Catatan YLBHI dan 18 LBH kantor pada Hari Bhakti Adhyaksa 63
KEJAKSAAN BELUM INDEPENDEN, PROFESIONAL, DAN MENEGAKKAN HAK ASASI MANUSIA!
Menyikapi Hari jadi Kejaksaan Nasional ke 63 tahun ini, YLBHI dan 18 Kantor LBH memberikan ucapan selamat dengan memberikan catatan kritis kepada Institusi Adhyaksa terkait dengan kinerjanya dalam menjalankan mandat undang-undang sebagai penegak hukum pemegang tanggung jawab penyidikan dan penuntut umum dalam sistem peradilan pidana. Termasuk peran kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut umum pelanggaran HAM Berat selama ini.
Berangkat dari pemantauan, praktik bantuan hukum, dan advokasi yang dilakukan LBH YLBHI, kami menyampaikan catatan kritis kepada Kejaksaan sebagai berikut:
1. Kejaksaan gagal menjalankan mandat UU tentang Pengadilan HAM untuk Penegakan Hukum Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Menjadi Bagian dari Problem Impunitas Pelanggaran HAM:
Sesuai UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan adalah penyidik perkara pelanggaran HAM yang berat. Sebagai Penyidik Kejaksaan bertanggung jawab untuk mengumpulkan bukti dan membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Namun, sebagai penyidik Kejaksaan Agung justru selalu mengembalikan berkas perkara dengan alasan kurangnya bukti padahal yang harus mencari bukti adalah Kejaksaan Agung sendiri. Akibatnya sampai saat ini ada Belasan kasus yang telah selesai dilakukan penyelidikan Komnas HAM mangkrak dan impunitas Kasus Pelanggaran HAM Berat terjaga;
2. Kejaksaan Gagal Menjalankan Peran Dominus litis dan menegakkan prinsip Fair Trial dalam penyidikan dan penuntutan;
Dalam Kasus-Kasus Kriminalisasi terhadap aktifis (Pembela HAM) seperti halnya yang dihadapi oleh Budi Pego atau yang terbaru Kasus Haris dan Fatia, Jaksa membiarkan begitu saja praktik kriminalisasi kepolisian tanpa peran koreksi penyidikan dari Jaksa. Prinsip-prinsip Fair Trial yang setidaknya diatur dalam KUHAP terkait hak-hak terdakwa acapkali diabaikan.
3. Kejaksaan Tidak Menggali Rasa Keadilan Masyarakat dan Memberikan Keadilan Bagi Korban
Dalam Kasus Tragedi Kanjuruhan yang memakan 135 korban jiwa dan puluhan korban luka-luka Kejaksaan hanya menuntut ringan pelaku khususnya Aparat Kepolisian yang menjadi aktor penembakan gas air mata. Dalam kasus Pelanggaran HAM berat Paniae Jaksa hanya menuntut satu orang pelaku. Hal tersebut tidak masuk akal dalam konstruksi kasus pelanggaran HAM berat. Tuntutan Keadilan yang berangkat dari kebutuhan Korban acapkali diabaikan oleh Jaksa.
4. Praktik Tidak Profesional dan Kerap Melanggar Hak Hak terdakwa
Jaksa kerap mengabaikan hak-hak terdakwa dalam proses penuntutan dan persidangan seperti halnya: tidak memberikan salinan berkas perkara lengkap kepada tersangka atau terdakwa saat perkara dilimpahkan ke pengadilan (Melanggar Pasal 143 ayat (4) KUHAP), Tidak mau menghadirkan Ahli Pidana yang diajukan oleh pelapor padahal telah diperiksa saat penyidikan, melarang pendamping kelompok rentan masuk ke ruang sidang saat pemeriksaan saksi, tidak disiplin hadir sidang, tidak menjawab permohonan penangguhan/pengalihan penahanan, melakukan pemanggilan secara tidak patut, mengabaikan hak-hak terdakwa dalam persidangan secara online, memasukkan pasal siluman saat dakwaan di persidangan. Padahal pasal tersebut tidak pernah diperiksa dan disangkakan saat penyidikan.
5. Praktik Menghalangi Akses Bantuan Hukum dan Kerja-Kerja Advokat
Jaksa mengintervensi dan menjanjikan akan di tuntut dan divonis ringan jika tidak didampingi LBH (Advokat). Meminta terdakwa memutuskan kuasa dengan LBH/pengacara. Termasuk menunda-nunda dan/atau tidak segera memberikan salinan berkas perkara meskipun telah diminta, berkas baru diberikan setelah kuasa hukum meminta melalui hakim.
6. Lemahnya Perspektif Perlindungan terhadap Hak Kelompok Rentan
LBH-YLBHI menemukan praktik Jaksa yang tidak melakukan pemeriksaan kesehatan terkhusus kondisi kejiwaan tersangka / terdakwa yang memiliki Riwayat disabilitas mental meskipun keluarga telah menyampaikan ybs memiliki riwayat disabilitas mental. Termasuk praktik jamak pelanggaran terhadap hak anak berhadapan dengan hukum.
7. Kejaksaan Menjalankan Fungsi Yang Diskriminatif, Membahayakan Demokrasi, dan Melanggar HAM
Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI pada Pasal 30 ayat (3) huruf d tentang Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara (terwujud melalui Bakor Pakem) menjadi sumber diskriminasi bagi kelompok minoritas keagamaan. Wewenang ini juga diperluas dengan melibatkan aktor non-negara seperti lembaga keagamaan sehingga fungsi yang dijalan semakin tidak akuntabel. Disamping itu, Salah satu fungsi Kejaksaan adalah mengawasi ideologi di masyarakat atas nama ketenteraman dan ketertiban umum. Kebebasan berpikir dan menganut suatu pandangan politik adalah hal yang dijamin oleh Konstitusi, UU HAM, dan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah menjadi hukum Indonesia berdasarkan UU 12/2005;
8. Jaksa Menjadi Bagian dari Korupsi dan berpotensi menghalangi pengungkapan korupsi
LBH YLBHI mencatat Jaksa terlibat menjadi pelaku mafia peradilan dengan melakukan pemerasan dan pengancaman kepada tersangka/terdakwa, Jaksa menawarkan transaksi nominal uang dengan pengurangan tuntutan. Selain itu, sejak 2016 Kejaksaan Agung membentuk Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) yang diperkuat dengan Peraturan Jaksa Agung No. Per-014/A/JA/11/2016. Pada prakteknya tim ini berpotensi menghalangi pengungkapan korupsi yang terjadi pada proyek yang dikawal dan bahkan peluang korupsi itu sendiri;
9. Diskriminasi Penegakan Hukum
LBH YLBHI menemukan praktik disparitas tuntutan antar si misikin dan Si Kaya pada kasus/pasal yang sama. Di Papua jaksa kerapkali memindahkan pemeriksaan perkara dari Papua ke luar Papua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
10. Lemahnya Transparansi dan Akuntabilitas Pengawasan Jaksa
LBH YLBHI menemukan situasi ketika Jaksa dilaporkan karena melakukan pelanggaran etik/pidana proses dan tindaklanjutnya tidak transparan dan akuntabel.
11. Persoalan Independensi Jaksa
Jaksa kerapkali menunjukkan posisi yang tidak independent dan tidak berdasarkan fakta persidangan Ketika menuntut terdakwa yang dikriminalkan. Sistem rencana penuntutan (Rentut) berjenjang dimana yang berwenang menentukan tuntutan bukanlah Penuntut Umum yang bersidang dan lebih mengetahui fakta persidangan tetapi pimpinan Kejaksaan baik Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Agung berpotensi memunculkan tekanan pimpinan terhadap Penuntut Umum dan membuka ruang korupsi baik gratifikasi, perdagangan pengaruh (trading influence) maupun penyuapan dan pemerasan. Selain itu, yang mencolok sosok Jaksa Agung yang dipilih Presiden berpengaruh pada independesi Institusi.
Jakarta, 22 Juli 2023
YLBHI-LBH (LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Padang, LBH Pekanbaru, LBH Palembang, LBH Bandar Lampung, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Makassar, LBH Manado, LBH Papua, LBH Palangkaraya, LBH Samarinda, LBH Kalimantan Barat