Belum lama ini, perhatian publik tersita oleh pernyataan capres petahana Jokowi pada acara debat kedua, mengenai kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) capres penantang, Prabowo Subianto. Publik berharap, pernyataan tersebut bisa menggelinding ke bawah, mengurai konflik agraria di akar rumput yang kian kusut. Namun nyatanya, jauh panggang dari api. Ribut – ribut soal HGU hanya berputar di lingkaran elit kekuasaan.
Pada dasarnya, dokumen HGU merupakan informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, sesuai ketentuan Pasal 11 Ayat (1) UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun skalipun dokumen dibuka, masalah belum selesai. Sebab dalam
dokumen HGU tidak jelas menyebutkan batas – batas tanah. Ketidakjelasan ini memberi kesempatan bagi perusahaan pemilik lahan untuk menyerobot tanah milik masyarakat setempat. Maka tidak heran, akar dari konflik HGU selama ini adalah sengketa batas yang berujung saling klaim kepemilikan.
Di sisi lain, masalah berlakunya HGU yang cukup lama. Ketentuan ini diatur dalam dua undang-undang yang berbeda. Misalnya, Pasal 29 UU Pokok Agraria mengatur jangka waktu pemberian HGU adalah 35 tahun dan dapat diperpanjang selama 25 tahun. Sedangkan, dalam UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, pada Pasal 2 mengatur jangka waktu pemberian HGU adalah 95 tahun, dapat diperpanjang selama 60 tahun, setelah habis masa perpanjangan dapat diperbaharui selama 35 tahun. Penerapan salah satu dari kedua norma ini akan ditentukan berdasarkan selera dan kepentingan penguasa. Bisa dibayangkan jika masa berlaku HGU berdasar pada UU Penanaman Modal, maka total berlakunya adalah 190 tahun atau tiga kali lipat usia Negara Indonesia saat ini.
Situasi di atas, yang saat ini dirasakan oleh Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang. Genap 100 tahun mereka terjajah oleh PT. London Sumatra (Lonsum), sebuah perusahaan asing di bidang perkebunan. Lonsum melakukan penanaman karet di atas tanah ulayat Ammatoa Kajang sejak tahun 1919 dengan status hak erfpacht melalui keputusan Jenderal Hindia Belanda. Tahun 1961 dikonversi menjadi HGU.
Pengakuan Hukum
Pengakuan hukum merupakan konsep yang paling mengemuka dalam pembahasan mengenai masyarakat hukum adat di Indonesia. Hal ini menjadi sarana untuk memperkuat posisi hukum adat. Keabsahan dan daya berlakunya hukum adat tentu tidak bergantung pada proses formalisasinya sebagai hukum negara, melainkan pada tempat yang memberikan kesempatan kepada masyarakat hukum adat untuk berinteraksi dengan pihak luar dalam ruang – ruang hukum yang disediakan oleh negara.
Di Sulsel, pengakuan hukum telah diterapkan melalui Peraturan Daerah Bulukumba No. 9/2015 tentang Pengukuhan, Penguatan dan Perlidungan Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang. Langkah ini harus dipandang sebagai perwujudan dari kewajiban konstitutif negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negara. Pengakuan ini menciptakan kondisi dimana hukum adat dapat ditegakkan dalam melindungi wilayah adat mereka dari gangguan pihak luar yang dapat merusak pola keadilan dan kelestarian lingkungan yang diterapkan secara turun – temurun.
Penegakan Hukum
Masalah yang kemudian timbul, jika hukum adat yang telah diakui oleh negara, dalam satu kasus berhadapan dengan hukum negara. Kasus ini terjadi pada sengketa tanah ulayat Ammatoa Kajang melawan PT. Lonsum. Masyarakat menggunakan hukum adat untuk mempertahankan tanah ulayat yang diklaim oleh PT. Lonsum atas dasar HGU (hukum negara).
Dalam kasus ini, sudah seharusnya aparat penegak hukum dan pemerintah setempat menghormati dan melindungi hak – hak masyarakat hukum adat, sesuai ketentuan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945. Dengan disahkannya hukum adat Ammatoa Kajang beserta wilayah hukumnya, maka secara etika hukum, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dapat menahan diri dan memberikan ruang penegakan hukum adat yang berlaku dalam wilayahnya. Penegakkan hukum adat juga didukung oleh beberapa instrumen hukum di sektor perkebunan, antara lain Pasal 5 dan Pasal 56 UU Pokok Agraria Jo. Pasal 6 Ayat (2) UU No. 39/1999 tentang HAM Jo. Pasal 12 Aya (1) UU No. 39/2014 tentang Perkebunan.
Lagipula, sudah banyak praktek di Indonesia mengenai konflik antara masyarakat hukum adat melawan perusahaan, diselesaikan melalui mekanisme adat. Karena hukum adat mengutamakan prinsip kearifan lokal, keadilan sosial dan prinsip HAM. Sedangkan penyelesaian melalui hukum negara kerap ditempuh dengan jalan represif. Dampaknya, banyak menelan korban kekerasan dan kriminalisasi masyarakat. Dalam hal ini, penyelesaian masalah melalui mekanisme adat mesti dipandang sebagai alternatif penegakan hukum**
*Sebelumnya Opini ini telah diterbitkan di koran Harian Fajar Edisi 12 Maret 2019