KEMUNDURAN REFORMASI TNI ANCAMAN BAGI DEMOKRASI

Siaran Pers
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

“REFLEKSI HUT TNI KE-79 DALAM KONTEKS DEMOKRASI DAN HAM”
“KEMUNDURAN REFORMASI TNI ANCAMAN BAGI DEMOKRASI”

 

Jakarta, 5 Oktober 2024 –  TNI resmi memperingati HUT yang ke-79. Dengan mengambil tema “TNI Modern Bersama Rakyat Mengawal Suksesi Kepemimpinan Nasional untuk Indonesia Maju”. Dilansir dari beberapa media tema tersebut dipilih untuk memperkuat peran TNI dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI serta mencerminkan tekad TNI untuk mendukung proses transisi kepemimpinan nasional melalui kekuatan militer yang modern dan didukung oleh masyarakat. Dalam konteks itu memang telah dicapai beberapa capaian positif seperti pemisahan TNI dengan Polri dan modernisasi alutsista menuju TNI yang modern dan profesional. Namun demikian capaian-capaian tersebut kami pandang harus juga dibarengi dengan komitmen tegas untuk memenuhi harapan dan cita-cita reformasi TNI yang selama ini belum terlaksana dan bahkan mundur ke belakang.

Kami memandang peringatan HUT TNI yang ke-79 ini sepatutnya tidak hanya dijadikan selebrasi dan pertunjukan kosmetika alutsista semata. Dalam konteks itu di tengah perubahan lingkungan strategis yang semakin kompleks dan sejumlah agenda reformasi TNI tersisa yang mandek hampir 10 tahun ke belakang kami sangat mendorong momentum HUT ini dapat dijadikan momentum refleksi dan berbenah diri di tubuh TNI

Pertama, lemahnya kontrol sipil obyektif terhadap TNI menjadi faktor utama tersendatnya reformasi TNI selama ini. Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi praktis tidak ada capaian positif terhadap reformasi. Hal disebabkan kurangnya kemauan politik dari presiden dan Kementerian Pertahanan (Kemhan), yang seharusnya melakukan kontrol efektif tetapi justru menarik-narik TNI kembali pada Dwifungsi TNI sebagaimana pada masa orde Baru. Hal ini dapat dilihat dalam pelibatan TNI dalam program Food Estate dan program-program lain yang jauh dari jati diri TNI sebagai alat pertahanan negara untuk menghadapi ancaman perang.

Parlemen juga gagal menjalankan fungsi pengawasan dan kontrolnya secara maksimal TNI. Alih-alih melakukan kontrol yang efektif DPR justru sering melahirkan undang-undang bermasalah seperti UU PSDN (Komcad) dan merancang revisi UU TNI yang mengembalikan Dwifungsi TNI. Selain itu banyak penyimpangan seperti dalam sektor pertahanan operasi militer ilegal di Papua dan kekerasan terhadap warga sipil juga luput dari pengawasan.

Kedua, revisi UU TNI yang justru akan memperkokoh karut marut tata kelola sektor keamanan dan mengembalikan Dwifungsi TNI. Kendati revisi UU TNI tidak jadi disahkan pada masa keanggotaan DPR periode 2019-2004 yang lalu, sejumlah usulan pasal dalam naskah revisi UU TNI yang sempat dibahas di DPR RI cukup menjadi gambaran bagaimana rendahnya komitmen otoritas politik terhadap reformasi TNI. Dalam naskah revisi tersebut sejumlah catatan yang bertentangan dengan reformasi TNI dan berpotensi mengembalikan “Dwifungsi” TNI adalah; (1) Peran internal militer semakin diperkuat melalui perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP); (2) Perluasan peran menjadi aparat penegak hukum; (3) Penghapusan larangan berbisnis; (4) Perluasan jabatan Sipil yang dapat diisi TNI aktif; (6) Penghapusan kewenangan peradilan umum untuk mengadili prajurit TNI yang melanggar tindak pidana umum; (7) Perpanjangan masa pensiun prajurit TNI.

Ketiga, belum dijalankannya reformasi sistem peradilan militer. Reformasi sistem peradilan militer melalui melalui perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan salah satu mandat reformasi 1998 yang belum dijalankan. Padahal, dapat dikatakan bahwa agenda ini menjadi salah satu jantung dari reformasi TNI. Selama peradilan militer belum direformasi, selama itu pula proses reformasi TNI belum selesai. Selama ini, dengan UU ini, TNI memiliki rezim hukum sendiri dimana anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili oleh jaksa dan hakim dari kalangan militer sendiri. Dalam praktiknya, peradilan militer menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Kalaupun ada hukuman terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana, seringkali sanksi yang dijatuhkan tidak maksimal. Contoh penting carut marutnya penegakan hukum akibat belum direvisinya UU Peradilan militer adalah “drama” tarik menarik penanganan kasus dugaan korupsi Kepala Basarnas yang merupakan seorang TNI aktif. Pada satu sisi Kabasarnas melakukan korupsi di ranah sipil tapi pada sisi lain dia merupakan TNI aktif sehingga menimbulkan kerancuan terkait aparat penegak hukum mana yang boleh menyidik Kabasarnas.

Reformasi peradilan militer sesungguhnya adalah mandat dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Selain itu, upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen. Upaya mengubah peradilan militer adalah suatu langkah konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten (Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945).

Keempat, Penguatan peran internal militer dalam ranah sipil dan keamanan dapat dilihat dari berbagai praktik perbantuan TNI, seperti keterlibatan dalam mengatasi kelompok kriminal bersenjata di Papua, program food estate, pengamanan stasiun, pengamanan aksi unjuk rasa, penanggulangan terorisme, penanganan pandemi Covid-19, dan pengamanan pertandingan sepak bola, penahanan Proyek Strategis Nasional. Salah satu cara untuk melegitimasi peran ini adalah melalui pembentukan Memorandum of Understanding (MoU) antara TNI dan beberapa kementerian serta instansi. Menurut catatan Imparsial, setidaknya 41 MoU telah dibentuk, yang semuanya bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI yang mengatur bahwa operasi militer selain perang hanya boleh dilakukan dengan keputusan politik negara, yaitu keputusan Presiden.

Selain itu, peran internal militer di ranah sipil terlihat dari jumlah 1.367 personel TNI yang menduduki jabatan di 18 instansi kementerian dan nonkementerian. Dari jumlah tersebut, 111 personel TNI aktif menjabat di 9 instansi yang tidak termasuk dalam 10 instansi yang diizinkan oleh Pasal 47 ayat (2) UU TNI, sehingga penempatan mereka di instansi tersebut bermasalah secara hukum.

Kelima, Operasi militer ilegal di Papua terus berlangsung meskipun statusnya sebagai daerah operasi militer telah dicabut pada awal reformasi. Pengiriman pasukan non-organik ke Papua tetap dilakukan tanpa adanya dasar hukum yang jelas. Pasal 7 Ayat (3) UU TNI mengatur bahwa baik operasi militer untuk perang maupun operasi militer selain perang harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, yang melibatkan kesepakatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (sesuai penjelasan pasal 5 UU TNI).

Menurut pemantauan Imparsial, hingga Juli 2024, sekitar 2.887 prajurit TNI telah dikerahkan ke Papua, yang telah memicu peningkatan konflik dan kekerasan, serta mengakibatkan banyak korban jiwa. Dari Januari hingga Juli 2024, tercatat 16 insiden kekerasan bersenjata yang menyebabkan kematian, termasuk 9 anggota TNI-Polri dan 7 warga sipil. Sebagian besar pertempuran terjadi di pemukiman, bukan di hutan. Meningkatnya angka kekerasan semakin memperburuk keadaan, sementara upaya pemerintah untuk menyelesaikan konflik secara damai tidak menunjukkan kemajuan.

