Kami menyayangkan pernyataan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Syofyan Djalil menolak membuka data Hak Guna Usaha (HGU) dengan alasan membahayakan kepentingan nasional, dalam hal ini melindungi industri sawit.
Desakan untuk membuka HGU telah sejak lama dilakukan oleh masyarakat sipil. HGU merupakan salah satu informasi bersifat publik yang harus bisa diakses semua orang. Hal ini salah satunya mengacu putusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang memenangkan gugatan Forest Watch Indonesia (FWI) dalam perkara Nomor 057/XII/KIP-PS-M-A/2015 tanggal 22 Juli 2016 yang diperkuat dengan putusan Nomor 121 K/TUN/2017 tertanggal 6 Maret 2017. Putusan tersebut memerintahkan Mentri ATR/BPN membuka data HGU yang masih berlaku hingga tahun 2016 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara baik informasi nama pemegang HGU, tempat/lokasi, luas HGU yang diberikan, jenis komoditi, peta area HGU yang dilengkapi titik koordinat. Namun sampai sekarang tidak pernah diberikan. “FWI mencatat dari rentang tahun 2013-2018, Kementerian ATR/BPN sudah 11 kali diadukan oleh kelompok masyarakat sipil maupun perorangan untuk kasus sengketa informasi terkait dokumen HGU. Mulai dari Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Aceh dan yang terkahir putusan Komisi Informasi Papua Nomor : 004/III/KI-Papua-PS-A/2018 yang menyatakan informasi yang dimohonkan LBH Papua terkait dokumen HGU 31 perusahaan perkebunan sawit di Papua sampai 2016-2017 bersifat terbuka,” kata Agung Ady Setyawan, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI).
Beberapa sengketa sampai saat ini terus bergulir di Komisi Informasi baik Pusat maupun Daerah. Greenpeace Indonesia saat ini tengah menjalani sidang gugatan informasi HGU di Komisi Informasi Pusat (KIP) terhadap Kementerian ATR/BPN. “Argumen pemerintah tidak memiliki dasar hukum, bertentangan dengan Undang-undang Informasi Publik serta yang telah dipatahkan oleh Mahkamah Agung. Kami mendukung langkah YLBHI mensomasi Kementerian ATR/BPN dan mengambil langkah hukum jika pemerintah bersikeras dengan sikapnya.” kata Asep Komarudin Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
“Masalah tumpang tindih perizinan, seperti izin perkebunan yang berada di kawasan hutan konservasi, hutan lindung, dan lahan gambut hingga konflik masyarakat dengan korporasi akan terus terjadi di masa depan, dan apa yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN merupakan langkah mundur dari keterbukaan informasi serta contoh buruk dari lembaga negara yang membangkang terhadap Putusan MA,” tambah Asep.
“Usaha menghambat informasi HGU sebetulnya juga dilakukan oleh Menteri ATR/BPN melalui kebijakan (permen 7/2017),” kata Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur Bidang Pengembangan Program ICEL. “Pasal 61 Permen tersebut menyatakan bahwa hanya pihak yang berkepentingan saja yang dapat mengakses informasi HGU. Ini bertentangan dengan putusan KIP dan PTUN yang menyatakan bahwa HGU merupakan informasi publik. Selain itu, permen tersebut juga menyebutkan bahwa pemberian informasi akan diatur lebih lanjut dalam petunjuk teknis, yang sampai sekarang belum ada. Bahkan jika Menteri ATR/BPN bersikukuh informasi HGU sebagai informasi rahasia, maka Presiden yang mengungkap informasi HGU di debat Pilpres-pun berpotensi diperkarakan secara pidana berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU KIP dengan ancaman maksimal 2 tahun penjara,” tegasnya.
Berdasarkan UU 12 Tahun 2011 tentang Pembetukan Peraturan Peundang-Undangan, kedudukan Peraturan Menteri hanyalah bersifat teknis administratif dan tidak pada posisi memberikan mengecualian, menambahkan, mengurangi apa-apa yang sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, apalagi menyangkut hak-hak informasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian, Permen ini bertentangan dengan UU, Putusan Pengadilan dan UUD 1945 khususnya Pasal 28F. Jika diteruskan maka Menteri dapat dikatan telah bertindak sewenang-wenang (onrechtmatige overheidsdaad),” kata Charles Simabura, Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas.
