2020 bagi Indonesia tidak hanya tahun pelanggaran HAM seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi sempurnanya Indonesia masuk ke negara otoritarian.
Apa tandanya? Sebagian kecilnya: perampasan hak rakyat yang semakin dilegalkan dengan Omnibus Law Cipta Kerja. Juga demonstrasi kembali menjadi aktivitas “terlarang” sebab kita bisa ditangkap hanya karena menuju tempat aksi. Padahal pasca kemunduran Soeharto dan tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru undang-undang awal yang dibentuk salah satunya adalah UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Sebuah tanda lepas dari trauma masa lalu yaitu penangkapan dan pelarangan demonstrasi saat Orde Baru.
Tahun 2020 kita dipertontonkan bobroknya penanganan pandemi, dan tunggang langgangnya warga mempertahankan diri. Betapa kita dengan geram melihat kebijakan demi kebijakan penanganan pandemi terlihat seperti amatir dan berantakan. Kita harus berterimakasih sekaligus mengucapkan duka pada pada 520 orang lebih Tenaga Kesehatan yang wafat dalam perlawanan menangani Pandemi.
Tahun ini kita juga diberi kesempatan oleh rezim untuk merenungkan HAM secara mendalam. Mereka yang pernah berteriak dan mendesak pembubaran organisasi lain kini dibubarkan oleh Pemerintah dan/atau dilarang beraktivitas. Dan seperti pada isu-isu pasca Pilpres masyarakat terbelah secara tajam. Mereka yang sebelumnya menentang pelarangan JAI, kemudian mendukung pembubaran HTI. Mereka yang mendukung pembubaran FPI tapi sekaligus menentang pembubaran kelompok Syiah. Mereka yang menentang persekusi kelompok minoritas, tetapi mendukung atau setidaknya tidak menolak “penghukuman mati” langsung 6 anggota FPI tanpa melalui proses peradilan. Dan kita lupa mendiskusikan keadilan bagi korban dan keluarganya. Kita lebih asyik melempar kata dan meme mengecam, menghujat satu sama lain, menjauhkan persoalan tentang keadilan & pemulihan bagi korban dan keluarganya, siapapun korban itu. Dan kecaman pun bergulung-gulung untuk kelompok yang menyuarakan pemihakan berdasarkan HAM dalam kasus-kasus serupa ini hingga mendelegitimasi HAM itu sendiri.
Fenomena ini contoh paling baik tentang politik yang dijalankan tanpa HAM. Keputusan-keputusan didasarkan atas preferensi dan kepentingan politik yang sedang memerintah. Oleh karena itu kita hanya berganti-gantian menjadi korban. Korban menjadi pelaku, pelaku menjadi korban, dst. Dan dalam upaya agar tidak menjadi korban kita harus menjadi penguasa, menjadi pelaku. Bisakah kita tidak menjadi korban tanpa menjadi penguasa? Bsakah kita menjadi minoritas tanpa menjadi korban? HAM, yang sebenarnya juga adalah dokumen perdamaian dalam jiwa kengerian Perang Dunia II, menawarkan solusinya. Dan Indonesia sebenarnya telah memilih jalan HAM sejak amandemen Konstitusi di masa Reformasi. HAM tidak peduli dengan aliran politik, keyakinan, gender seseorang/suatu kelompok. Selama tidak melakukan kekerasan maka semua orang memiliki hak. Dengan tidak membela aliran, keyakinan sesuatu HAM sedang membela semua orang yang memiliki aliran, keyakinan yang berbeda-beda. Kita hanya membutuhkan satu hal; hidup berdampingan dalam damai. Dan hal ini tidak akan pernah tercapai apabila negara tidak netral.
Terakhir, tahun 2020 juga adalah tahun makin bangkitnya kesadaran dan gerakan massa dengan jumlah yang mencolok pada kaum muda. Hal ini tampaknya jawaban alamiah di tengah defisit demokrasi di tubuh Partai Politik, tidak terasanya oposisi di DPR serta demokrasi yang terus menyusut. Mari kita tutup tahun 2020 sambil mengingat kenangan pahit tentang nya dan mengumpulkan kekuatan baru bagi tahun 2021, Tahun Gerakan Rakyat!
Salam Hormat,
YLBHI