Ketujuh, kekerasan dan impunitas. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat terdapat 64 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan personel TNI. Angka ini tercatat selama kurun waktu Oktober 2023 hingga September 2024. Secara kuantitas, sejumlah kasus yang disebutkan sebelumnya tentu berpotensi belum dapat mewakili pelbagai tindakan/dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oknum prajurit TNI. Namun, secara umum, kasus tersebut memberi gambaran kepada masyarakat bahwa kasus kekerasan oleh aparat itu masih terjadi hingga kini.

Persoalan kekerasan ini semakin sulit terselesaikan lantaran TNI masih “menikmati” privilege selama belum direvisinya UU Peradilan Militer. UU tersebut menjadi alat langgengnya impunitas, karena memiliki yurisdiksi untuk mengadili aparat militer yang melakukan tindak pidana umum, padahal idealnya mereka harus diadili di pengadilan umum.

Kedelapan, minimnya Kedisiplinan terhadap ketentuan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan Kepatuhan terhadap kebijakan dan keputusan politik negara. Meskipun ketentuan UU TNI telah mengatur ruang lingkup OMSP sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf B, tetapi pelibatan TNI di luar ketentuan tersebut jamak dilakukan, di antaranya mengatasi krisis pangan dan menjaga ketahanan pangan kerap menjadi pintu masuknya. Padahal sektor pangan tidak termasuk ke dalam 14 poin OMSP sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU TNI. Selain itu, pada beberapa kasus, aktivitas ketahanan pangan tersebut justru dilandasi kerjasama TNI dengan instansi tertentu (termasuk daerah), bukan dilandasi keputusan dan kebijakan politik negara. Hal ini adalah keputusan yang ilegal dan menyalahi UU.

Kesembilan, gemuknya anggaran TNI tidak menyelesaikan masalah kesejahteraan aparat. Dengan besarnya anggaran TNI saat ini, realitanya hanya habis untuk keperluan belanja institusi. Keengganan mereformasi TNI juga terlihat dari penambahan kodam-kodam baru. Alih-alih mendorong kesejahteraan prajurit, justru Revisi UU TNI hari ini berusaha membolehkan TNI kembali berbisnis yang justru akan memperpanjang masalah ketidakprofesionalan prajurit.

Pelbagai kasus yang tercatat dalam catatan kinerja TNI ini pada dasarnya telah  terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Keberulangan model-model kasus tersebut cenderung mencerminkan tidak  seriusnya  pemerintah dan TNI dalam mengarusutamakan agenda-agenda reformasi TNI.

Kesepuluh, keterlibatan Prajurit TNI dalam pengamanan Proyek Strategis Nasional (PSN) juga berkontribusi memperburuk profesionalisme TNI dan mengancam warga, untuk itu kami mendesak Presiden dan Panglima TNI melakukan kajian evaluatif untuk memastikan TNI tidak terlibat dalam Pengamanan PSN dan Konflik Agraria pada umumnya atau yang berhubungan dengan konflik sumber daya alam;

Jika hal-hal demikian dibiarkan terus terjadi pada masa-masa mendatang, potensi yang muncul adalah agenda reformasi TNI yang terus berjalan mundur dan ini adalah ancaman serius bagi kelangsungan demokrasi dan negara hukum di Indonesia. Oleh karena itu, Kami mendesak kepada Presiden dan DPR RI untuk kembali kepada mandat reformasi untuk meneruskan agenda reformasi TNI dan menjadikan revisi UU TNI untuk mendorong demokratisasi TNI sebagai alat negara untuk menjaga  pertahanan dan kedaulatan RI sebagaimana mandat konstitusi bukan justru melegitimasi praktik kembalinya Dwi Fungsi ABRI;

 

Jakarta, 5 Oktober 2024

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

 

 

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *