Seperti kita ketahui dan sudah diberitakan juga secara ramai, ada tindakan kekerasan dan sangat tidak manusiawi yang dilakukan oleh 2 anggota TNI AU di Merauke terhadap seorang bernama Steven Yadohamang yang juga merupakan penyandang disabilitas (26/7/2021). Tindakan kekerasan dan tidak manusiawi ini mengiringi rangkaian kekerasan yang terus terjadi dan dilakukan oleh aparat TNI/POLRI di Papua/Papua Barat.
Kasus kekerasan oleh beberapa orang TNI di Merauke menunjukkan banyak hal penting.
- Peristiwa ini menunjukkan adanya rasisme yang telah lama menimpa orang Papua. Meskipun gerak-gerak korban kekerasan dalam video cukup jelas menunjukkan ia terindikasi orang dengan kondisi khusus/disabilitas tetapi kekerasan tetap menimpanya. Rasisme ini banyak terjadi dalam wujud kekerasan oleh aparat, bahkan juga dalam penegakan hukum. Kita dapat mengetahui adanya rasisme dari perbandingan; tindakan yang serupa oleh Orang Papua atau di Papua cenderung mendapat perlakuan yang lebih keras misalnya demonstrasi yang di daerah lain hanya dibubarkan atau mendapat kekerasan, jika terjadi di Papua dikriminalkan sebagai makar. Bahkan untuk aksi damai.
- Kekerasan-kekerasan dengan rasisme di Papua terus terjadi karena tidak adanya penegakan hukum yang memadai. Khususnya kasus kekerasan yang dilakukan militer. Peradilan Militer saat ini, dengan kompetensi absolut mengadili TNI meskipun melakukan tindak pidana umum, menjadi sarana impunitas, ataupun sanksinya sangat kecil. Adanya perwira penyerah perkara, oditur militer, hakim militer dan pengaturan pengadilan yang tertutup beberapa hal yang mengganggu imparsialitas dan independensi peradilan militer.
- Peradilan Militer UU 31/1997 adalah produk Orde Baru yang lahir dalam kondisi negara yang tidak demokratis atau dalam rezim otoritarian. UU 34/2004 tentang TNI sebenarnya membawa semangat reformasi TNI sebagaimana juga terdapat dalam TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 Tahun 2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 3 Ayat (4) huruf a TAP MPR VII/MPR/2000 dan Pasal 65 (2) UU TNI sudah memandatkan “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Sayangnya hingga saat ini Pemerintah dan DPR tidak kunjung mengubah UU Peradilan Militer agar sesuai dengan semangat reformasi TNI. Oleh karena itu militer hanya mungkin diadili di Peradilan Umum jika melakukan tindak pidana bersama-sama dengan sipil atau koneksitas.
- Alih-alih melaksanakan UU 34/2004 dengan melakukan reformasi Peradilan Militer, Pemerintah malah membuat Jaksa Agung Muda Pidana Militer di Kejaksaan Agung salah. Koneksitas hanya ada karena militer tetap diadili di peradilan militer meskipun melakukan tindak pidana. Artinya di luar maksud baik memperlancar perkara koneksitas sebenarnya secara mendasar Jampidmil melanggengkan impunitas melalui Peradilan Militer.
- Jaksa Agung muda militer ini sesungguhnya juga bisa mempersulit penuntasan kasus pelanggaran HAM yang berat karena konflik kepentingan. Dalam UU 26/2000 terdapat pemidanaan karena pertanggungjawaban komando. Dalam karakter pelanggaran HAM yang berat dengan syarat sistematis atau meluas bukan tidak mungkin pelaku berada di atas jabatan pejabat yang menempati posisi Jampidmil. Sehingga adanya Jampidmil di Kejaksaan Agung yang potensial masuk dalam tim penyidik dan penuntut dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat berpotensi menghambat penuntasan kasus.
Berdasarkan hal-hal di atas kami mendesak :
- Peradilan Militer agar memproses perkara kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI kepada warga sipil dengan imparsial dan fair.
- Komnas HAM untuk menjalankan wewenangnya sesuai UU 40/2008 melakukan pengawasan terhadap upaya agar rasisme di Papua dan/atau terhadap orang Papua bisa dihapus segera, khususnya yang dilakukan oleh aparat negara.
- Pemerintah dan DPR untuk segera membentuk Peradilan Umum Untuk Tindak Pidana Umum yang dilakukan Militer sesuai UU 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia dan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Indonesia, 28 Juli 2021
YLBHI, LBH Papua, LBH Manado, LBH Makassar, LBH Bali, LBH Samarinda, LBH Palangkaraya, LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Padang, LBH Palembang, LBH Pekanbaru, LBH Bandar Lampung, LBH Surabaya, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Bandung, & LBH Jakarta