Siaran Pers LBH-YLBHI pada Hari Tani Nasional 2024
Jaga dan Rebut Kembali Tanah Rakyat!
Selamatkan Konstitusi, Tegakkan Demokrasi, Jalankan Reforma Agraria Sejati!
Sejak dua Periode Jokowi menjabat, komitmennya terhadap pelaksanaan Reforma Agraria sejati hanyalah bualan belaka, data menunjukan dari tahun ketahun, perampasan ruang hidup warga justru semakin masif. Penyelesaian-penyelesaian konflik agraria masa lalu tak kunjung menunjukan titik terang, masyarakat masih harus berjibaku untuk memperjuangkan hak atas tanahnya yang terancam dirampas oleh persekongkolan Negara-Pengusaha. Semakin mendalamnya konflik agraria bukan tanpa sebab.
Pada tanggal 18 Juli 2018, Bank Dunia menggelontorkan hutang 2,83 triliun rupiah kepada Pemerintah Indonesia rezim Joko Widodo. Hutang ini akan digunakan untuk “memperjelas hak-hak atas tanah dan penggunaan tanah secara aktual pada tingkat desa di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran”. Ini adalah inti dari Reforma Agraria a la Jokowi. Di saat bersamaan, karpet merah bagi perusahaan-perusahaan telah diintensifkan. Berkonsekuensi pada percepatan proses pengadaan lahan bagi korporasi. Proses tersebut dapat kita lihat secara nyata dalam Proyek Strategis Nasional. Di kemudian hari, proyek ini melahirkan rantai malapetaka baru bagi masyarakat miskin pedesaan.
Pada 25 Juni 2024 lalu, sidang Mahkamah Rakyat memutuskan bahwa rezim Joko Widodo telah terbukti berperan aktif sebagai otak intelektual perampasan ruang dan penyingkiran ruang hidup rakyat. Putusan ini bukanlah tanpa dasar. Majelis Hakim, memutus gugatan tersebut dengan menelaah secara teliti konflik-konflik agraria di Rempang Eco City, Geothermal Poco Leok, Bandara Kulon Progo, Reklamasi Teluk Jakarta, Eksplorasi Nikel di Wawonii, perampasan hutan Masyarakat Adat Suku Awyu, Penggusuran Tamansari, dan juga Mafia Tanah Dago Elos. Di samping konflik agraria tersebut, sederet masalah serupa menggunung selama 4 tahun ke belakang.
YLBHI mengarsipkan data berdasarkan advokasi LBH-LBH kantor di lapangan terkait konflik-konflik agraria yang berkait kelindan dengan problem ruang berekspresi selama 3 tahun ke belakang. Sepanjang 2021 – 2024 setidaknya terdapat sekitar 290.337 ha lahan konflik agraria. Di Papua, data kasus sepanjang tahun tersebut yang kami advokasi adalah 18.604 ha. Namun kami meyakini konflik yang terjadi di lapangan lebih dari itu. Alasannya adalah kesulitan kami mendapatkan informasi secara langsung karena ketatnya militerisasi wilayah-wilayah di Papua yang dibuka untuk kepentingan bisnis ekstraktif maupun proyek strategis milik negara. Berikut adalah luasan tanah konflik yang 18 LBH advokasi selama tahun 2021 – 2024.
Unduh dan baca selengkapnya di sini