Majelis Hakim yang diketuai Ainur Rofiq, SH., MH., menyatakan Rois Al Hukama yang menjadi penggerak kerusuhan antara warga Sunni dan Syiah Sampang, Madura, dibebaskan dari segala dakwaan karena tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum sebelumnya telah menuntut Rois Al Hukama 2 tahun penjara, karena dianggap terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, yakni Pasal 338 KUHP, Pasal 354 ayat (2) KUHP, Pasal 355 ayat (1) KUHP, dan Pasal 170 ayat (2) dan ayat (3) KUHP. Dalam fakta-fakta persidangan yang diungkap oleh Jaksa Penutut Umum Bagus Wicaksono dari Kejaksaan Negeri Sampang bahwa terdakwa terbukti bersalah menjadi otak dan penggerak massa dengan syiar kebencian. Beberapa saksi secara meyakinkan mengatakan, kalau Rois memerintahkan massa mendatangi kediaman Tajul Muluk yang berbuntut pembakaran, kekerasan bahkan meninggalnya seorang warga Syiah pada kerusuhan Sampang yang terjadi pada 26 Agustus 2012.
Hal keputusan bebas tersebut dirasa tidak adil karena bertolak belakang dengan yang dialami oleh sang kakak, yaitu Pemimpin warga Syiah Sampang, Tajul Muluk. pada tanggal 3 Januari 2013, Mahkamah Agung melalui putusannya menolak kasasi Tajul Muluk dan tetap menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara.
Putusan bebas Rois Al Hukmana ini, ini menambah panjang daftar ketimpangan penegakan hukum di negeri ini. Dalam catatan Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), pihak minoritas selalu menjadi korban ketidakadilan, seperti yang dialami oleh Jemaah Ahmadiyah Cisalada yang diserang kampungnya, lalu kekerasan dan pembunuhan terhadap Jemaah Ahmadiyah Cikeusik, jemaah Ahmadiyah Bekasi yang masjidnya disegel oleh pemerintah kota bekasi, Jemaah HKBP Filadelfia yang kesulitan membangun tempat ibadah demikian pula yang terjadi pada HKBP Taman Yasmin, dan masih banyak lagi kasus ketidakadilan terhadap kelompok minoritas. Negara terkesan tutup mata dalam menyikapi ketidakadilan terhadap kaum minoritas yang juga adalah warga negara Indonesia.
Pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan telah gagal memberikan rasa keadilan bagi warganya terutama kelompok minoritas, bahkan seringkali pihak minoritaslah yang menjadi korban ketidakadilan. Bukan hanya diserang, namun terjadi kriminalisasi terhadap mereka, seperti yang dialami oleh Deden Sudjana, Jemaah Ahmadiyah Indonesia yang menjadi korban kriminalisasi dalam tragedi Cikeusik. Hal serupa dialami oleh pendeta Palti Pandjaitan, pendeta HKBP Filadelfia yang kini berstatus tersangka.
Putusan ini sekali lagi memberikan bukti bahwa Pengadilan sebagai institusi penegak hukum dan penjunjung tinggi keadilan telah gagal untuk menjamin dan menegakan rasa keadilan masyarakat. Majelis Hakim dalam hal ini seharusnya tidak menunjukan Bahwa tindakan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya Mencederai Rasa Keadilan dan Melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2004 Nomor 1 tentang Berperilaku adil yang menyebutkan :
“Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.”
Oleh karena itu, Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) Mendesak :
1. Komisi Yudisial untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap Putusan tersebut dan memeriksa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menjatuhkan Putusan tersebut.
2. Mahkamah Agung agar mengkaji putusan tersebut dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki kualitas lembaga peradilan, agar tidak lagi terulang terhadap kasus-kasu serupa yang tentunya akan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Jakarta, 19 April 2013
YAYASAN LBH INDONESIA
Bahrain, S.H., M.H.
Direktur Advokasi
Silahkan Unduh Siaran Pers :20130419_Siaran Pers_Bebasnya Rois (PDF File, Bahasa Indonesia)