Kisah Petani Kalasey Dua Mempertahankan Kebun Terakhir:
Potret Pemerintah Menindas Petani
Oleh: Satryano Pangkey[1]
Senin, 7 November 2022 adalah hari yang cukup cerah di Desa Kalasey, Kabupaten Minahasa. Sekitar pukul 06.00 WITA, puluhan petani sudah berjaga dan berkumpul di posko Solidaritas Petani Penggarap Kalasey Dua (SOLIPETRA). Posko yang berjarak kurang lebih satu kilo dari pemukiman warga ini dibuat di areal perkebunan secara swadaya oleh petani sejak pertengahan tahun 2021. Posko ini dibuat dengan tiang penyangga dari buluh jawa dan beratap campuran seng bekas, sisa-sisa baliho, spanduk di atas tanah seluas 10×15 m² yang lengkap dengan dapur tempat memasak. Posko yang dijadikan tempat berjaga oleh petani sekaligus tempat berembuk ini merupakan sisa wilayah perkebunan petani dari yang sudah dirampas penguasa.
Pagi itu, para petani menyempatkan diri untuk beribadah, melatunkan lagu-lagu rohani, memanjatkan doa, serta menaruh harapan agar pemerintah bisa mengurungkan niat untuk merebut tanah dari pangkuan petani.
Tak berselang lama warga beribadah, sekitar pukul 07.30 WITA warga mulai siaga. Beredar foto dan video via WhatsApp yang menunjukan ratusan aparat gabungan yang terdiri dari Brimob, Anggota Polres Manado, dan Satpol PP Sulut telah berbaris rapi dan dipersenjatai lengkap dengan pentungan dan tameng. Tujuh mobil sabhara dan satu unit mobil water canon berkumpul di jalan masuk Ring Road perbatasan memasuki Desa Kalasey Dua.
Sejam kemudian, petani mendapat kabar aparat gabungan telah berkumpul di Kantor Desa Kalasey Dua. Saat itu, ada perwakilan dari pendamping hukum petani yang mendatangi salah satu pimpinan Polres Manado untuk berdialog dan meminta agar upaya penggusuran dihentikan karena warga masih melakukan upaya hukum dengan menggugat SK Hibah Pemrov Sulut No. 368 Tahun 2021 kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang tanah seluas 20 hektar di lahan yang sudah turun-temurun dikelola petani Kalasey Dua. “Kami juga meminta dasar hukum, surat tugas, dan perintah pengadilan atas penggusuran, tapi apa daya niat mereka sudah bulat mengawal penggusuran,” tutur penulis kala itu. “Jangan ada yang protes, kami menjalankan tugas negara,” jawab seorang polisi.
Modal mereka saat itu hanya seragam dinas yang dipersenjatai lengkap dengan alat pemukul dan bahasa yang mendaku kami penegak hukum.
Sekitar pukul 09.30 WITA, terlihat puluhan aparat polisi dan Satpol PP sudah memasuki areal perkebunan mengawal alat berat. Warga kemudian melakukan penghadangan dengan memalang jalan masuk dengan batang pohon pisang, kayu, dan bebatuan. Namun, upaya itu tidak berlangsung lama. Aparat berhasil menerobos masuk. Melihat hal itu, sontak para petani pasang badan. Ibu-ibu berada di garis depan sambil berpegangan tangan memalang aparat. Situasi waktu itu mulai mencekam.
Aparat mulai bertindak represif. Mereka berusaha menerobos masuk sampai terjadi dorong-mendorong antara aparat kepolisan dengan warga. Terlihat intel-intel polisi yang berbaju preman mulai bertindak kasar serta menarik satu-persatu orang yang dituduh provokator.
“Babi deng ngana!” (Kamu babi!)
Kata makian tersebut keluar dari mulut salah seorang polisi ditujukan pada ibu-ibu petani yang meminta aparat kepolisian untuk tidak berlaku kasar dan menghentikan upaya penggusuran.
