Setelah pelaksanaan eksekusi terhadap 6 orang terpidana mati pada Januari 2015, pemerintah Indonesia menyatakan siap melakukan eksekusi tahap selanjutnya. Bahkan Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan masih punya “stok” 60 terpidana mati yang akan dieksekusi.
Pekan ini, begitu santer pelaksanaan eksekusi hukuman mati akan dilaksanakan dalam waktu dekat, meskipun menuai kecaman dari dunia Internasional. Bahkan beberapa negara sahabat telahmenarik duta besarnya atas sikap pemerintah tersebut. Pemerintahan Jokowi mustinya menyadari bahwa dalam konteks hubungan internasional, ada konsekuensi di mana Indonesia tidak lagi memiliki legitimasi untuk melindungi/membela TKI yg dihukum mati di negara lain.
Kami mengakui bahwa masyarakat kita memang masih cenderung bersikap retribusionis dalam hal penghukuman. Namun pada titik ini negara berkewajiban untuk membangun kesadaran hukum dan keadilan sesuai norma kemanusiaan yang adil dan beradab, serta hak asasi manusia. Alih-alih membangun peradaban hukum masyarakat, Jokowi malah memanfaatkannya demi tujuan politik populisnya.
Di samping argumentasi moral dan etik yang menjadi dasar penghapusan hukuman mati, ada satu aspek yang sangat penting yang mustinya dipahami oleh Jokowi, yaitu fakta bahwa sistem peradilan pidana kita masih jauh dari sempurna, bahkan masih sangat korup. Pelapor Khusus PBB untuk Kemandirian Hakim dan Pengacara pernah mengeluarkan laporan bahwa Indonesia memiliki sistem peradilan terburuk. Kemudian di tahun 2008 menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sistem peradilan Indonesia menduduki peringkat terbawah di Asia. Hal yang terbaru menurut World Justice Index 2014, peradilan Indonesia menduduki peringkat ke-12 dari 15 negara-negara di Asia Timur dan Pasifik.
Sistem peradilan pidana yang buruk, berpotensi besar untuk disalahgunakan dengan menggunakan kekerasan dan kekuasaan. Kita pasti ingat peristiwa tahun 2008 yang menimpa Imam Hambali dan David Eko Priyanto yang dinyatakan bersalah dan divonis 12 dan 17 tahun penjara. Mereka berdua divonis sebagai pembunuh Asrori. Namun belakangan terdapat fakta baru bahwa Asrori merupakan salah satu korban pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Verry Idham Heryansyah alias Ryan. Berdasarkan pengakuan dari keduanya terpaksa mengaku melakukan pembunuhan karena tidak tahan terhadap berbagai bentuk penganiayaan yang didapatkan pada saat proses penyidikan di kepolisian.
Maka hal yang paling penting dan pokok untuk segera dilakukan Pemerintah Indonesia adalah melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati. Tentunya langkah moratorium harus dilanjutkan dengan penghapusan pasal-pasal yang masih memberlakukan sanksi hukuman mati dan membenahi sistem peradilan Pidana. Ketidaktegasan Jokowi dalam menuntaskan perseteruan antara Polri dengan KPK hendaknya jangan ditutupi dengan ketegasan palsu berupa pelaksanaan eksekusi terhadap para terpidana mati.
Jakarta, 10 Februari 2015
Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia
Alvon Kurnia Palma
Ketua