SEGERA HENTIKAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL PANGAN DI MERAUKE DEMI MELINDUNGI MASYARAKAT ADAT MALIND DARI ANCAMAN DUGAAN KEJAHATAN GENOSIDA

Papuan Indigenous people and activists from coalition Merauke Solidarity hold a protest in front of the Defense Ministry office in Jakarta. The coalition is demanding the President, Defense Minister, Agricultural Minister, and Ministry of Investment / Indonesia Investment Coordinating Board (BKPM) to stop the Food Estate Strategic National Project (PSN) Merauke that will destroy million hectares of Papuan forests into Sugar cane plantation, bioethanol, and rice paddies.

Siaran Pers
Nomor : 014 / SP-LBH-Papua / XI / 2024

SEGERA HENTIKAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL PANGAN DI MERAUKE DEMI MELINDUNGI MASYARAKAT ADAT MALIND DARI ANCAMAN DUGAAN KEJAHATAN GENOSIDA
“Menteri Hak Asasi Manusia Republik Indonesia segera evaluasi dan cabut kebijakan Pelibatan Tentara Nasional Indonesia dalam Proyek Strategis Nasional di Papua yang bakal melahirkan Konflik Horisontal dan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Dalam Bentuk Kejahatan Genosida Terhadap Masyarakat Adat Marind”

Pada prinsipnya pengembangan Proyek Strategis Nasional Pangan di Merauke sampai saat ini masih menuai proses dari Masyarakat Adat Marind khususnya Marga Gebze Moyuend, Gebze Dinaulik, Kwipalo dan beberapa marga lainnya tidak melepaskan tanah adatnya sehingga jelas-jelas tindakan pengembangan Proyek Strategis Nasional Pangan di Merauke melanggar Hak Masyarakat Adat Papua yang dijamin pada Pasal 18b ayat (2), Undang Undang dasar 1945 junto Pasal 6, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Selain itu, Proyek Strategis Nasional Pangan di Merauke yang belum memiliki AMDAL dan Ijin Lingkungan padahal secara tegas dielaskan bahwa Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (1), Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengolahan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Terlepas dari itu, kegiatan Proyek Strategis Nasional di Merauke juga telah berdampak pada eksistensi Taman Nasional, Suaka Marga Satwa dan Cagar Alam beserta wilayahnya di Kabupaten Merauke sebanyak 7 (tujuh) buah yang telah dijamin Pasal 33, Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Papua Tahun 2013 – 2033 dan Pasal 21 ayat (2), Peraturan Daerah Kabupaten Merauke Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke Tahun 2010 – 2030.

Selain itu, melalui Proyek Strategis Nasional Pangan di Merauke yang dilakukan diatas Tanah dan hutan Adat Marga dalam Wilayah Adat Marind ini juga berpotensi Konflik Horisontal antara Marga sebab secara turun temurun Masyarakat Adat Marind telah hidup, tumbuh dan berkembang diatas wilayah adat marga masing-masing tanpa melakukan pencaplokan tanah adat marga antara sesame. Dengan diambil alihnya Tanah dan Hutan Adat milik beberapa Marga oleh Negara melalui pemerintah dengan pendekatan Proyek Strategis Nasional Pangan di Merauke tentunya akan menghilangkan Tanah dan Hutan Adat beberapa Marga dan tentunya Marga yang kehilangan Hutan dan Tanah Adat Marga yang selama ini telah memenuhi kebutuhan papan (rumah), kebutuhan pangan (makanan) dan kebutuhan sandang (pakaian) selanjutnya mereka akan hidup tanpa Tana dan Hutan Adat yang tentunya akan memicu konflik antara sesame Masyarakat adat Malind karena untuk bertahan hidup mereka akan memasuki Tanah dan Hutan adat milik marga lainnya.

Diatas fakta Program Strategis Nasional Pangan di Merauke yang jelas-jelas melanggar Hak Masyarakat Malind dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia serta jelas-jelas akan memicu konflik horizontal antara sesame Masyarakat Adat Marid, pada tanggal 10 November 2024, diselenggarakan Upacara Penerimaan Yonif Teritorial Pembangunan 801/NAY, 803/WNJ, 803/KYK, Komando Pelaksana Operasi Resort Militer 174/ATW sebanyak 2 Ribu pasukan TNI yang tiba di Merauke. Sesuai dengan keterangan dalam video berjudul 2 Ribu Prajurit TNI Tiba di Papua Selatan Untuk Dukung Sejuta Lahan yang ditayangkan oleh canal Yotube Liputan6, Brigjen TNI Andy Setiawan selaku Danrem 174, Animti sempat menyatakan beberapa Tugas yang akan dilakukan oleh 2 Ribu Prajurit akan bertugas. Salah satu tugas yang berkaitan dengan Masyarakat yang disampaikan oleh Dandrem 174 Animti sampaikan yaitu “………… Masyarakat-masyarakat khususnya di Papua Selatan yang saat ini mungkin masih kegiatan pertaniannya berpindah-pindah, masih dengan cara berburuh itulah nanti mereka akan memberikan pendampingan dan penyuluhan bersama-sama dengan Masyarakat untuk mengiatkan khususnya terkait dengan ketahanan pangan di Papua Selatan ………”.

Atas dasar itu, dengan hadirnya 2 (dua) ribu Prajurit TNI di Merauke dengan tujuan untuk mendukung sejuta lahan diatas yang menjadi pertanyaan adalah apakah akan menambah deretan Panjang pelanggaran Hak Masyarakat Adat Marind dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya ataukan tidak sebab kehadiran 2 (dua) ribu prajurid TNI bukan hanya untuk mendukung Proyek Strategis Nasional saja namun tetap akan menjalankan Tugas Pokoknya sebagai TNI. Dengan melihat arahan Dandrem 174 Animti terkait 2 Ribu Pasukan TNI akan bertugas untuk mengubah corak sosial Masyarakat Adat Animha yang sudah secara turun temurun bermata pencaharian “Berburu dan Meramu” menjadi “Petani” sudah dapat menunjukkan fakta dugaan terjadinya pelanggaran Hak Masyarakat Adat Marind sebab “Berburu dan Meramu” adalah mata pencaharian secara tradisional Masyarakat Adat Marind yang telah digunakan sejak nenek moyang yang masih terus diwariskan sampai saat ini untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan (makan) sehingga jika diubah tentunya akan melanggar Hak Masyarakat Adat Marind.

Untuk diketahui bahwa Upaya mengubah Masyarakat Adat Marind yang bermata pencaharian “berburu dan meramu” menjadi “Petani” telah diupayakan sejak masa Pemerintah Belanda di Papua dengan mengembangkan Pertanian Sawa di Kurik (Merauke) namun hal itu tidak mampu mengubah Masyarakat Adat Marind menjadi Petani. Selanjutnya, Pada masa Pemerintah Indonesia di era Orde Baru melalui Program Petani Inti Rakyat Transmigrasi (PIR Trans) juga tidak mampu mengubah Masyarakat Adat Marind menjadi Petani dan dilanjutkan dengan pemberian HGU kepada Perusahaan untuk mengembangkan Perkebunan Kelapa Sawit namun belum mampu mengubah Masyarakat Adat Marind dari “Berburu dan Meramu” menjadi “Petani”. Justru melalui pendekatan itu telah memarjinalkan Masyarakat Adat Marind diatas Tanah Adatnya sementaraPara Petani yang didatangkan dari luar Pulau Papua yang semakin kaya raya sementara Masyarakat Adat Marind hidup seadanya dengan bergantung kepada Hutan Adat milik marganya masing-masing dengan menggunakan tradisi berburu dan meramu sesuai peninggalan nenek moyangnya.

Semua fakta itu, menunjukan bahwa Masyarakat Adat Marind menginginkan Hidup dengan menggunakan corak hidup “berburu dan Meramu” dari hutan adat milik marga mereka masing-masing bukan bercorak “Petani” sebagaimana yang diimpikan Pemerintah Indonesia melalui Proyek Strategis Nasional Pangan di Merauke yang akan diback-up oleh anggota TNI yang berjumlah 2 ribu orang telah tiba di Merauke pada tanggal 10 November 2024 kemarin.

Terlepas dari kondiri itu, dengan melihat fakta tindakan penghancuran hutan adat Masyarakat Adat Malind oleh Perusahaan pengemban Proyek Strategis Nasional Pangan di Merauke yang telah menghilangkan tempat “berburu dan meramu” hasil hutan oleh Masyarakat Adat Marind diatas serta fakta 2 Ribu Pasukan TNI yang akan bertugas untuk mengubah corak sosial Masyarakat Adat Malind yang sudah secara turun temurun bermata pencaharian “Berburu dan Meramu” menjadi “Petani” tersebut yang dikhawatirkan adalah akan melahirkan dugaan tindakan Pelanggaran HAM Berat dalam bentuk Kejahatan Genosida sebagaimana diatur pada Pasal 7 huruf a, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Dugaan tindakan Pelanggaran HAM Berat dalam bentuk Kejahatan Genosida dapat disebutkan berdasarkan pada pengertian “Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain” sebagaimana diatur pada Pasal 8, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan pada uraian diatas sudah dapat disimpulkan bahwa melalui tindakan Pengembangan Proyek Strategis Nasional Pangan di Merauke yang sudah, sedang dan akan menghancurkan tempat “berburu dan meramu” Masyarakat Adat Marind serta melihat fakta misi kehadiran 2 Ribu Pasukan TNI yang bertugas untuk mengubah corak Masyarakat adat marid dari “Berburu dan Meramu” menjadi “Petani” diatas secara jelas-jelas akan mengarahkan Masyarakat Adat Marind pada posisi korban atas dugaan tindakan “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; dan/atau menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya” sebagaimana diatur pada Pasal 8 huruf b dan huruf c, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Atas dasar itu, kami Lembaga Bantuan Hukum Papua selaku kuasa hukum Marga Kwipalo, Marga Gebze dan Marga Moiwend menegaskan kepada :

  1. Presiden Republik Indonesia Segera Batalkan Proyek Strategis Nasional Pangan demi melindungi Masyarakat Adat Malind Dari Ancaman Konflik Horisontal dan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Dalam Bentuk Kejahatan Genosida;
  2. Mentri Hak Asasi Manusia Republik Indonesia segera evaluasi dan cabut kebijakan Pelibatan TNI dalam Proyek Strategis Nasional di Papua yang bakal melahirkan Konflik Horisontal dan dugaan pelanggaran HAM Berat Dalam Bentuk Kejahatan Genosida Terhadap Masyarakat Adat Marind;
  3. Ketua Komnas HAM RI dan Kepala Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Papua segera bentuk tim investigasi dan langsung tinjau Lokasi Pengembangan Proyek Strategis nasional Pangan di Merauke Papua demi melindungi Masyarakat Adat Malind Dari Ancaman Dugaan Pelanggaran Kejahatan Genosida;
  4. Pejabat Sementara Gubernur Provinsi Papua Selatan wajib melindungi Masyarakat Adat Animha dari ancaman Dugaan Tindakan Kejahatan Genosida akibat Pengembangan proyek Strategis Nasional pangan di Merauke.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Jayapura, 11 November 2024

Hormat Kami

LEMBAGA BANTUAN HUKUM PAPUA

EMANUEL GOBAY, S,H., MH
(Direktur)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *