RAPAT KERJA NASIONAL 2009 YAYASAN LBH INDONESIA DAN 14 LBH KANTOR
tentang
“Menjelang Pemilu: Memastikan Berjalannya Demokrasi Konstitusional”
Pada 4 – 6 Maret 2009, Yayasan LBH Indonesia menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional yang melibatkan semua unsur: Pembina, Pengurus dan Pengawas, serta 15 pimpinan kantor LBH. Dalam Rakernas 2009, kami mendiskusikan segala macam persoalan yang dihadapi bangsa, yang perlu kami sampaikan melalui pernyataan pers ini.
Pada bulan 2009 ini akan dilaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan memilih wakil rakyat dan juga presiden Republik Indonesia untuk periode 2009-20014. Pemilu ini merupakan pemilu yang dilaksanakan setelah lebih dari satu dasawarsa reformasi. Oleh karenanya, Pemilu 2009 ini seharusnya telah cukup menjadi garis batas antara sistem lama (Orde Baru) dengan sistem baru yang lebih menjamin tegaknya demokrasi konstitusional.
Namun, berlangsungnya Pemilu 2009 kami nilai menjauhkan dari harapan akan adanya reformasi tahun 1998. Landasan hukum pelaksanaan pemilu 2009 dengan UU No. 10 tahun 2008 nyata-nyata merupakan produk hukum yang penuh dengan kecacatan konstitusional dan mengabaikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi konstitusional. Demikian pula dengan pelaksana Pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum kami nilai penuh dengan kelemahan khususnya dalam menyikapi berbagai problem yang muncul yang akan berpengaruh pada kesuksesan pemilu 2009.
Kami menilai, ada sejumlah kelemahan landasan hukum pemilu: mekanisme pencontrengan untuk memilih kami prediksi akan mengakibatkan banyaknya suara yang hilang, meningkatnya golput (secara tidak sengaja); belum lagi cara penghitungan suara dan pengalokasian kursi yang diberlakukan dalam UU 10/2008 akan mengakibatkan banyaknya suara rakyat hangus karena partai politik yang dipilih tidak memenuhi ambang batas parlementer.
Dalam era “transisi”, sistem suara terbanyak yang diterapkan dalam Pemilu ini akan mengakibatkan pertarungan “keras” antar calon anggota dewan baik dari internal partai maupun dari partai yang berbeda. Persaingan ini juga akan berpengaruh pada pertarungan antar pendukung yang kalau tidak dipersiapkan dengan baik akan meningkatkan kasus-kasus kekerasan selama Pemilu.
Selanjutnya, dapat dipastikan meningkatnya gugatan perselisihan hasil Pemilu. Estimasi perkara yang akan masuk di Mahkamah Konstitusi mencapai angka 700 perkara yang mesti ditangani oleh 8 hakim konstitusi.
Pada sisi aktor, sekarang muncul aktor-aktor politik yang selama ini menjadi pilar pendukung Orde Baru, yang tanpa malu-malu menunjukkan adanya gerakan untuk kembali menguasai ruang kekuasaan. Aktor-aktor politik ini jelas tidak memiliki rekam jejak memperjuangkan nilai Negara Hukum dan pemenuhan hak asasi manusia. Sayangnya, belum muncul partai-partai politik yang secara jelas dan genuine memperjuangkan demokrasi konstitusional dan keadilan sosial.
Pemerintah dan DPR dalam menghadapi pemilu 2009 juga mulai kehilangan konsentrasi untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya untuk melayani kepentingan masyarakat. Para anggota kabinet yang berasal dari partai-partai politik bahkan fokus menghadapi pemilu dan akan sibuk dalam melakukan kampanye. Demikian pula dengan wakil rakyat yang lupa akan fungsinya sebagai legislator dengan terbengkalainya sejumlah RUU yang penting untuk segera dibahas dan disahkan, sebagai contoh RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Akibatnya, terjadi penelantaran fungsi-fungsi legislasi, pelayanan publik dan juga penelantaran pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.
Padahal situasi krisis global saat ini seharusnya mendorong pemerintah untuk lebih bekerja keras. Setidaknya ada berbagai fakta yang harus dihadapi secara serius yakni PHK buruh, pemulangan tenaga kerja dari luar negeri, dan meningkatnya arus globalisasi yang berdampak pada sumber daya alam yakni maraknya investasi di sektor pertambangan yang memunculkan masalah alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan.
Pemilu 2009 juga akan berjalan ditengah masih maraknya kekerasan yang dilakukan aparat dan meningkatnya ancaman terhadap kelompok minoritas, ancaman kebebasan berpendapat, berfikir, berkeyakinan dan beragama, dan kebebasan berorganisasi. Padahal selama tahun 2007 – 2008, kekerasan struktural dan kekerasan Negara terhadap masyarakat miskin masih marak terjadi. Kasus-kasus pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, juga hak-hak sipil dan politik yang ditangani YLBHI-LBH pun tidak berkurang.
Apa yang dikemukakan diatas, menunjukkan pelemahan penegakan demokrasi konstitusional yang memegang prinsip rule of law dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Menghadapi situasi tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 15 Kantor LBH diseluruh Indonesia hendak menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Meminta Presiden dan Wakil Presiden tetap fokus menjalankan fungsinya dan menuntaskan tanggungjawabnya untuk menjalankan roda pemerintahan dan birokrasi melayani masyarakat;
2. Meminta para calon anggota legislatif untuk bersiap kalah dan menggunakan jalur hukum serta tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu;
3. Meminta birokrasi, termasuk aparat penegak hukum, serta TNI untuk bersikap non-partisan;
4. Meminta semua elemen masyarakat untuk mengawasi jalannya Pemilu 2009;
5. Meminta semua elemen masyarakat mengawal demokrasi konstitusional.
Jakarta, 6 Maret 2009
Yayasan LBH Indonesia
Badan Pengurus
A. Patra M Zen, SH, LL.M
Ketua
LBH Banda Aceh
Afridal Darmi, SH, LL.M
LBH Medan
Ikhwaluddin Simatupang, SH, M.Hum
LBH Padang
Alvon Kurnia Palma, SH
LBH Palembang
Eti Gustina, SH
LBH Bandar Lampung
M. Fuad, SH
LBH Jakarta
Asfinawati, SH
LBH Bandung
Gatot Rianto, SH
LBH Semarang
Siti Rahma, SH
LBH Yogyakarta
M Irsyad, SH
LBH Surabaya
M. Syaiful Aris, SH
LBH Bali
Agung Dwi Astika, SH
LBH Manado
Maharani C. Salindeho, SH
LBH Makassar
Abdul Muttalib, SH
LBH Papua
Paskalis Letsoin, SH
Kantor Pekanbaru
Suryadi, SH
Download File : 20090306_SiaranPers_Demokrasi Konstitusional