Masalah Kepolisian RI Kian Mengemuka: Menjadi Ancaman Demokrasi dan Alat Penguasa Untuk Memukul serta Merampas Hak-Hak Rakyat

HUT Polri ke 78

Press Rilis LBH-YLBHI pada HUT Bhayangkara 78:
Masalah Kepolisian RI Kian Mengemuka:
Menjadi Ancaman Demokrasi dan Alat Penguasa Untuk Memukul serta
Merampas Hak-Hak Rakyat

Di ulang tahunnya yang ke-78, dan 25 tahun reformasi yang memandatkan pemisahan POLRI dari ABRI secara institusional, terdapat beberapa catatan kritis YLBHI. YLBHI memandang agenda reformasi Polri faktanya hanya tertinggal di atas kertas dan gagal dalam implementasinya. Kegagalan utama adalah tidak berhasil menjadi lembaga yang menghormati hak asasi manusia dan demokrasi.

Polri sebagai alat negara diharapkan menjamin perlindungan HAM dan mengayomi warga kini justru menjadi “alat kekuasaan” yang represif, brutal, arogan dan menjadi pelanggar hukum dan HAM demi melancarkan akumulasi modal maupun politik. YLBHI menyoroti tema HUT Bhayangkara 2024 “Polri Presisi Mendukung Percepatan Transformasi Ekonomi Yang Inklusif dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas.” Tema yang diusung semakin menunjukkan visi kepolisian yang semakin menjauh dari cita kepolisian sebagai penegak hukum dan pengayom warga yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menunjukan keberpihakannya kepada kekuasaan dan modal.

Dukungan terhadap percepatan transformasi ekonomi yang inklusif tersebut ternyata dimaksudkan untuk lebih ramah kepada para investor/pemodal di satu sisi, sekaligus brutal terhadap rakyat yang mempertahankan sumberdaya kehidupannya. Berdasarkan data YLBHI-LBH, sepanjang tahun 2019 – Mei 2024 setidaknya terdapat 95 kasus kriminalisasi yang menjerat ratusan korban dari latar belakang petani, buruh, akademisi, jurnalis, hingga mahasiswa. Di tahun 2022-23, YLBHI-LBH mencatat terdapat 46 kasus penyiksaan dengan jumlah korban sebanyak 294 orang. Sedangkan selama tahun 2020 – 2023, terdapat 24 korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di dalam tahanan kepolisian yang ditangani oleh LBH-LBH Kantor. Pembunuhan di luar proses hukum tersebut semuanya terjadi dengan cara penyiksaan yang sebagian besar dilakukan oleh anggota kepolisian atau dikomandoi oleh aparat kepolisian. Tak Pelak, Kepolisian menjadi lembaga dominan yang paling banyak dilaporkan sebagai pelanggar HAM di Komnas HAM dan pelaku maladministrasi di Ombudsman RI dalam satu dekade terakhir.

Tidak berhenti pada aktifnya polisi menjadi pelayan para pemodal dan alat kekuasaan yang menggerus ruang kebebasan sipil rakyat dan demokrasi Indonesia, Polri juga semakin dalam melibatkan diri pada praktek-praktek bisnis dan politik. Di sektor bisnis, aparat kepolisian kerap kali terlibat dalam “bisnis keamanan” untuk melindungi kepentingan privat seperti perkebunan kelapa sawit maupun tambang–baik legal maupun ilegal. Keterlibatannya mulai dari aktif sebagai pengaman wilayah hingga pemodal. Keterlibatan bisnis polisi juga meluas ke sektor narkoba seperti halnya ditunjukkan dalam kasus Teddy Minahasa. Sedangkan di sektor politik, aparat kepolisian terlibat dalam politik praktis Pemilu seperti halnya dengan mengkampanyekan secara aktif salah satu calon Presiden tertentu dalam Pemilu 2024 lalu. Bahkan mencalonkan diri sebagai kepala daerah kendati masih aktif menduduki jabatan kepolisian.

Di sisi lain, Polri yang diharapkan dapat menjadi tempat pengaduan masyarakat jika mereka mengalami kekerasan dan membutuhkan perlindungan justru sulit diharapkan. Seperti halnya praktik kekerasan, kasus penyiksaan, pembubaran serikat (union busting), maupun pelaporan kekerasan seksual yang dihadapi korban sulit mendapatkan keadilan. YLBHI LBH merefleksikan sulitnya penerapan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual karena minimnya pemahaman keadilan gender aparat kepolisian. Tak jarang, banyak kepolisian yang justru masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai rujukan hukum penanganan kasus kekerasan seksual. Kondisi tersebut menghasilkan mangkraknya pelaporan kasus dan hilangnya akses korban mendapatkan keadilan. Parahnya, kita terus mendengar aparat kepolisian menjadi pelaku kejahatan namun kerapkali mendapatkan keistimewaan hukum bahkan kebal hukum. Tidak berjalannya pengawasan di internal maupun eksternal kepolisian membuat Kepolisian mendapatkan impunitas.

Anehnya, paradoks yang muncul, di pertengahan tahun 2024 ini, ancaman untuk mengontrol ruang kebebasan sipil untuk kepentingan kekuasaan dan modal semakin berbahaya. Saat ini ada upaya revisi kilat Undang-Undang Polri yang dirancang secara tertutup dan tergesa-gesa melalui pengajuan inisiatif DPR. Di dalam draft revisi tersebut, Polri akan diberikan kewenangan ekstra untuk menjadi lembaga superbody dengan pemberian hak hukum untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap ruang siber (Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q)). Pasal ini memberikan kewenangan untuk mematikan jaringan internet kepada Polri. RUU Polri juga memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki Polri sampai melebihi lembaga lain yang mengurus soal intelijen (Pasal 16A). Polri juga diberi wewenang lebih untuk melakukan penyadapan (Pasal 14 ayat (1)) tanpa adanya dasar hukum undang-undang penyadapan. Yang mengkhawatirkan, tidak ada mekanisme pengawasan yang diatur untuk memastikan kewenangan-kewenangan tersebut dijalankan sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia. Sebelumnya, di Undang-Undang Aparatus Sipil Negara yang baru saja direvisi dan disahkan, anggota Polri aktif dapat mengisi jabatan sipil di 11 kementerian dan lembaga instansi pusat.

Merujuk pada situasi di atas, pada ulang tahun ke-78 Polri hari ini LBH-YLBHI mendesak kepada Pemerintah dan DPR untuk:
1. Melakukan evaluasi atau audit menyeluruh terhadap kelembagaan, kewenangan maupun pengelolaan anggaran yang justru menghasilkan kegagalan substantif reformasi institusi kepolisian yang justru menjadikan Polisi lembaga negara superbody yang mengancam demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia;
2. Memperkuat mekanisme pengawasan kepolisian RI baik internal dan eksternal untuk mendorong profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas kepolisian;
3. Membatasi kewenangan dan pendanaan polisi yang begitu besar tapi minim pengawasan maupun transparansi dan akuntabilitas agar kepolisian tidak justru menjadi lembaga yang koruptif dan aktif melakukan abuse of power;
4. Segera menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Polri yang akan menjadikan Polisi menjadi lembaga superbody tanpa pengawasan yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia serta mengembalikan praktek Dwifungsi Abri yang berpotensi membuka ruang anggota Polri berpolitik praktis;
4. Segera melakukan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas serta memperkuat check and balances sistem penegakan hukum Pidana;
5. Menyerukan kepada seluruh warga negara indonesia untuk terus bersuara lantang menuntut upaya serius negara mengembalikan fungsi kepolisian sebagai lembaga penegak hukum yang memperkuat demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia, bukan justru sebaliknya;

Jakarta, 01 Juli 2024

LBH-YLBHI (LBH Papua, LBH Banda Aceh, LBH Pekanbaru, LBH Medan, LBH Palembang, LBH Padang, LBH Lampung, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Samarinda, LBH Palangkaraya, LBH Kalimantan Barat, LBH Manado, LBH Makassar)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *