadap
perkembangan perekonomian. Penyusunan RUU ini pun sudah sesuai dengan prosedur
pembentukan undang-undang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta
menyesuaikan dengan asas-asas koperasi. Bahkan, proses penyusunan juga sudah melibatkan
akademisi maupun organisasi gerakan koperasi. Terdapat 3 kementerian yang terlibat dalam
penyusunan RUU Perkoperasian, yakni Kementrian Koperasi dan UKM, Kementrian Keuangan, dan
Kementrian Hukum dan HAM.
DPR: RUU Perkoperasian Belum Meletakan Koperasi pada “Maqom” yang Tepat
Edy Prabowo memulai pemaparannya dengan kilas balik sejarah perjalanan koperasi. Pada tahun
1998, MPR mengeluarkan TAP MPR No. 16 tahun 1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka
Demokrasi Ekonomi. TAP ini lahir sebagai perwujudan dan pengakuan bahwa selama 30 tahun
sebelumnya Indonesia menjalankan ekonomi tidak sesuai amanat konstitusi, yakni pasal 33 ayat (1)
UUD 1945.
Secara eksplisit, TAP MPR No. 16/1998 menyatakan:
UKM dan Koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional harus memperoleh kesempatan utama,
dukungan, perlindungan dan perkembangan sebagai perwujudan keberpihakan ekonomi rakyat
tanpa mengabaikan badan usaha milik negara.
Menurut Edhy Prabowo, berdasarkan TAP MPR ini maka seharusnya badan usaha milik negara tidak
memiliki hak untuk berusaha atau mengelola sumber daya alam jika tidak bermitra dengan UKM
atau koperasi. TAP MPR ini seharusnya menjadi konsiderans utama dalam perumusan RUU
Perkoperasian.
Akan tetapi, amandemen keempat UUD 1945 menjadi lonceng kematian koperasi. Yakni dengan
dinyatakan bahwa UUD 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal, yang artinya
mengenyampingkan penjelasan. Padahal koperasi termaktub jelas dalam penjelasan. Lonceng
kematian yang lain hadir melalui Undang-Undang Kementerian yang meletakan Kementerian
Perkoprasian sebgai Kementerian Kelas III yang keberadaannya bergantung pada presiden dengan
anggaran kurang dari 1 triliun.
Kemudian soal DEKOPIN, Edhy Prabowo menyadari adanya perubahan substansial mengenai
pengaturan DEKOPIN dalam RUU Perkoperasian ini. Misalnya dengan menjadikan DEKOPIN sebagai
satu-satunya wadah tunggal dan mendapat APBN. Hal demikian menurutnya adalah pelanggaran
terhadap konstitusi yang menjamin kebebasan berkumpul dan berserikat. Ia juga menolak
mekanisme pembiayaan APBN untuk DEKOPIN. Perlu diingat, terdapat surat dari Kementerian
Keuangan yang menyatakan supaya frasa “dana dari APBN dan APBD” didalam draft RUU disertai
kata “dapat”. Akan tetapi tidak ditindaklanjuti. Padahal menurutnya, surat Kementrian Keuangan
tersebut memiliki kekuatan sama mengikat dengan Keputusan Presiden karena Kementrian
Keuangan adalah Chief Financial of the State dan Kuasa Presiden.
Edhy Prabowo menegaskan, ia selaku anggota DPR RI Komisi VI maupun fraksinya –PDIP– sudah
memilik standing position yang jelas untuk menolak RUU Perkoperasian ini.
Akademisi: Skema DEKOPIN dalam RUU Perkoperasian Menjadikan Ia Sangat Monopolis dan
Tidak Relevan
Nining Soesilo memaparkan data dari Kementrian Perkoperasian dan UKM pada 2017 menyatakan
ada sekitar 32.000 koperasi yang dibubarkan. Pembubaran itu disebbakan karena koperasi tidak
memiliki bargaining position maupun karena koperasi itu abal-abal. Political will Pemerintah saat ini
adalah menginginkan biar jumlah koperasi itu sedikit asal benar dan bisa diandalkan.
Nining Soesilo menyoal SHU menggunakan diagram hasil penelitiannya. Menurutnya, SHU Koperasi
ditentukan oleh beberapa variabel. Salah satu yang menentukan adalah Manajemen, dan yang
menaikan SHU adalah pendapatan asli derah dan nilai tambah kegiatan komunikasi. Menurut Nining,
dari diagram tersebut terlihat memiliki koperasi memiliki kaitan erat dengan pemerintah. Saat
pemerintah memiliki uang yang banyak maka koperasinya menjadi baik. Begitu pula sebaliknya.
Barangkali itu juga bisa menjadi faktor utama pemerintah banyak membubarkan koperasi.
Kemudian menyoal skema DEKOPIN dalam RUU Perkoperasian, menurt Nining DEKOPIN bersifat
monopolis. Terlebih, apabila ia mendapatkan ABPN ia akan semakin besar monopolinya. Dalam
dunia perbankan ada istilah too big too fail. Nah, untuk skema DEKOPIN perlu berefleksi dengan
istilah too big too fail tersebut. Nining juga mengkritisi sifat monopoli yang dimiliki DEKOPIN,
sedangkan ia tidak ada memiliki dewan etika. Jadi kalau ada masalah, mekanisme penyelesaiannya
belum jelas.
Praktisi: Koperasi Itu Dari, Oleh, dan Untuk Masyarakat, Bukan Menadah APBN
“Dengan adanya penolakan terhadap RUU Perkoperasian ini secara nasional, apakah Pemerintah
dan DPR akan bersenang hati untuk melihat dan membahas UU ini?” Sarkas Mikael.
Sebagai praktisi, Mikael meragukan keseriusan Pemerintah dalam penyusunan RUU Perkoperasian
ini, mengingat masih mengulangi hal yang sama seperti UU yang dibatalkan sebelumnya. Pemerintah
seakan tidak belajar dari sejarah kelam legislasi tersebut.
Secara praktik, Mikael sebagai praktisi koperasi yang telah memiliki puluhan ribu anggota dan
belasan triliun aset, tidak pernah merasakan dampak dari keberadaan DEKOPIN. Ribuan anggota dan
triliunan aset itu adalah hasil dari tidak pernah mendapatkan APBN maupun LPDB karena prinsip
yang diterapkan adalah gotong royong.
Ia menghargai semangat Pemerintah dan DPR untuk memperbaiki sejarah kelam legislasi mereka.
Akan tetapi esensi RUU ini bukan soal keberhasilan atau mahkota DPR saja karena esensi RUU
Perkoperasian ini adalah nafas hidupp atau matinya Demokrasi Ekonomi kita.
Advokat Penguji UU Perkoperasian: RUU Perkoperasian Bukan Soal Koperasi Saja, Tetapi
Momentum Penghidupan Demokrasi Ekonomi
Pertama, menurut Isnur, banyak yang tidak menyadari bahwa demokrasi bukan sebatas soal hak
pilih saja. Demokrasi juga harus meresap dalam sistem perekonomian kita. Demokrasi ekonomi tidak
pernah dibahas dalam pidato ketatanegaraan maupun kampanye politik. Diskusi mengenai RUU
Perkoperasian ini harus menjadi momentum kita untuk menjadikan istilah demokrasi ekonomi
mainstream dalam keseharian kita. Sebab demokrasi ekonomi adalah nafas perekonomian kita yang
dijamin jelas dalam UUD 1945 Pasal 33, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama dengan asas
kekeluargaan…”
Jika ditelusuri secara historis, dalam bukunya Hatta, landasan filosofis apa yang dimaksud dengan
asas kekeluargaan dalam pasal tersebut? Ya wujudnya adalah koperasi. Maka, jika kita hendak setia
dengan konstitusi, koperasi adalah bahasa utama dalam Menko Perekonomian dan Perekonomian
Indonesia. Maka, seharunsya RUU Perkoperasian ini tidak hanya dibahas oleh 3 kementrian saja,
melainkan melibatkan Kementerian BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian SDM,
Kementrian Pertanian dan segala Kementerian yang berdimensi ekonomi.
Kedua, Menurut Isnur RUU Perkoperasian saat ini tidak menimbang kecelakaan sejarah besar
pembuat undang-undang yang amburadul, yakni pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013 yang membatalkan secara keseluruhan Undang-Undang No. 17
Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Akibatnya, kesalahan yang sama diulang kembali. Isnur
menguraikan sebagai berikut:
1. Mengenai definisi. Apabila pembuat undang-undang mengacu pada putusan MK, maka
seharusnya istilah di dalam Pasal 56, 57, 122, 123, 130, 133 RUU ini tidak akan ada yang
menyebutkan istilah penyertaan, pembiayaan, hibah dari pemerintah, modal dan
sebagainya. Sebab, MK telah menegaskan bahwa istilah tersebut digunakan dalam badan
hukum PT. “Apabila RUU ini disahkan dan akan kembali di-JR, maka MK pasti akan setia pada
putusannya dan membatalkan UU ini”, tegas Isnur.
2. Mengenai DEKOPIN. Untuk mempertahankan kemandirian dan kebebasan koperasi,
DEKOPIN seharusnya tidak boleh ada lagi, karna dianggap sebagai intervensi pihak lain
kepada koperasi. Apalagi ada iuran yang harus dibayarkan ke DEKOPIN, hal itu tidak relevan.
3. Mengenai sanksi. RUU Perkoperasian ini memiliki semangat pemenjaraan. Terlihat dari
misalnya salah satu tindakan yang diberi sanksi adalah apabila ada orang mengaku-ngaku
berkoperasi maka diancam pidana penjara 5 tahun. Padahal kenyataannya, ada koperasi
yang dijalankan di sekolah menengah maupun universitas dalam rangka praktik
pembelajaran mereka di kelas. Banyak hal yang rawan akan dipidanakan dengan ketentuan
ini. Toh, ketentuan yang serupa dalam UU Advokat yang memberi ancaman pidana bagi
barangsiapa yang mengaku-ngaku advokat juga sudah dibatalkan oleh MK.
Menurut Isnur, yang membuat kita masih bersandar pada UU Perkoperasian tahun 1992, dan proses
pembuatan UU Perkoperasian yang tidak kian tembus dari dulu hingga kini disebabkan banyaknya
“iblis” yang membisikan para penyusun undang-undang agar mereka bisa bermain uang melalui
kebijakan yang tertuang dalam undang-undang tersebut.
Civil Organization: Berbagai Negara Sudah Merasakan Kemajuan Ekonomi dengan Koprasi,
Kenapa Indonesia Malah Meng-subordinatkannya?
Suroto memaparkan, pada zaman kolonial, Pemerintah Belanda menerbitkan ‘lonceng ekonomi’
melalui Agrarisch Wet yang melahirkan kemiskinan bagi rakyat pribumi. Reaksi atas kemiskinan
tersebut adalah masyarakat hendak membangun kelembagaan yakni koperasi. Namun, Pemerintah
Belanda menentang keras upaya tersebut. Sebab, Pemerintah Belanda sadar apabila rakyat pribumi
membangun koperasi, maka merek amembangun kemandirian ekonomi, dan apabila mereka
membangun kemandirian ekonomi maka pribumi akan memiliki kemauan dan kemampuan untuk
melawan pemerintah kolonial kala itu.
Suroto juga menyampaikan kritknya atas RUU Perkoperasian ini:
1. Konsideran/ pasal langit RUU Perkoperasian ini memang sudah mengutip dan meng-
acknowledge soal demokratisasi ekonomi. Akan tetapi, batang tubuhnya merusak semua roh
konsideran tersebut.
2. Skema DEKOPIN yang dibangun dalam RUU Perkoperasian ini seakan membangun sebuah
lembaga yang bersifat memeras, yang mana hal itu juga bertentangan dengan prinsip
ekonomi islam.
3. Tujuan RUU Perkoperasian ini hendak melindungi dan memelihara kekeluargaan koperasi.
Akan tetapi, RUU ini malah meletakkan koperasi sebagai subordinat. Misalnya dengan
menyebut bahwa Koperasi bisa mendapatkan CSR dan bantuan dari BUMN. Dari sini Suroto
dapat membaca bahwa politik ekonomi negara ini keliru. Karakter koperasi terdasar adalah
otonomi dan keswadayaan dan kemandirian. Seharusnya RUU ini mengadopsi praktek yang
sudah terjadi. Bukan membuatnya bergantung pada APBN, CSR ataupun bantuan BUMN.
“Harusnya, BUMN itu lah yang menggunakan sistem koperasi”, tegas Suroto. Sebab,
menurutnya amanat Soekarno kala memberikan politik ekonomi BUMN adalah transformasi
dari kepemilikan negara menuju kepemilikan rakyat.
4. Ada upaya untuk menyembunyikan ketentuan yang menjebak di dalam RUU Perkoperasian
ini. Misalnya, kata “dekopin” ditulis dengan huruf d kecil.
Suroto juga menceritakan praktik di berbagai negara yang maju ekonominya karena koperasi.
Misalnya di Amerika, ada perusahaan yang dijalankan dengan sistem koperasi bernama Sunkist, yang
kegiatan ekonominya telah merancah 141 negara. Mereka selalu distribusi profit mereka kepada
petani jeruk. Di Singapore, kegiatan koperasi diberi insentif tax free. Sedangkan di Indonesia malah kebalikannya, bukan diberi tax free tapi malah disuruh membayar iuran kepada DEKOPIN.
Di Amerika Serikat, 41 negara bagiannya diteringai oleh perusahaan listrik yang menggunakan sistem koperasi. Rumah Sakit terbesar di Amerika Serikat juga menggunakan sistem koperasi. Bahkan, 74%
keuangan Jerman dikuasai oleh koperasi–sisanya dikuasai oleh swasta dan BUMN. Dengan kemajuan
ekonomi seperti itu, wajar saja jika United Nation pada tahun 2016, menyebutkan koperasi adalah
entegible herritage atau situs warisan dunia tak benda.
Pernyataan-pernyataan narasumber di atas menjadi pemantik diskusi yang hangat dengan audiens.
Sebab, audiens yang datang tidak hanya dari Jakarta, ada yang dari Kalimantan, bahkan dari
DEKOPIN sebagai pihak yang banyak dikiritisi juga hadir. Terdapat lebih dari 60 peserta yang datang.
Namun, diskusi tetap berjalan lancar dan ditindaklanjuti dengan aksi konkret untuk merespon isu
RUU Perkoperasian ini.
Pada intinya, RUU Perkoperasian yang masih bermasalah ini adalah pintu masuk yang baik untuk kita
menyadari nafas sistem ekonomi yang diamanatkan oleh konstitusi. Bahkan, menjadi pengingat pula
untuk dunia pendidikan yang pembelajaran mengenai koperasi kian redup. Diskusi ini juga menjadi
momentum yang membuat kita sadar masih banyak PR untuk perbaikan sistem ekonomi,
pendidikan, bahkan mekanisme bisnis dan pembangunan ekonomi di negara kita.