Darurat Pelanggaran dan Kekerasan Aparat dalam Aksi Demonstrasi

WhatsApp Image 2024-09-17 at 16.08.40

Siaran Pers

Darurat Pelanggaran dan Kekerasan Aparat dalam Aksi Demonstrasi

 

Dalam rentang waktu tanggal 22 Agustus hingga setidaknya tanggal 26 Agustus 2024 lalu warga masyarakat melakukan aksi demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia. Aksi demonstrasi tersebut dilatarbelakangi karena sebelumnya pada tanggal 21 Agustus terdapat upaya oleh Pemerintah bersama dengan Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) menganulir 2 (dua) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan pada tanggal 20 Agustus. Kedua putusan MK tersebut adalah Putusan No. 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan No. 70/PUU-XXII/2024. Upaya penganuliran Putusan MK oleh Baleg DPR dan Pemerintah dianggap oleh berbagai golongan masyarakat sebagai pembangkangan terhadap konstitusi.

Dalam Putusan No. 60/PUU-XXII/2024, menyatakan partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah walaupun mereka tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ambang batas Pilkada ditentukan dari jumlah Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Sedangkan, putusan No. 70/PUU-XXII/2024, menyatakan MK menolak mengubah kualifikasi usia para kandidat kepala daerah. MK memutuskan bahwa para kandidat untuk pemilihan gubernur harus berusia minimal 30 tahun pada saat mencalonkan diri dalam pemilu daerah.

Pasca Putusan MK tersebut, alih-alih memasukan substansi Putusan MK tersebut ke dalam materi revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), Pemerintah bersama Baleg DPR malah membuat rumusan pasal yang tidak sejalan dengan Putusan MK. Lebih jauh lagi, Baleg DPR bersama Pemerintah justru melakukan manuver politik dengan menindaklanjuti revisi UU Pilkada sebagai upaya untuk mengamankan kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama koalisi partai pendukungnya di dalam kepemimpinan tingkat wilayah serta untuk melanjutkan kekuasaan dinasti politik keluarga Jokowi.

Warga merespon manuver Pemerintah dan Baleg DPR tersebut dengan berbagai ekspresi seperti munculnya seruan “Peringatan Darurat” di media sosial pada tanggal 21 Agustus 2024. Di hari selanjutnya, tanggal 22 Agustus, ribuan massa melakukan aksi demonstrasi di berbagai daerah dengan turun ke jalan menyasar pusat-pusat pemerintahan setempat. Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH-YLBHI), terdapat 44 titik daerah yang memobilisasi aksi demonstrasi dalam rentang waktu 22 – 26 Agustus 2024. Sayangnya, negara merespon ekspresi warga tersebut dengan pengamanan aparat TNI/Polri secara berlebihan dengan berujung pada tindakan kekerasan kepada massa aksi demonstrasi. Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri mengakibatkan sebanyak 254 korban mengalami luka serta 380 korban mengalami penangkapan sewenang-wenang ataupun penahanan.

Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (Taud) kemudian merangkum pelanggaran dan serangkaian kekerasan yang dilakukan oleh negara melalui pengamanan aksi demonstrasi oleh aparat TNI/Polri dalam rentang waktu 22 – 26 Agustus 2024 ke dalam temuan-temuan sebagai berikut:

Pertama, penangkapan disertai tindak kekerasan. Salah satu pola yang ditemukan yaitu adanya upaya penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat Polri/TNI disertai dengan tindak kekerasan. Tindakan tersebut dilakukan dengan memukul, menginjak, menyeret dan menendang massa aksi yang akan ditangkap. Bahkan, penangkapan disertai kekerasan ini tidak hanya menggunakan tangan kosong, melainkan berbagai alat lain, seperti baton maupun perisai yang dimiliki aparat kepolisian.

Kedua, tindakan penyiksaan serta perlakuan tidak manusiawi. Pada saat terjadinya kericuhan saat aksi demonstrasi berlangsung di sejumlah kota, terdapat tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepada massa aksi. Tindakan penyiksaan ini dilakukan ketika massa aksi sebagai korban sudah tak berdaya, tak ada perlawanan, maupun saat berupaya untuk menyelamatkan dirinya sehingga memenuhi unsur penyiksaan dengan motif penghukuman (punishment).

Ketiga, penggunaan gas air mata secara serampangan. Salah satu penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian untuk membubarkan massa aksi demonstrasi yaitu menggunakan gas air mata. Tercatat di beberapa kota, penggunaan gas air mata sangat masif ditembakan oleh kepolisian kepada massa aksi.

Keempat, adanya tindak penghilangan paksa berjangka singkat (short-term enforced disappearances). Penangkapan yang dilakukan oleh anggota kepolisian di sejumlah kota pada kurun waktu 22 Agustus – 24 Agustus 2024 sering kali tidak memberikan keterangan lebih lanjut terkait informasi korban yang ditangkap/ditahan. Selain itu, sejumlah pendamping hukum juga mengalami tindak penghalang-halangan oleh aparat kepolisian pada saat berupaya untuk menjadi pendamping hukum korban. Beberapa hal itu menunjukkan bahwa negara lewat aparatnya telah melakukan tindak penghilangan paksa berjangka singkat.

Kelima, serangan digital oleh akun pribadi aparat keamanan. Selain serangan fisik, massa aksi juga mengalami tindak serangan digital. Serangan digital ini dilakukan sebagai bentuk teror, intimidasi, serta ancaman kekerasan kepada massa aksi demonstrasi. Bahkan, serangan digital secara terang-terangan dilakukan oleh akun pribadi aparat TNI maupun Polri.

Keenam, penghalang-halangan akses bantuan hukum yang berkualitas massa aksi demonstrasi yang ditangkap. Dalam pendampingan massa aksi demonstrasi yang dilakukan penangkapan, sejumlah pendamping hukum kesulitan untuk bisa melakukan pendampingan. Padahal, berdasarkan Pasal 54 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah memberikan jaminan guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum baik dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.

Ketujuh, pelibatan aparat TNI dalam melakukan pengamanan maupun penangkapan massa aksi demonstrasi. Keterlibatan anggota TNI pengamanan aksi demonstrasi jelas bertentangan dengan kewenangan institusi TNI dalam pertahanan dan keamanan negara. Pelibatan TNI dalam konteks mengamankan aksi demonstrasi akan berpotensi memakan korban lebih besar karena institusi TNI tidak dilatih untuk menghadapi warga sipil.

Oleh karena itu berdasarkan temuan-temuan tersebut di atas Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (Taud), mendesak:

  1. Pemerintah dan Parlemen untuk tidak lagi melakukan manuver politik yang merugikan kepentingan masyarakat serta tidak menghormati konstitusi, demokrasi, dan prinsip negara hukum,
  2. Polri untuk melakukan penyelidikan terhadap pengamanan aksi demonstrasi dalam kurun waktu 22 Agustus-26 Agustus 2024 secara menyeluruh dan memberi hukuman pada anggota yang terbukti melanggar prosedur, dan
  3. Komnas HAM, Kompolnas, dan Ombudsman melakukan investigasi mandiri terhadap pengamanan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Polri maupun TNI, melakukan pengumpulan data yang lebih banyak, serta memberikan rekomendasi kebijakan pada Polri agar dikemudian hari tidak melakukan hal serupa kembali dan melakukan pengamanan aksi demonstrasi secara humanis serta menghormati HAM dan hak konstitusional warga negara.

Hormat kami,

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *