Tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar di rumah dinasnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 2 Oktober 2013 merupakan keruntuhan MK dan sekaligus sebagai titik balik pembenahan MK.
Mensikapi itu, pemerintah harus menyelamatkan MK melalui Peraturan Pengganti Undang Undang (Perpu), meski itu menjadi pilihan yang penuh resiko konstitusional. YLBHI memandang perlu tidaknya Perppu itu sangat bergantung dengan pemenuhan kebutuhan pembenahan terhadap MK. Oleh sebab itu, pilihan adanya Perpu merupakan suatu keniscayaan. Perpu pembenahan MK, setidaknya mengatur tentang pengawasan dan Rekruitmen Hakim MK.
Persoalan awal dari keruntuhan MK adalah tidak terimplementasinya asas transparan dan partisipatif dalam sistem rekruitmen hakim MK sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 UU MK. Sementara, itu menjadi suatu syarat utama guna mencari hakim yang berjiwa Negarawan, dan kedepannya juga bukan hanya kenegarawanan saja tapi juga berprilaku layaknya seorang sufi sehingga tidak mudah tergoda oleh godaan duniawi dari para pihak yang ingin menghancurkan MK.
Dengan adanya penangkapan Akil Mochtar, ini menjadi momentum untuk perbaikan sistem rekruitmen hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif. Rekruitmen juga harus dilakukan oleh panitia seleksi bagi seluruh calon hakim konstitusi. Patut juga dipertimbangkan dalam proses seleksi kedepan untuk tidak memasukan unsur dari partai politik sebagai calon hakim konstitusi, meskipun sudah mengundurkan diri selama 5 tahun.
Sebagaimana diketahui, dalam upaya berkontribusi dalam pembenahan ini, YLBHI dan Tim Penyelamat MK juga sedang mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Keppres No. 87/P Tahun 2013 tentang pengangkatan jabatan hakim konstitusi Patrialis Akbar sebagai bentuk kontribusi masyarakat sipil dalam membenahi kelembagaan MK.
Gugatan tersebut dilakukan karena presiden dinilai telah melanggar Pasal 19 UU MK yang menyatakan “Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif”, yang dalam penjelasannya menyatakan, “Berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan”.
Selanjutnya, Hakim konstitusi meski dalam pertimbangan putusan MK nomor 005/PUU-IV/2006 sebagai manusia setengah dewa, dirinya juga tetap harus diawasi, baik secara internal melalui Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi maupun oleh pihak eksternal. Pengawasan bertujuan untuk memastikan si manusia setengah dewa itu tidak melenceng dari fitrahnya.
Khusus pengawasan eksternal, perpu harus mampu menjawab kebuntuan kelembagaan pengawasan. Sebab, putusan MK terdahulu mengkebiri kewenangan KY. Pilihan untuk membentuk kelembagaan selain KY atau menghidupkan kembali peran KY bisa menjadi suatu jawaban dalam Perpu tersebut. Pilihan ini bisa berlandaskan pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Sementara, dasar hukum untuk pengawasan internal merupakan amanah dari UU Nomor 8/2011 tentang perubahan atas UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 ayat (6) bahwa Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berasal dari hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi itu sendiri jika merujuk pada UU yang sama di Pasal 1 butir ke-4 yang fungsinya untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi, yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Jakarta, 11 Oktober 2013
Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia
Alvon Kurnia Palma, SH
Ketua