Menanggapi insiden yang mengarah pada kerusuhan yang pecah sejak malam tanggal 21 Mei 2019 dan berlanjut pada 22 Mei 2019 malam, kami yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil menyatakan hal-hal sebagai berikut:
- Menyesalkan terjadinya peristiwa kekerasan yang mengakibatkan setidaknya 6 orang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Dalam observasi kami, kerusuhan juga tercatat di beberapa kota lain seperti Medan, Sumatera Utara, lalu Pontianak, Kalimantan Barat, hingga Sampang, Jawa Timur. Selain itu aktivitas sehari-hari masyarakat terganggu; beberapa stasiun kereta tidak difungsikan demi alasan keamanan, kantor serta pasar tutup dan banyak masyarakat was-was kerusuhan tersebut menjalar hingga tempat tinggalnya.
- Menilai bahwa ini bukan kerusuhan pertama dalam lintasan sejarah Indonesia. Kita pernah mengalami tragedi Mei 1998 yang sangat kelam dan menyakitkan. Saat banyak orang terbakar hidup-hidup, rumahnya dirusak, hasil kerja kerasnya dijarah bahkan perkosaan perempuan dengan menyasar etnis tertentu. Seperti kali ini kerusuhan juga terjadi di beberapa kota lain. Beranjak lebih ke belakang 1974 menjadi saksi kerusuhan yang lebih awal. Jalanan penuh asap karena ban dan mobil yang terbakar, Glodok dijarah dan tentu korban manusia berjatuhan.
- Mengingatkan seluruh penyelenggara negara bahwa kejadian 21 tahun dan 35 tahun lalu itu perlu disebut. Kejadian-kejadian itu adalah buah karya sebuah sistem yang sama dengan sistem impunitas yang berkelanjutan. Penyebaran berita bohong dan membangkitkan sentimen tertentu, penciptaan target/sasaran, penerjunan dinamisator lapangan, dan penggalangan massa adalah sedikit proses yang terlihat. Di lapangan rakyat bertarung dengan rakyat. Polisi berpangkat rendah dibuat mempertaruhkan jiwa berhadapan dengan masyarakat. Pada ujung cerita ini terjadi suatu negosiasi politik elit, diakhiri dengan bagi-bagi kekuasaan. Dan sebuah siklus kembali terulang, rumah rakyat digusur, anak-anak putus sekolah karena orang tua di PHK, kematian karena kurang gizi di mana-mana, tambang menghilangkan sawah, pabrik merusak mata air dan seterusnya. Yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa sejak reformasi 1998 politik identitas semakin menguat perempuan dan kelompok-kelompok minoritas menjadi korban.
- Mendesak pihak berwenang agar ini semua harus diakhiri, segera! Karena yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Sudah saatnya Keindonesiaan bergerak maju dari sekedar kerusuhan sebagai instrumen politik bagi-bagi kekuasaan dan uang. Perlu segera evaluasi terhadap sektor keamanan dan aktor-aktor keamanan, termasuk peran, koordinasi dan akuntabilitas berbagai intelijen. Agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM dan kasus-kasus korupsi Orde Baru yang menyisakan uang-uang di tangan para kroni harus segera dilakukan, untuk menutup kemungkinan digunakannya uang tersebut untuk menciptakan konflik. Terakhir, pemerintah harus melakukan evaluasi pendidikan nasional agar mampu mengeluarkan daya kritis warga sehingga tidak mudah diombang-ambingkan dan menjadi korban berita bohong.
Singkatnya, melalui pernyataan bersama ini kami hendak menegaskan bahwa:
- Kemanusiaan tetaplah yang utama dan pertama dilindungi oleh negara ini, dan ini merupakan tanggung jawab sekaligus tujuan bernegara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
- Kepolisian RI harus segera mengungkap dan memproses hukum dalang/aktor intelektual insiden. Tanggung jawab negara untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan, namun haruslah proporsional dan terukur sesuai Konstitusi, peraturan perundang-undangan dan Hak Asasi Manusia.
- Pemerintah perlu mendorong suasana yang kondusif, dan kami akan menggandeng serta meminta tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi dan segenap lapisan masyarakat untuk maksud ini.
- Menghimbau seluruh komponen masyarakat untuk tidak mudah terpancing.
- Mendesak Komnas HAM untuk bersuara dan menurunkan tim penyelidikan serta pemantauan.
Jakarta, 23 Mei 2019
AJAR, AJI, Amnesty, LBH APIK, LBH Jakarta, Jatam, Kasbi, Kontras, KPRI KSN, Lokataru, Solidaritas Perempuan, Sindikasi, PRP, Yayasan Perlindungan Insani, YLBHI