Siaran Pers Bersama
ICJR, Elsam, KontraS, LBH Jakarta, LBH Pers, Mappi FH UI, CDS, HRWG, PKBI, Koalisi Perempuan Indonesia, PSHK, LeIP, IPPAI, ECPAT Indonesia, LBH APIK Jakarta, Imparsial, SCN-CREST, KePPaK Perempuan, PULIH, IPPI, Sapa Indonesia, Seperlima, YPA, Institute Perempuan, CWGI, Magenta, YPHA, Kalyanamitra, Rumpun Gema Perempuan, Perhimpunan Rahima, Aliansi Satu Visi, dan Perempuan Mahardika, YLBHI
Menyatakan keprihatin dengan kegagalan pemerintah dalam menanggulangi kejahatan kekerasan seksual pada anak. Kami juga menyampaikan duka cita dan simpati kami yang mendalam terhadap para korban kejahatan seksual dan juga keluarga korban dari kejahatan seksual.
Penanganan korban kejahatan seksual memerlukan penanganan yang multi dimensi dan tidak boleh hanya mengandalkan penanganan melalui penegakkan hukum utamanya penegakkan hukum pidana. Kami setuju bahwa harus ada sistem yang sinergis dan holistik baik preventif maupun penanggulangan yang efektif untuk mengatasi persoalan kejahatan kekerasan seksual anak. Sebagai catatan, UU. No 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah diubah dengan UU. No 35 Tahun 2014 dengan memperberat ancaman pidana bagi para pelaku kejahatan seksual.
Pendekatan ini ternyata sudah tidak mampu menurunkan angka kejahatan seksual terhadap anak, padahal revisi UU No 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada 2014 juga mendasarkan pada asumsi bahwa kejahatan seksual terhadap anak bisa dikurangi dengan memperberat ancaman hukuman terhadap para pelakunya.
Data resmi dari pemerintah, diantaranya data yang didapat dari Subdit Remaja, Anak dan Wanita (Renakta) Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, menunjukkan angka kekerasan seksual terhadap anak pada 2014 lalu tercatat sebanyak 40 kasus.Namun, terjadi peningkatan pada 2015 karena tercatat sampai September 2015 ada 41 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta (Warta Kota, 5 Oktober 2015).
Kami mendukung langkah- langkah pemerintah untuk membenahi legislasi dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak, khususnya untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap anak. Kami mencatat UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya batas usia minimum perkawinan bagi anak perempuan layak untuk direvisi agar para pelaku kejahatan seksual tidak menggunakan mekanisme hukum resmi untuk melegalisasi upayanya berhubungan seksual dengan anak – anak melalui lembaga perkawinan.
Kami juga mendorong agar pemerintah dan DPR untuk segera melakukan perbaikan hukum acara pidana khususnya untuk mengungkap kasus – kasus kejahatan kekerasan seksual terhadap anak karena memiliki karakteristik khusus utamanya dalam sistem pembuktian. Kekerasan seksual. Khususnya terhadap anak tidaklah dapat didekati dengan menggunakan UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Diperlukan hukum acara khusus untuk dapat mengadopsi karakteristik khusus dari kekerasan seksual.
Terkait dengan hukuman yang efektif bagi para pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, kami mendesak agar lembaga – lembaga pemerintah seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia agar mengeluarkan data mengenai berapa rata – rata nasional dan juga propinsi atas tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap para pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. Kami juga mendesak agar lembaga – lembaga pemerintah tersebut agar mengeluarkan data mengenai berapa rata – rata nasional dan juga propinsi atas hukuman yang dijatuhkan oleh Pegadilan di seluruh Indonesia terhadap para pelaku kejahatan seksual tersebut. Kami juga mendesak pemerintah agar pemerintah memiliki data mengenai apakah pelaku – pelaku yang pernah dihukum tersebut melakukan kejahatannya kembali atau tidak. Data ini penting, karena kami memahami jika pemerintah (Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Komisi Perlindungan Anak Indonesia) sampai saat ini tidak pernah memiliki data seperti itu. Sehingga dorongan revisi UU Perlindungan Anak tidak memiliki basis data dan kajian yang ilmiah mengenai hukuman yang dirasakan oleh pemerintah tidak efektif. Selain itu kami juga mendesak apabila pemerintah dan DPR hendak melakukan perubahan hukuman pidana sebaiknya dilakukan dalam kerangka Rancangan KUHP yang saat ini sedang dibahas di DPR.
Kami juga menolak ide memperkenalkan hukuman kebiri sebagai bagian dari sistem pemidanaan nasional yang baru untuk menjadi solusi utama permasalahan kekerasan seksual anak. Kami menilai ide tersebut sesat dan tidak tepat karena:
Pertama, Hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam sistem hukum pidana nasional kita atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum Indonesia.
Kedua, hukuman kebiri melanggar Hak Asasi Manusia sebagaimana tertuang di berbagai konevensi internasional yang telah diratifikasi dalam hukum nasional kita diantaranya Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol/ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan juga Konvensi Hak Anak (CRC), penghukuman badan, dalam bentuk apapun harus dimaknai sebagai bentuk penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat manusia, terlebih apabila ditujukan untuk pembalasan dengan alasan utama efek jera yang diragukan secara ilmiah.
Ketiga, perlu dipahami bahwa segala bentuk kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual, pada dasarnya merupakan manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai, mengontrol dan mendominasi terhadap anak, dengan demikian, hukum kebiri tidak menyasar akar permasalahan kekerasan terhadap anak.
Berdasarkan hal tersebut diatas, kami mendesak agar:
Pertama, Pemerintah dan DPR untuk menghentikan segala upaya untuk menjadikan hukuman kebiri sebagai jenis hukuman yang akan diatur dalam sistem hukum pidana nasional kita karena sebagai penghukuman badan, hal tersebut bertentangan dengan tujuan pemidanaan nasional, terlebih lagi bertentangan dengan penghormatan hak asasi manusia dan perlindungan serta jaminan untuk terbebas dari segala bentuk penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat manusia .
Kedua, meminta agar pemerintah berfokus pada kepentingan anak secara komperhensif, dalam hal ini sebagai korban, negara harus memastikan korban mendapatkan perlindungan serta akses pada pemulihan fisik dan mental, maupun tindakan lainnya yang menitikberatkan pada kepentingan anak korban.