Dalam beberapa waktu belakangan, beredar video ucapan selamat Hari Raya Naw-Ruz 178 EB dari Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) yang ditujukan kepada umat Baha’i Indonesia. Video itu sendiri sebenarnya sudah tayang sejak beberapa bulan lalu (26 Maret 2021) di kanal akun Youtube milik Baha’i Indonesia.
Hingga kemudian video itu menjadi viral di masyarakat, beragam respon muncul menanggapi isi video tersebut. Namun di antara sekian respon, tak sedikit respon negatif, tendensius, dan cenderung mendiskreditkan serta mendiskriminasikan umat Baha’i yang bermunculan dan tersebar di berbagai akun media sosial. Dimulai dari mempertanyakan posisi Menag selaku perwakilan Pemerintah, status agama Baha’I di Indonesia, serta munculnya berbagai pemberitaan mengenai agama Baha’I seperti sejarah hingga tempat ibadahnya.
Respon-respon negatif yang tersebar ini bila tidak ditanggapi secara jernih dan obyektif dikhawatirkan akan semakin meningkatkan sentimen kebencian dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas agama yang ada di Indonesia. Akhirnya yang terjadi justru praktik pelanggaran hak asasi manusia dan menurunnya kualitas kehidupan Demokrasi di Indonesia.
Di sisi lain, keberadaan penganut Agama Baha’i sudah ada di Indonesia sejak lama, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Meskipun penganut Agama Baha’i dari segi jumlah tidak lebih banyak dari penganut agama-agama lain, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mendiskreditkan dan mendiskriminasi penganutnya, karena penganut Agama Baha’i di Indonesia sendiri merupakan Warga Negara Indonesia yang hak-haknya dijamin penuh oleh Konstitusi.
Koalisi Advokasi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan menilai pernyataan Menag merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang melekat kepada setiap individu sebagai salah satu hak asasi manusia dasar. Kebebasan beragama merupakan “hak untuk menentukan, memeluk dan melaksanakan agama dan juga keyakinan. Hak ini bersifat mutlak dan tidak bisa dikurangi dalam kondisi apapun (non-derogable rights)”, yang jaminan perlindungannya sudah ada di dalam instrumen Hukum HAM internasional maupun aturan perundang-undangan nasional.
Misalnya dalam Pasal 28E UUD NRI Tahun 1945, secara tegas menyatakan bahwa, “1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Kemudian dalam Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan juga secara tegas bahwa hak beragama merupakan salah satu hak asasi manusia.
Bahwa peran negara atas hal tersebut secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (2), Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Lebih lanjut, pengaturan ini juga diatur dalam Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni dalam Pasal 22 ayat 1 dan 2, yang berbunyi, (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.
Kemudian, hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan juga dijamin dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, tepatnya pada Pasal 18, yakni bahwa (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. (2) Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menerapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Penggunaan istilah “agama yang diakui dan resmi” merupakan sebuah pernyataan yang sudah usang dan tidak sesuai dengan semangat reformasi serta demokratisasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia adalah Negara Republik, dimana ia berpijak pada semangat “Res Publica”, semangat berdiri untuk publik dan semua golongan, dan bukanlah Negara Agama tertentu.
Tidak ada pengaturan yang jelas dan komprehensif atas istilah diksi “agama resmi” atau “agama yang diakui oleh negara” dalam peraturan perundang-undangan manapun termasuk Konstitusi. Istilah tersebut muncul secara serampangan akibat tafsir ceroboh atas ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Administrasi, yang sebelumnya terdapat klausul kewajiban mencantumkan kolom agama dalam pembuatan identitas warga negara, dengan pilihan: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Konghucu, dan Buddha.
Namun dalam perkembangannya, klausul ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa, pengakuan agama yang terbatas tersebut bertentangan dengan tujuan negara untuk menciptakan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di mata hukum bagi seluruh warga negaranya.
Dalam putusannya yang lain (Putusan MK RI Nomor 140/PUU-VII/2009) Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Undang-Undang Nomor 1/pnps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama tidak membatasi pengakuan atau perlindungan hanya terhadap enam agama akan tetapi mengakui semua agama yang dianut oleh rakyat Indonesia.
Meskipun dalam sejumlah ketentuan hukum seperti dalam Pasal 4 ayat 3 huruf a.1 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan juga dalam bagian penjelasan Pasal 54 ayat 1 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang menyebutkan diksi-istilah “Agama yang Diakui di Indonesia”, namun tidak ada aturan yang jelas agama apa saja yang diakui.
Selain itu penyebutan nama-nama agama tertentu seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha, Konghucu dalam penjelasan Pasal 1 UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 hanyalah penulisan atas contoh nama agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Namun dalam pasal yang sama turut dinyatakan tidak berarti penganut agama di luar 6 (enam) agama yang disebutkan di atas dilarang di Indonesia, melainkan tetap mendapatkan jaminan dan perlindungan yang sama berdasarkan Konstitusi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Koalisi Advokasi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan mengapresiasi dan mendukung sikap Menteri Agama dalam video tersebut. Hal itu merupakan bentuk sikap kenegarawanan dalam mengayomi setiap warga negara apapun agama dan keyakinannya. Koalisi juga mendorong baik Pemerintah maupun masyarakat secara luas untuk memutus rantai kebencian dan diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda, termasuk kelompok agama minoritas seperti Baha’i. Keberadaan agama dan keyakinan yang beragam di Indonesia semestinya dihormati dan patut dibanggakan karena hal tersebut merupakan modal kebangsaan Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. []
Jakarta, 30 Juli 2020
Hormat kami,
KOALISI ADVOKASI UNTUK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN
YLBHI, HRWG, CRCS UGM, Paritas Institute, LBH Jakarta, Yayasan Inklusif, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), ELSA Semarang, Sobat KBB, Ahmad Suaedy, Alamsyah M Djafar, Ulil Abshar Abdalla