Sebagaimana diketahui bahwa saat ini Indonesia sedang dilanda pandemi corona virus diseas 2019 (covid-19). Data per tanggal 1 April 2020 saja setidaknya 1.677 orang positif terjangkit virus tersebut, 103 orang sembuh, dan 157 orang meninggal dunia. Hampir setiap langkah pemerintah selalu menuai kritik oleh masyarakat, salah satunya Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Pada Senin 1 April 2020 ia mengusulkan agar narapidana kasus korupsi dibebaskan demi mencegah semakin merebaknya pandemi corona.
Pada beberapa waktu lalu telah resmi dikeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Cofid-19. Pada bagian Kedua huruf a dan b disebutkan bahwa asimilasi dan pembebasan bersyarakat tidak berlaku bagi kejahatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/12), yang mana salah satunya adalah korupsi.
Namun tak lama setelah itu Menteri Hukum dan HAM malah berniat untuk merevisi PP 99/12 tersebut agar narapidana kasus korupsi yang telah memasuki usia 60 tahun dan menjalankan 2/3 masa pidana dapat dibebaskan. Tentu kebijakan ini penting untuk dikritisi bersama. ICW bersama dengan YLBHI memiliki beberapa catatan penting terkait dengan ide tersebut:
- Menteri Hukum dan HAM tidak memandang korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Penting untuk dipahami bahwa kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan bentuk kejahatan lainnya. Selain telah merugikan keuangan negara, korupsi juga merusak sistem demokrasi, bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Untuk itu, mempermudah narapidana korupsi untuk terbebas dari masa hukuman bukan merupakan keputusan yang tepat;
- Niat Menteri Hukum dan HAM untuk mempermudah narapidana korupsi terbebas dari masa hukuman semakin akan menjauhkan efek jera. Data ICW menunjukkan rata-rata vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bagi pelaku korupsi hanya menyentuh angka 2 tahun 5 bulan penjara. Belum lagi ditambah dengan situasi maraknya praktik korupsi di lembaga pemasyarakatan. Jika kebijakan ini teralisasi maka ke depan pelaku korupsi tidak akan lagi jera untuk melakukan kejahatan tersebut;
- Jumlah narapidana korupsi tidak sebanding dengan narapidana kejahatan lainnya. Data Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2018 menyebutkan bahwa jumlah narapidana seluruh Indonesia mencapai 248.690 orang dan 4.552 orang diantaranya adalah narapidana korupsi. Artinya narapidana korupsi hanya 1.8 persen dari total narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan. Sehingga akan lebih baik jika pemerintah fokus pada narapidana kejahatan seperti narkoba atau tindak pidana umum lainnya yang memang secara kuantitas jauh lebih banyak dibanding korupsi;
Selain itu wacana yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM untuk merevisi PP 99/2012 bukan hal yang baru. Dalam catatan ICW setidaknya untuk kurun waktu 2015-2019 Yasonna Laoly telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Mulai dari tahun 2015, 2016, 2017, dan pada tahun 2019 melalui Revisi UU Pemasyarakatan. Isu yang dibawa selalu sama, yakni ingin mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman.
Padahal PP 99/2012 diyakini banyak pihak sebagai aturan yang progresif untuk memaksimalkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi. Mulai dari penghapusan syarat justice collaborator hingga meniadakan rekomendasi penegak hukum terkait. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap dari Menteri Hukum dan HAM selama ini tidak pernah berpihak pada aspek pemberantasan korupsi.
Untuk itu maka ICW dan YLBHI menuntut agar:
- Menteri Hukum dan HAM menghentikan niat untuk memberi kemudahan bagi narapidana korupsi mendapatkan pembebasan dari masa hukuman;
- Menteri Hukum dan HAM memprioritaskan pembebasan dari masa hukuman bagi narapidana dengan kuantitas yang jauh lebih banyak dari korupsi;
Jakarta, 2 April 2020
ICW dan YLBHI