CATATAN YLBHI : REFLEKSI 1 TAHUN KEPEMIMPINAN SBY-BOEDIONO
tentang
(Dalam Perspektif Penegakan Hukum dan HAM)
Hari ini adalah tepat satu tahun pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II)Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono. YLBHI sebagai lembaga yang concern terhadap penegakan hukum, HAM dan demokrasi memadang perlu untuk menilai realisasi program pemerintah dengan tujuan sebagai masukan untuk perbaikan dan percepatan pemenuhan aspirasi eadilan masyarakat dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.
Pemerintah memiliki 13 program aksi sebagai pelaksanaan dari visi dan misi Pemerintah 2009-2014. 1 Ylbhi concern terkait dengan prioritas 10 yaitu Program Aksi Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi yang dilaksanakan dengan cara: (1) memperbaiki law enforcement; (2) Memperkuat kinerja dan pengawasan kepolisian dan kejaksaan; (3) Meninjau ulang dan memperbaiki peraturan yang menyangkut penegakan hukum sehingga dapat memberikan jaminan pelayanan, kepastian dan keadilan kepada pencari keadilan; (4) Mendukung perbaikan administrasi dan anggaran di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya; (5) Pencegahan dan penindakan korupsi secara konsisten dan tanpa tebang pilih.
Kami menilai program aksi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap penegakan hukum dan hak asasi manusia khususnya kepada pencari keadilan, namun kondisi di lapangan jauh dari expectasi (harapan) masyarakat). Oleh karena itu, kami akan melakukan penilaian terkait dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang menjadi program strategis pemerintah.
Selama 1 tahun Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dibantu oleh Boediono menyelenggarakan fungsi kenegaraan dan pemerintahan tidak lepas dari kealpaan dan kelalaian bahkan patut diduga adanya kesegajaan dalam carut marut penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Penegakan hukum dan HAM selama 1 tahun kepemimpinan SBY-Boediono masih jauh panggang dari api, dan Rezim ini lebih memprioritaskan legak-lengok pencitraan pemerintannya. Jika dibandingkan hal lain.
1. Pemberantasan korupsi yang diskriminatif
Pemberantasan korupsi pada era ini masih memperlihatkan politik pencitraan terhadap kepemimpinan SBY. Indikasi yang dapat kita lihat adalah tidak tuntasnya kasus Century yang disinyalir banyak bersinggungan aktor mengelilingi penguasa. Di sisi lainnya, sikap responsif dan agresif terlihat pada kasus-kasus korupsi yang melibatkan lawan politik penguasa.
Institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaaan masih menunjukkan resistensi dan pembelaan terhadap korp-nya. Dugaan rekening gendut pada sejumlah perwira tinggi Polri tidak ada tindak lanjutnya oleh Kepolisian. Bahkan pimpinan Kepolisian menyatakan bahwa rekening tersebut tidak mencurigakan.
Demikian juga pengungkapan kasus mafia pajak yang diduga melibatkan aparat kejaksaan tidak menyentuh pada aktor-aktor kejaksaan yang diduga dan terlibat berdasarkan fakta-fakta di persidangan.
2. Akses keadilan bagi si miskin
Diskriminasi hukum seperti perbedaan perlakuan antara si Kaya dengan Si Miskin ketika menghadapi masalahan hukum dalam hak mendapatkan Bantuan Hukum, Pelayanan hukum, mendapatkan hak-hak seperti kunjungan, remisi, abolisi dan asimilasi. Dalam pemberian bantuan hukum, negara masih diskriminatif dan lebih mementingkan orang kaya jika dibandingkan orang miskin. Bahkan dalam pemberian resmisi, abolisi dan asimilasi lebih banyak diberikan kepada para orang tidak berhak, semisal para Koruptor. Kasus nenek Minah yang mencuri kakao kasusBasar dan Kholil yang mencuri semangka dan divonis bersalah 15 hari dan kasus terakhir adalah kasus Rasminah yang diduga mencuri sop buntut dan piring yang saat ini masih disidangkan di PN Tangerang mencerminkan hukum tidak berpihak pada si miskin. Disisi lain Negara memberikan remisi terhadap koruptor dengan alasan kemanusiaan seperti yang diberikan kepada Syaukani H (mantan Bupati Kutai). Meskpun Remisi, Abolisi dan Asimilasi adalah hak, Negara harus terlebih dahulu melihat kepantasan dalam pemberian hak ini dan kriteria yang patut sehingga dalam pemberiannya tidak menimbulkan diskriminasi hukum.
Bantuan hukum bagi masyarakat miskin sangat urgent untuk dipenuhi oleh Negara mengingat kasus-kasus yang mengoyak rasa keadilan terus berlangsung. YLBHI mendorong Undang-Undang Bantuan Hukum (BH) untuk segera disahkan oleh DPR. YLBHI mengapresiasi DPR yang mana RUU BH telah menjadi RUU prioritas yang dibahas tahun 2010. Namun kami memandang ada keengganan dari pemerintah untuk membentuk kelembagaan baru yang independent karena akan membebani anggaran negara. Faktanya, alokasi anggaran bantuan hukum telah ada di departemen-departemen misalkan di Mahkamah Agung, Kementrian Keuangan namun salah sasaran bukan untuk masyarakat miskin. Mahkamah Agung telah mengalokasikan anggaran bagi masyarakat yang tidak mampu melalui Pos Bantuan Hukum (Posbakum) dilingkungan Pengadilan, namun faktanya program tersebut tidak efektif dan tidak transparan dan tidak dapat diakses oleh masyarakat miskin untuk membantu pencari keadilan. Berkaitan dengan hal tersebut, YLBHI mendesak Pemerintah dan juga DPR untuk memperhatikan dan mendengarkan usulan-usulan dari civil society tentang pemberian bantuan hukum dan memberikanpartisipasi publik yang seluas-luasnya terhadap proses pembahasan RUU Bantuan Hukum. Selain itu, YLBHI mendesak Pemerintah untuk melakukan penyatuan atap dalam penyelenggaraan dan pembiayaan bantuan hukum dengan membentuk lembaga yang independen.
3. Kebebasan beragama dan beribadah
Disamping itu, negara yang memegang kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat minoritas dan kebebasan untuk beragama dan menjalankan ibadah agama tidak hadir. Beberapa kasus kekerasan yang dilakukan organisasi atau kelompok massa berbasis “sentimen” keagamaan dan kedaerahan kembali terjadi seperti kasus Ahmadiyah di Manis Lor (Kuningan), Cisalada (Bogor), kasus pelarangan beribadah Jemaat Gereja HKBP Bekasi dll. Kekerasan dengan cara mobilisasi dan aksi premanisme yang dilakukan organisasi massa terhadap kelompok minoritas disebabkan tidak adanya tindakan tegas dari Pemerintah terhadap Ormas yang melakukan aksi-aksi kekerasan. Pemerintah tidak menggunakan kewenangannya untuk membekukan pengurus ormas yang mengganggu ketertiban dan keamanan umum (jo. Pasal 13 UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemayarakatan/Ormas). Apabila setelah dibekukan ormas tersebut tetap melakukan kegiatan maka Pemerintah dapat membubarkan ormas yang bersangkutan (Pasal 14 UU Ormas).
Sebaliknya, Menteri Agama menyatakan akan membubarkan Jamaah Ahmadiyah setelah lebaran. Tindakan tersebut tidak sepatutnya diucapkan oleh pejabat publik yang seharusnya berdiri di atas semua golongan. Terlihat bahwa Pemerintah bertindak diskriminatif dimana ornganisasi korban kekerasana justru akan dibubarkan. Sedangkan organisasi massa pelaku kekerasan cenderung dibiarkan dan dilindungi. Selain itu, diskriminasi juga terjadi dalam penanganan kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas, banyaknya kasus yang dilaporkan terkait kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok berbasis keagamaan atau kedaerah namun laporan masyarakat tersebut tidak ditindaklanjuti. Sebaliknya, korban yang diserang dan melakukan pembelaan diri saat ini ditahan oleh kepolisian (kasus Cisalada).
