Siaran Pers
Nomor : 006 / SP-LBH-Papua / V / 2024
PENANGKAPAN TERHADAP PELAJAR DAN INTROGASI TERHADAP GURU AKIBAT TINDAKAN MENCORET PAKAIAN SERAGAM BERMOTIF BINTANG KEJORA ADALAH TINDAKAN ILEGAL
“Kapolri Segera Perintahkan Kapolda Papua Proses Hukum Oknum Polisi Pelaku Pelanggaran Kode Etik Di Dogiai dan Tindak Pidana Terhadap Pelajar Di Nabire”
Pada prinsipnya euforian perayaan kelulusan pelajar di Tanah Papua yang diekspresiakan dengan mencorek baju seragam sekolah bermotif Bintang Kejora dan selanjutnya ditangkan itu terjadi sejak tahun 2022 di Polres Jayapura, di Polres Jayapura dan Polres Nabire di Tahun 2023 dan saat ini di tahun 2024 di Polres Nabire. Diatas fakta penangkapan atas dasar tindakan mencorek baju seragam sekolah bermotif Bintang Kejora tersebut sendiri menjadi pertanyaan terkait apa dasar hukum pihak kepolisian membatasinya sebab Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya sebagaimana diatur pada Pasal 28e ayat (2), UUD 1945.
Sampai saat ini belum ada satupun pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang Undang lainnya yang menegaskan bahwa “apabila ada warga Negara yang mengunakan pakaian atau gelang ataupun noken ataupun benda-benda apapun yang bermotif bintang kejora dihukum dengan pidana”. Apabila yang dijadikan dasar adalah Pasal 6 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah yaitu Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana dalam penjelasannya disebutkan Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku sebagaimana pada penjelaan Pasal 6 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang lambing daerah maka yang perlu dipahami bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambing Daerah tidak ada ketentuan pidananya.
Selain itu tentunya aneh sebab di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Bendera Bulan Sabit dijadikan lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dijadikan lambing Partai Aceh dan sampai saat ini ketikan Bendera Bulan Sabit dinaikan oleh Kader atau Pengurus Partai Aceh tidak ada satupun yang ditangkap. Anehnya di Papua ketika pelajar mencorek baju seragam sekolah bermotif Bintang Kejora ditahan dan bahkan ditembak dan mendapatkan tindakan kekerasan. Ini adalah fakta tindakan dikriminasi dalam penegakan Pasal 6 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah.
Untuk diketahui bahwa Bintang Kejora adalah bagian langsung dari Sejarah Politik Papua dimana dalam peraturan perundang undangan terdapat pengakuan atas Sejarah Politik Papua yang harus diluruskan dengan cara membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana diatur pada pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua yang sejak tahun 2001 sampai saat ini tahun 2024 belum dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Dengan demikian sudah dapat disimpulkan bahwa tindakan penangkapan terhadap 1 Mahasiswa Universitas Satya Wiyata Mandala dan 14 (empat belas) Pelajar Nabire yang ditahan Polisi Resort saat konvoi kelulusan dari Kali Bobo menuju Bumi Wonorejo telah dibebaskan pada Selasa, (07/05), malam. Selanjutnya 14 orang telah dibebaskan pada pukul 23:40 Waktu Papua, sementara Darius Goo yang adalah mahasiswa ditahan sampai pukul 03:00, subuh (Baca : https://www.thepapuajournal.com/tahan-papua/69812615649/14-pelajar-dan-1-mahasiswa-di-nabire-dibebaskan-lbh-tkp-hentikan-penangkapan-liar) serta aksi siswa SMA Negeri 2 Dogiyai, Papua Tengah yang merayakan kelulusan menggunakan busana bergambar Bintang Kejora. Selanjutnya Kepala sekolah (Kepsek) dan 4 guru SMAN 2 Dogiyai diperiksa terkait kejadian tersebut (Baca : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240508080226-12-1095250/siswa-pawai-bintang-kejora-polisi-periksa-kepsek-guru-sma-dogiyai.) merupakan tindakan yang tidak berdasarkan dengan hokum karena tidak adalah pasal dalam KUHP maupun Undang Undang lainnya yang mengatur tentang apabila ada warga Negara yang mengunakan pakaian atau gelang ataupun noken ataupun benda-benda apapun yang bermotif bintang kejora dihukum dengan pidana. Berdasarkan fakta yuridis tersebut, sudah dapat disimpulkan bahwa fakta penangkapan dan klarifikasi yang dilakukan secara sewenang-wenang karena persoalan yang menjadi dasar penangkapan dan klarifikasi bukan merupakan tindak pidana dan dilakukan tanpa mengunakan mekanisme penangkapan dan pemangilan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Atas dasar tindakan penangkapan dan klarifikasi yang tidak prosedural karena bukan sebagai tindak pidana maka jelas-jelas melaluinya menunjukan fakta penyalahgunaan kewenangan yang merupakan tindakan pelanggaran kode etik karena bertentangan dengan ketentuan “Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang menyalahgunakan wewenang” sebagaimana diatur pada Pasal 6 huruf q, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Diatas fakta tindakan penangkapan dan klarifikasi yang tidak prosedural karena bukan sebagai tindak yang merupakan tindakan Pidana pelanggaran Disiplin Anggota Kepolisian anehnya adalah ada penyalahgunaan senjata api mapun tindakan kekerasan saat melakukan tindak penangkapan sewenang-wenang terhadap 14 Pelajar di Nabire sesuai dengan pengakuan sebagai berikut pihak Polisi saat membubarkan paksa pelajar yang konvoi merayakan kelulusan UN SMK/SMA sederajat di Nabire melakukan penembakan terhadap pelajar menggunakan gas air mata, dan diduga melakukan penembakan peluru tajam. Dalam kejadian penangkapan itu dikabarkan ada yang mengalami luka. Tidak hanya itu, pihak kepolisian Nabire juga memeriksa 14 pelajar dengan cara meminta para pelajar membuka baju, dimintai Handphone milik pelajar serta aksesoris lainnya. (Baca : https://www.thepapuajournal.com/tahan-papua/69812615649/14-pelajar-dan-1-mahasiswa-di-nabire-dibebaskan-lbh-tkp-hentikan-penangkapan-liar).
Dalam konteks Penangkapan terhadap 14 Pelajar dan 1 Mahasiswa yang dilakukan tanpa mekanisme sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (1), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sehingga menjadi fakta tindakan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana dilarang sesuai Pasal 6 huruf q, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pada prinsipnya tindakan penembakan terhadap pelajar menggunakan gas air mata, dan diduga melakukan penembakan peluru tajam merupakan fakta tindakan pelanggaran “Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggitingginya dua-puluh tahun” sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (1), Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Sementara tindakan kekerasan terhadap pelajar merupakan tindakan yang masuk dalam kategori tindak Pidana Penganiayaan jika dilakukan oleh satu orang terhadap pelajar sesuai dengan ketentuan “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah dan Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun” sebagaimana diatur pada Pasal 351 ayat (1) dan ayat (2) KUHP namun jika tindakan kekerasan terhadap pelajar dilakukan oleh lebih dari satu orang maka masuk dalam kategori tindak pidana pengeroyokan sesuai ketentuan “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan” sebagaimana diatur pada Pasal 170 KUHP.
Berdasarkan uraian diatas sudah dapat disimpulkan bahwa Peristiwa penangkapan terhadapat 14 pelajar dan 1 Mahasiswa di Nabire dan Klarifikasi terhadap 4 orang guru di Kabupaten Dogiai semuannya dilakukan tanpa alasan yang jelas sebab tidak aturan pidana terkait “apabila ada warga Negara yang mengunakan pakaian atau gelang ataupun noken ataupun benda-benda apapun yang bermotif bintang kejora dihukum dengan pidana”. Selanjutnya justru melalui tindakan penangkapan dan Klarifikasi yang dilakukan secara sewenang-wenang menunjukan fakta tindakan Pelanggaran Kode Etik Kepolisian. Diatas fakta itu, anehnya ada oknum Anggota Polisi di Resort Nabire yang melakukan tindakan Pidana Penyalahgunaan Senjata Api serta Tindak Pindana Penganiayaan atau Tindak Pidana Pengeroyokan terhadapa Pelajar di Nabire. Dengan demikian maka semua oknum Pelaku Pelanggaran Kode Etik Kepolisian dan Tindak Pidana wajib di Proses hokum demi memenuhi hak atas keadilan bagi Para Korban sembari mewujudkan prinsip “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil” sebaimana diatur pada Pasal 28d ayat (1), UUD 1945 serta perlakuan yang sama di hadapan hukum agar tidak terjadi Kriminalisasi dan Tindakan Pelanggaran Hukum hanya karena Bintang Kejora dikemudian hari.
Atas dari itu mka kami, Lembaga Bantuan Hukum Papua mengunakan kewenangan yang diberikan sesuai ketentuan “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan kepada :
- Presiden Republik Indonesia segera mebentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk melakukan pelurusan sejara politik papua sesuai perintah Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 agar tidak ada praktek kriminalisasi dan Pelanggaran Hukum terhada Masyarakat Papua mengunakan Bintang Kejora;
- Kapolri segera Perintahkan Kapolda Papua mendidik anak buahnya untuk tidak mengunakan Stiqma Bintang Kejora sebagai dasar tindak kriminalisasi maupun melegalkan tindakan pelanggaran hokum terhadap pelajar maupun Warga Papua;
- Kapolda Papua segera perintahkan Kapolres Nabire dan Kapolre Dogiyai untuk proses hokum oknum polisi pelaku Pelanggaran Kode Etik Terhadap Guru di Polres Dogiayai dan 14 Pelajar serta 1 Mahasiswa di Nabire;
- Kapolres Nabire segera proses hokum oknum Polisi pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Senjata Api, Tindak Pidana Pengeroyokan dan Tindakan Penganiayaan terhadap Pelajar di Nabire.
Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.
Jayapura, 9 Mei 2024
Hormat Kami
LEMBAGA BANTUAN HUKUM PAPUA
EMANUEL GOBAY, S.H.,MH
(Direktur)