YLBHI mensomasi mentri ATR/BPN pada Senin, 11/3/2019 untuk membuka data HGU. Menteri ATR akan dilaporkan secara pidana ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia jika dalam tenggat waktu satu minggu tak membuka data HGU. “Sikap Mentri ATR yang menolak membuka data HGU, berulang kali mengabaikan putusan pengadilan dan putusan lembaga auxiliary bodies seperti Komisi Informasi Publik adalah penghinaan terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia. Mentri ATR/BPN dapat dipidana jika tidak membuka informasi HGU,” kata Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI.
Sejak adanya Putusan final sengketa informasi HGU yang menyatakan informasi HGU merupakan informasi terbuka, maka seharusnya Menteri ATR/BPN tunduk dan melaksanakan putusan tersebut. Pasal 11 ayat (2) UU KIP juga menyatakan bahwa informasi yang dinyatakan terbuka sebagai hasil sengketa maka otomatis menjadi informasi yang dapat diakses publik dalam kategori wajib disediakan setiap saat. Badan Publik yang dengan sengaja tidak mau memberikan dan atau menerbitkan informasi publik yang harus diberikan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dapat dipidana menurut Pasal 52 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pejabat tersebut dikenakan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah.
Pembangkangan terhadap putusan dan penerbitan peraturan menteri tersebut diatas telah cukup membuktikan Mentri ATR/BPN sengaja tidak mau memberikan dan atau menerbitkan informasi publik dalam hal ini HGU. Padahal tidak dibukanya informasi HGU telah menimbulkan kerugian dan dampak yang sangat luas terhadap kepentingan hajat hidup orang banyak karna telah berkontribusi besar menyebabkan konflik agraria dan ketimpangan penguasaan lahan. Belum lagi dampak turunan yang disebabkan seperti penggusuran secara paksa dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang hidup dan bermukim di sekitar wilayah HGU terutama terhadap petani maupun masyarakat adat.
Perkumpulan HuMa Indonesia, hingga Desember 2018, mendokumentasikan 326 konflik yang berlangsung di 158 kabupaten/kota di 32 provinsi, dengan luas areal konflik 2.101.858,221 Ha, yang melibatkan 286.631 jiwa korban, yang terdiri dari 176.337 jiwa masyarakat adat dan 110.294 jiwa masyarakat lokal. Jika dibagi berdasarkan sektor, konflik perkebunan dan kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia. Konflik perkebunan dengan jumlah 156 konflik seluas 619. 959,04 Ha, yang melibatkan 46.934 jiwa korban. Sementara konflik kehutanan dengan jumlah 86 konflik seluas 1.159.710,832 Ha, yang melibatkan 121.570 jiwa korban. Disisi lain, perusahaan menjadi pihak yang paling sering menjadi pelaku konflik – terlibat dalam 221 konflik- dalam konflik agraria dan sumberdaya alam.
Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat, kurun waktu 2009 – 2018 telah terjadi sedikitnya 3.168 letusan konflik agraria di seluruh provinsi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1194 letusan konflik terjadi di wilayah (sektor) perkebunan yang disebabkan perampasan tanah secara paksa melalui pemberian HGU secara sepihak maupun HGU yang tumpang tindih dengan wilayah garapan dan pemukiman masyarakat.
“Salah satu akar masalah di konflik agraria adalah terkait tumpang tindih HGU perusahaan dan tanah warga. HGU perusahaan berasal dari tanah publik seharusnya bisa diakses sangat mudah oleh publik. Kalau informasi soal HGU yang berasal dari publik tidak bisa diakses artinya memang ATR/BPN perlu dievaluasi oleh presiden,” kata Ronal M. Siahaan, Manager Hukum Lingkungan da Litigasi, Walhi. HGU utamanya perkebunan sawit juga menyumbang pada kerusakan lingkungan, rusaknya lahan-lahan pertanian dan perekonomian masyarakat. Salah satu contoh adalah kasus PT Waringin Agro Jaya, mulai tahun 2007 PT. Waringin Agro Jaya telah membuka sekat kanal yang mengakibatkan menurunnya produktivitas pertanian di Kawasan Areal Lebak Belanti. Pada tahun 2008 keseluruhan lahan Lebak Belanti sekitar ± 2.708 Ha terendam banjir. Tidak ada jalan keluar air di areal lebak. Area ini terus menerus menjadi langganan banjir. Sudah 10 Tahun lamanya tergenang air dan ditumbuhi setedok atau rumput malu setebal ± 1,5 meter. Rusaknya lahan pertanian menjadi kerugian negara selama 10 tahun bahkan lebih dari itu jika tidak segera diselesaikan.
Keterbukaan informasi publik dalam pengelolaan SDA menjadi hal yang sangat fundamental bagi Masyarakat adat. Masyarakat adat tidak pernah tahu bagaimana proses lahirnya izin HGU dan penetapan kawasan hutan diatas wilayah adat mereka,” kata Arman Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM, AMAN.
Berdasarkan data hasil overlay sementara yang dilakukan oleh AMAN, sebaran tumpang tindih izin-izin HGU dengan wilayah adat, tersebar di 307 komunitas adat yang masuk dalam HGU, dengan luasan 313.687.38 Hektar” lanjutnya.
Hal yang sama dengan program reforma agraria (ala presiden Jokowi), AMAN menilai bahwa program RA yang sedang dijalankan oleh pemerintah saat ini, justru berpotensi kuat menjadi sumber konflik baru perampasan wilayah adat karena tidak adanya informasi yang jelas mengenai lokasi tanah objek reforma agraria (TORA) dan ketiadaan hukum pengakuan masyarakat adat beserta wilayah adatnya. Dari data sementara yang dioverlay oleh AMAN, menunjukkan lokasi TORA yang tumpah tindih dengan wilayah adat tersebar di 24 Kabupaten/Kota dengan luas 383.729.21 hektar, “ tegas Arman
Senada dengan itu, Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Agraria mengatakan, “Ketertutupan HGU juga yang berdampak terhadap mandegnya pelaksanaan reforma agraria dalam 4 tahun ini. Padahal reforma agraria merupakan salah satu janji prioritas pemerintahan Jokowi – JK. Sejumlah organisasi masyarakat sipil juga telah menyerahkan data-data wilayah konflik kepada pemerintah sebagai prioritas penyelesaian konflik agraria. Salah satunya data Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang telah diusulkan KPA sejak 2017. Dari 462 lokasi LPRA yang telah diserahkan, sebanyak 224 lokasi dengan luasan 411.465 hektar berkonflik dengan HGU, baik HGU perusahaan Negara (PTPN) maupun HGU perusahaan swasta.
Tuntutan atas reforma agraria bukan karna semata-mata merupakan janji pemerintah yang sedang berkuasa. Namun reforma agraria merupakan mandat konstitusi yang wajib dijalankan oleh siapapun Presiden Indonesia sebagai mandatoris. Salah satu langkah awal untuk menjalankan mandat tersebut, pemerintah harus segera membuka data informasi HGU untuk selanjutnya dikoreksi guna menyelesaikan konflik agraria dan menguarai ketimpangan penguasaan lahan.
“Urgensi pentingnya membuka data HGU juga terkait dengan pendapatan negara, jika HGU tidak dibuka maka publik tidak mengetahui apalagi mengawasi seberapa besar pendapatan negara yang harus diterima dari industri perkebunan,” jelas Vera Falinda, Program Officer TuK Indonesia
Koalisi mendesak Menteri ATR/BPN untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung dengan membuka data HGU. Jika ini tidak dipenuhi paling lambat sejak satu minggu menerima somasi, maka koalisi akan melaporkan menteri ATR/BPN secara pidana. Koalisi juga mengingatkan Presiden untuk segera memerintahkan dan memastikan menteri ATR/BPN membuka data HGU dan menggunakan data-data itu untuk menyelesaikan konflik-konflik Agraria. Jika tidak maka Koalisi menganggap Pembangkangan hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Menteri ATR-BPN sebagai sikap rezim, dalam arti dilakukan atas restu Presiden.
KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK ADVOKASI BUKA DATA HGU
YLBHI, Eknas Walhi, FWI, KPA, Sawit Watch, HUMA, TuK Indonesia, Auriga, AMAN, ICEL, Greeapeace, Elsam
Cp:
- Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI
- Asep Komarudin Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia)
- Ronal M. Siahaan, Manager Hukum Lingkungan da Litigasi, Walhi
- Beni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Reforma Agraria
- Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM, AMAN
- Agung Ady Setyawan, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia
- Vera Falinda, Program Officer TuK Indonesia
- Mega Dwi Yulyandini, Staf Advokasi dan Kampanya HuMa
- Muhammad Busyrol Fuad, Staf Advokasi Hukum ELSAM
- Wida Nindita, Staf Pengelola dan Analisis Data Sawit Watch