4. Kekerasan Aparat
Kasus-kasus penyiksaan pada proses pemeriksaan di kepolisian dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan (torture) masih terus dilakukan oleh aparat kepolisian. Data dari LBH Jakarta menyatakan 83,65 persen tersangka pernah mengalami penyiksaan selama menjalani pemeriksaan di Kepolisian. Namun, dari jumlah tersebut tidak banyak kasus yang dapat diungkap dan dibuktikan mengingat tempat terjadinya (locus delicti) penyiksaan adalah di ruang-ruang yang tidak semua orang bisa mengakses. Salah satu yang berhasil di ungkap adalah Zainal Abidin Nasution (43 tahun) yang mengalami torture berupa penganiayaan dan penembakan (3 kali) di kakinya oleh aparat Polsekta Kota Medan dengan tujuan untuk memaksa bahwa ia pelaku pembunuhan. LBH Medan mendampingi dan Zainal di vonis bebas karena tidak terbukti melakukan pembunuhan. Berkaitan dengan hal ini, YLBHI memandang walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Torture, namun pelaksanaan di lapangan jauh panggang dari api. YLBHI mendesak Kapolri untuk bertindak profesional dalam mencari bukti-bukti tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka dan tidak melindungi aparat yang telah melakukan penyiksaan.
Kekerasan aparat juga dipertontonkan dengan melakukan penembakan terhadap tersangka terorisme. Banyaknya korban yang ditembak mati tanpa proses hukum akan menimbulkan ketakutan dan impunitas Detasemen 88. Seolah-olah detasemen tidak tunduk pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI yang memiliki tugas untuk menegakkan hukum.
Baru-baru ini Polisi mengeluarkan Protap Nomor: PROTAP/1/X/2010 Tentang Penanggulangan Anarki tanggal 8 Oktober 2010 yang dibuat karena adanya kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat yang cenderung meningkat seperti kasus kerusuhan di Jl. Ampera. Pembuatan protap ini di nilai berlebihan karena dalam pelaksanaannya akan disalahgunakan oleh aparat kepolisian untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam menindak pelanggaran tindak pidana. Indikasi ini tercermin dalam proses penanganan ancaman gangguna, dimana aparat kepolisian baik perorangan atau kesatuan dapat melakukan tindakan penyitaan barang-barang yang menyertainya terhadap orang yang dicurigai. Tanpa protap inipun, kekerasan terus terjadi dan dilakukan oleh polisi sehingga dikhawatirkan protap ini dijadikan landasan hukum untuk melakukan kekerasan. Tindakan yang seharusnya dilakukan oleh Kepolisian adalah mengoptimalkan fungsi intelejen kepolisian untuk memberikan informasi agar tindakan anarki bisa diantisipasi mengingat Polisi telah memiliki Protap Penanganan hura-hara.
Berdasarkan itu, YLBHI sebagai lembaga yang konsern terhadap Demokratisasi, Penegakan Hukum, dan nilai-nilai luhur HAM meminta :
1. Meminta SBY-Boediono melakukan pembenahan dan reformasi di tubuh institusi penegak hokum seperti kepolisian, kejaksaan dan Mahkamah Agung serta memperkuat KPK sehingga pemberantasan korupsi dan keadilan bagi masyarakat miskin dapat tercapai.
2. Mendesak tanggung jawab negara dalam memberikan bantuan hukum bagi masyarakat miskin dengan menyatukan atap anggaran bantuan hukum yang saat ini tidak tepat sasaran di kementrian-kementrian.
3. Memberikan perlindungan terhadap kaum minoritas dalam memeluk agama dan menjalankan ibadahnya sebagaimana yang damanatkan dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan;
Hormat Kami,
Yayasan LBH Indonesia
Badan Pengurus
ERNA RATNANINGSIH, S.H, LL.M.
Ketua (081386494111)
ALVON KURNIA PALMA, SH.
Wakil Ketua
NASOKAH, SHI.
Direktur Advokasi dan Kampanye
(081392303036).