Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) secara resmi meluncurkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda pada selasa 20 Oktober 2020. Dengan peluncuran ini maka LBH Samarinda menjadi kantor ke-17 di lingkungan YLBHI. Peluncuran LBH Samarinda kali ini, dilaksanakan dengan cara tidak seperti biasanya yang dilakukan secara tatap muka, karena alasan pandemi Covid-19 maka peluncuran LBH Samarinda dilaksanakan secara daring dengan tetap mengundang berbagai komponen masyarakat sipil serta lembaga negara/pemerintah.
Dalam peluncuruan ini, sekaligus mengangkat Fathul Huda Wiyashadi sebagai Kepala Kantor Project Base LBH Samarinda untuk jangka waktu satu tahun. Dalam sambutannya, Ketua Umum YLBHI Asfinawati mengatakan bahwa “moment peluncuran LBH Samarinda ini akan tercatat dalam sejarah, mengingat LBH Samarinda diluncurkan tepat di momen ramainya demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja di seluruh Indonesia, serta satu tahun pemerintahan Joko Widodo periode ke dua. Fathul dalam sambutannya pasca diangkat menjadi kepala kantor mengutarakan bahwa kehadiran LBH Samarinda merupakan sebuah cita-cita yang sejak lama diperjuangkan oleh seluruh elemen gerakan masyarakat sipil di Kalimantan Timur, dengan hadirnya LBH Samarinda diharapkan menjadi jawaban atas kebutuhan bantuan hukum bagi masyarakat sipil Kalimantan Timur khususnya komunitas masyarakat rentan yang saat ini sedang berhadap-hadapan terhadap kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang.
Selain Peluncuran LBH Samarinda, pada acara tersebutjuga dilselenggarakan diskusi publik bertajuk “Apakah Omnibus Law menjawab keselamatan Rakyat Kalimantan Timur?”. Dalam acara diskusi publik yang dipandu oleh Koordinator JATAM Kalimantan Timur Paradarma Rupang ini, menghadirkan Menghadirkan Merah Johansyah (Koordinator JATAM Nasional), Boy Even Sembiring (Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional WALHI), Saepul Anwar (Ketua Bidang Advokasi PP SPKEP SPSI), Haris Retno Susmiyati (Akademisi Universitas Mulawarman) serta Asfinawati (Ketua Umum YLBHI).
Merah Johansyah dalam kesempatannya memaparkan bahwa orang-orang yang menyusun Omnibus Law rata-rata merupakan pelaku usaha yang bergerak di bidang industri ekstraktif sehingga UU Cipta Kerja ini sarat akan kepentingan-kepentingan pribadi dari para pnyusunnya. Selain itu, beberapa dari penyusun tersebut terhubung dengan industri ekstraktif yang telah lama beroperasi di Kalimntan Timur, sehingga UU Cipta Kerja ini sangat mengancam kondisi ekologi Kalimantan Timur.
Boy Even Sembiring yang mendapatkan kesempatan setelah Merah Johansyah memaparakan bahwa Negara mengakui sedang berada dalam kritis bahaya kemanusiaan yang disebabkan kerusakan lingkungan hidup, yang mana hal tersebut tertuang dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001. Namun di dalam praktiknya Negara mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang salah satunya adalah omnibus Law cipta Kerja yang justru memperparah terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
Saepul Anwar yang merupakan Ketua Bidang Hukum dan Advokasi PP FSPKEP SPSI memaparkan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja adalah semacam penyelundupan yang dilakukan pemerintah dalam rangka merevisi Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana upaya pemerintah untuk merevisi undang undang nomor 13 tahun 2003 dari tahun 2006 selalu dilakukan namun selalu menemui kegagalan selain itu Pemerintah menerapkan politik sosial dumping dimana disatusisi pemerintah menciptakan iklim kemudahan berinvestasi tapi mengorbankan perlindungan terhadap pekerja.
Selanjutnya Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Haris Retno memaparkan bahwa pemerintah menyatakan Omnibus Law merupakan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa undang-undang secara komprehensif (penyederhanaan Regulasi) namun faktanya menurut draf versi 812, ada 79 undang-undang, 11 klaster dan pasal yang akan dirubah sebanyak 1244 pasal serta membutuhkan 470 Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana jika seperti ini apakah masih bisa disebut sederhana. Ini kan tentu saja tidak sederhana selain itu didalam Undang Undang cipta Kerja terkait industri ekstraktif khususnya batu bara isinya memperkuat Undang Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batu bara dimana bertujuan memfasilitasi pengusaha pertambangan dalam menjalankan kerja-kerjanya yang tentu saja akan berdampak buruk bagi perempuan dan anak.
Di sesi terakhir, Ketua Umum YLBHI Asfinawati mengatakan bahwa “didalam proses pembuatan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sangat tertutup dan akses untuk memperoleh informasi terkait proses legislasi tertutup rapat. Selain itu dalam segi pembahasan UU Cipta Kerja penuh dengan kecurigaan dikarenakan adanya beberapa pasal-pasal yang subtansinya berubah-ubah. Penyesatan logika yang sering diutarakan pemerintah adalah seakan-akan jika investasi datang maka akan memperoleh sejahtera namun di zaman pemerintahan Soeharto investasi banyak masuk ke dalam negeri faktanya tidak juga kesejahteraan dirasakan masyarakat luas, justru yang terjadi pemerintah berhutang kepada World Bank dan IMF yang ujung-ujungnya pemerintah dipaksa untuk menandatangani sederet MoU yang membatasi hak-hak rakyat.
Diskusi publik dalam rangka peluncuran LBH Samrinda disambut antusias oleh peserta diskusi publik yang haus akan informasi-informasi penting mengenai UU cipta kerja sehingga harapanya gerakan rakyat semakin menguat dan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan Negara yang tidak pro terhadap rakyat semakin luas.
Jakarta, Oktober 2020