“Ini negara hukum, barang siapa melawan akan ditindak secara tegas,” teriak seorang polisi dengan pengeras suara di mobil komando.
Petani masih berupaya melakukan penghadangan. Upaya-upaya perwakilan petani berdialog secara kekeluargaan sama sekali dihiraukan pihak aparat.
Jelang siang, gabungan aparat makin brutal, anggota Brimob dan Polres Manado mengarahkan moncong pelontar gas air mata ke arah kerumunan warga. Warga berserakan lari kocar-kacir menahan perih di mata.
Saat itu, ada beberapa warga yang duduk berjejer di jalan menghalau alat berat masuk di areal perkebunan yang terkena tembakan gas air mata yang diarahkan langsung pada petani dan langsung mengenai salah seorang ibu petani. Sang ibu pingsan kala itu.
Seakan bukan warga negara, petani terusir, disiksa, dihina, dan dipukul tak terkecuali anak-anak dan ibu-ibu. Tangis pilu ibu-ibu memohon agar tanah tak digusur dibalas dengan gas air mata. Siang itu teriakan dan tangis jerit minta tolong terdengar nyaring ke udara Kalasey.
“Tuhan, tolong akang pa torang.” (Tuhan, tolong kami)
“Oh.. pak Jokowi lia akang patorang petani-petani Kalasey.” (Oh, pak Jokowi perhatikan kami petani-petani Kalasey)
*
Hari itu akan dikenang sebagai hari yang kelam bagi petani Desa Kalasey Dua. Tanah petani digusur. Posko perjuangan dihancurkan rata dengan tanah. Sebanyak 48 orang diamankan. Delapan orang petani mengalami penganiayaan mulai dari pemukulan dengan tangan kosong, pentungan, dan tameng. Petani dipiting, dicakar, ditendang, diinjak, serta dicaci dengan kata-kata kasar. Empat orang korban merupakan perempuan, dua di antaranya lanjut usia.
Hari itu kita melihat wajah-wajah culas dan bengis para aparat. Dari raut mukanya, mereka terlihat senang dan bangga berhasil menjalankan tugas merampas ruang hidup petani. Tanpa pemberitahuan dasar hukum, mereka menerobos masuk. Atas nama negara, mereka berujar petani yang melawan berarti tidak taat hukum dan patut dihukum.
“Oma sampe bersujud, memohon pa polisi waktu itu cuman dorang rupa nda ada hati.” (Oma sampai bersujud memohon ke polisi waktu itu, hanya mereka seperti tidak punya perasaan)
Kata-kata itu keluar dari Agustina Lombone (64), akrab dipanggil Oma Ndio saat LBH Manado bersama beberapa petani sedang duduk di pelataran rumah salah seorang warga di Kalasey pada 4 Februari 2023.
Pasca penggusuran, hidup petani Kalasey Dua tidak menentu. Ada yang trauma, seakan sudah menjadi takdir para petani dianggap benalu bagi pembangunan. Bahkan hingga kini jelang 5 bulan penggusuran, anak-anak yang saat itu ada di lokasi mengaku takut melihat polisi. Cita-cita awalnya ingin menjadi polisi sirna karena melihat kekejaman polisi waktu itu.
“Natal akhir tahun 2022 torang hadapi cobaan besar,” (Natal akhir tahun 2022, kami menghadapi cobaan besar) keluh Oma Ndio memelas. “Amper tiap malam oma berdoa sambil menangis memohon Tuhan buka jalan for petani.” (Hampir tiap malam oma berdoa sambil menangis memohon Tuhan bukakan jalan buat petani)
Oma Ndio merupakan salah satu petani yang paling rajin memperjuangkan agar perkebunan di Desa Kalasey Dua tidak digusur. Beragam upaya telah dilakukan oleh para petani agar tanah perkebunan mendapat pengakuan oleh pemerintah mulai dari mengajukan permohonan ke pemerintah provinsi sampai mengajukan lahan garapan sebagai objek land reform di pemerintah pusat. Namun, pemerintah selalu berpaling.
Dari penuturan para petani, mereka sudah turun temurun menggarap dan menguasai lahan perkebunan. Oma Ndio sendiri menyatakan ia sudah keturunan ketiga yang mengelola lahan. Lahan yang ia garap merupakan warisan dari sang kakek yang dikelola sejak tahun 1930-an. Sudah puluhan tahun ia bersama keluarga dan anak cucu bertahan hidup dengan hasil yang didapat dari kebun.
Bagi petani, mereka seperti dimainkan, terjebak antara lingkaran kepentingan penguasa. Ada yang menduga perampasan tanah yang dialami warga Kalasey selama ini melibatkan mafia tanah yang terpelihara di lingkaran pemerintah dari provinsi sampai tingkat paling bawah.
Di tahun 2020 saat masa Covid-19, saat petani terhimpit ekonomi karena pandemi, mereka pernah diminta oleh aparat desa setempat menyetor uang Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per kepala keluarga untuk dilakukan pengukuran tanah dengan janji setelah itu akan diterbitkannya sertifikat. Nominal itu dihitung per bidang tanah. Jika ada keluarga yang mempunyai dua bidang tanah, perhitungan dilakukan kelipatan uang yang harus dibayar. Kurang lebih 100 kepala keluarga yang menyetor uang ke pemerintah desa. Namun, hal itu tidak membawa hasil. Hingga kini pemerintah desa tidak pernah mempertanggungjawabkan uang yang sempat disetor warga.
“Waktu itu ada yang sampe ba pinjam doi karena iming-iming sertifikat,” (Waktu itu, ada yang sampai pinjam uang karena diiming-imingi sertifikat) ucap Mami, salah satu warga desa Kalasey Dua.
“Pemerintah desa kase biar pa torang, bahkan dorang dukung sampe torang pe kebun digusur,” (Pemerintah desa membiarkan kami, bahkan mereka dukung sampai kebun petani digusur),” sambung Om Bering, seorang warga, geram.
*
Penggusuran itu sendiri dilatari dengan SK Nomor 368 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Hibah Barang Milik Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara berupa tanah seluas 20 hektare di Desa Kalasey Dua kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tanggal 9 November 2021. Hibah ini diberikan untuk membangun Politeknik Pariwisata.
Proyek ini berambisi membangun Politeknik Pariwisata untuk menopang Proyek Strategis Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata di Likupang, Kabupaten Minahasa Utara.
Gubernur Sulut beberapa kali berucap, kehadiran Politeknik Pariwisata di Sulut merupakan keharusan untuk menopang KEK Pariwisata yang digadang-gadang akan menjadi destinasi wisata super prioritas di Indonesia.
Langkah Gubernur Sulut, Olly Dondokambey membangun kampus pariwisata untuk membangun SDM serta membawa perubahan sosial dan ekonomi yang berskala masif di Sulut. Pertanyaanya sumber daya manusia seperti apa yang akan diproduksi jika pembangunannya harus menggusur warga lokal dan mengorbankan ratusan petani Kalasey Dua?
“Kiapa gubernur nda kase hibah dia punya tanah sandiri, gubernur pe tanah banya sampe tujuh keturunan nda mo abis-abis,” (Kenapa Gubernur tidak menghibahkan tanahnya sendiri, tanah yang dimiliki Gubernur sangat banyak sampai tujuh keturunan tidak akan habis) kata Oma Ndio.
“Dia gubernur terkaya se-Indonesia dan bendahara partai penguasa!,” sahut penulis.
“Kalo pemerintah so ambe ini kebong, sama deng dorang so bunuh pa torang,” (Kalau pemerintah telah merampas kebun kami, sama dengan mereka telah membunuh petani) ucap oma Ndio dengan nada tinggi.
Sampai hari ini proses penggusuran masih berlangsung. Kurang lebih sudah lima hektar lahan petani yang digusur. Hal itu akan terus bertambah karena proses pembangunan sedang digenjot pemerintah. Tiang-tiang pancang sudah berdiri, hampir 10 alat berat bekerja tiap hari mengeruk lahan-lahan petani, lengkap dengan pengamanan anggota kepolisian dan Babinsa.
Sejarah Penguasaan Tanah dan Penggusuran yang Terus Berulang
Dari penelusuran yang LBH Manado peroleh, penguasaan lahan garapan petani Kalasey Dua berlangsung sejak tahun 1930-an, yaitu saat lahan tersebut dijadikan Onderneming Lingkey yang oleh pihak Belanda menjual pada pengusaha asal Jepang, Wakana Hartoki. Kemudian pada tahun 1945 saat Jepang kalah perang, onderneming itu diambil alih pihak Belanda sebagai harta benda musuh. Pada tahun 1948, Onderneming Lingkey jatuh ke tangan PT Asiatic. Oleh PT Asiatic, buruh yang dipekerjakan diberikan keleluasaan untuk menanam kebutuhan pokok, seperti pisang, jagung, dan keperluan pangan lainnya.
Pasca berakhirnya HGU PT. Asiatic tahun 1982, petani semakin rutin mengelola dan menguasai eks HGU, dari mendirikan pemukiman hingga bercocok tanam. Lebih lagi, pada tahun 1981-1982, diadakan proyek resettlement (pemukiman) Pemda Tingkat Satu Sulut kepada buruh PT Asiatic. Pasca HGU perusahaan berakhir di tahun 1982, warga secara mulai menggarap eks HGU tersebut secara mandiri. Sampai tahun 1986, terbitlah SK Mendagri No. 341/DIA/1986 yang menerangkan tanah garapan petani sebagai objek redistribusi tanah bekas HGU (pelaksanaan land reform).
‘Waktu itu Gubernur Mantik memberikan kami pacul, sekop, parang dan memerintahkan kami berkebun,”kata Om Denny Kordinator Solidaritas Petani Penggarap Kalasey Dua (SOLIPETRA).
“Luasan ex HGU PT Asiatic adalah 225 hektar, tapi yang digarap warga hanya dikisaran 80 hektar sudah termasuk dengan pemukiman dan perkebunan,” sambungnya.
Sejak itu, warga leluasa berkebun dan hampir 200 KK bergantung hidupnya di perkebunan ini. Mayoritas petani juga memperoleh surat garap oleh pemerintah desa kala itu.
Tahun 2012 saat awal kisah kelam, di mana lahan garapan petani mulai tergerus Pemprov Sulut menghibahkan tanah kepada Brimob seluas 20 hektar. Pemberian hibah itu sendiri dilakukan secara sepihak. Petani tidak dilibatkan. Warga hanya bisa meratapi pisang dan milu yang kala itu siap dipanen, dibabat alat berat.
“Mayoritas petani yang memiliki lahan tidak mendapat ganti rugi,” ucap om Denny sambil menatap ke atas bukit tempat markas Brimob sudah berdiri kokoh.
Bahkan dari keterangan petani pada waktu itu, banyak warga yang dibodohi. Saat warga melakukan pertemuan dengan pihak pemerintah dan Brimob, warga diminta menulis nama dan menandatangani sebuah kertas yang awalnya diketahui warga sebagai absensi pertemuan. Namun, belakangan diketahui tanda tangan tersebut dijadikan legitimasi persetujuan warga bahwa tanah tersebut diserahkan pada Brimob.
Kepedihan petani Kalasey Dua berlanjut pada tahun 2019 kurang lebih sembilan hektar lahan petani kembali diserahkan pada Dinas Kesehatan Povrinsi Sulut dijadikan rumah sakit dan masih di tahun yang sama tujuh hektar perkebunan aktif petani dicaplok dan diberikan pada Bakamla (Badan Keamanan Laut).
Tak puas sampai disitu, di pertengahan tahun 2021, para petani terhenyak kala sisa lahan 20 hektar kebun terakhir mereka bergantung hidup, mulanya dikabarkan akan dihibahkan kepada TNI AL. Pihak TNI AL sempat berdialog dengan beberapa petani Desa Kalasey soal rencana akan dibangun perkantoran dan markas tentara di sana. Dalam dialog itu, perwakilan warga melakukan penolakan. Warga mulai was was dan hampir siang malam berjaga di Posko SOLIPETRA. Namun, entah mengapa di bulan Desember 2021 beredar kabar bahwa tanah yang pada mulanya hendak dihibahkan ke TNI AL oleh Pemerintah Provinsi Sulut telah dihibahkan pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI.
“Warga terkejut, tak pernah ada pemberitahuan, pertemuan dengan petani,” kata Om Denny. Kami tak pernah melihat ada aktivitas pengukuran dari pihak Pemprov, tiba-tiba dapat kabar tanah kami telah dihibahkan pada Kementerian,” Sambung om Deny geram.
Gugatan Petani
Pemprov Sulawesi Utara mengklaim tanah yang digarap petani Kalasey Dua ini sebagai Hak Pakai No. 1 tahun 1982, tapi oleh Pemprov surat tersebut dinyatakan hilang pada tahun 2014. Kemudian pada 2019 BPN mengeluarkan dua sertifikat pengganti di atas objek yang sama yaitu, No. 001/2019 dan No. 013/2019. Namun, Pemprov tidak bisa menjelaskan SK Hibah No. 368 pada Kemenpar RI dari Sertifikat Hak Pakai yang mana.
Keunikan lain dalam surat pengganti tersebut; luasannya masih sama dengan Hak Pakai Pemprov yang diklaim terbit tahun 1982 pasca HGU PT Asiatic berakhir. Padahal di areal Hak Pakai tersebut Pemerintah Provinsi sudah menghibahkan beberapa bidang tanah kepada instansi, seperti kepolisian (Brimob), Bakamla, dan beberapa instansi lainnya, karena itu seharusnya luasannya sudah berkurang tidak lagi 225 hektar.
Hal itu terungkap dalam persidangan gugatan warga atas SK Hibah Pemprov Sulut pada Kemenpar RI di PTUN Manado. Tergugat dalam hal ini Pemerintah Provinsi Sulut tidak bisa menerangkan asbabun nuzul penerbitan Sertifikat Hak Pakai. Lebih lagi sepanjang petani menggarap lahan tersebut sejak tahun 1982 sampai tahun 2012, Pemprov tidak pernah mengelola lahan sebagai mana yang dimaksud.
‘Di persidangan, majelis hakim membebankan pembuktian keabsahan Hak Pakai Pemprov kepada tergugat, tapi dalam persidangan mereka tidak bisa menjelaskan letak, kedudukan, dan asal-usul Hak Pakai,” ucap Frank, Direktur LBH Manado.
Frank Kahiking menduga Hak Pakai yang diklaim Pemprov Sulut didapat dari hasil ‘sulap’ yang dilatari kepentingan penguasa untuk merampas tanah petani.
“Dalam kasus-kasus agraria selalu kental dengan praktik penerbitan izin “siluman”, proses main mata antara elite penguasa, bidang pertanahan, dan pihak-pihak berkepentingan,” lanjut Frank.
Harapan petani mendapat keadilan di ruang sidang dihadapkan dengan jalan terjal. Gugatan warga diputus majelis hakim tidak dapat terima. Majelis hakim hanya mempertimbangkan formalitas gugatan dan tidak mempertimbangkan fakta-fakta persidangan, termasuk argumentasi HAM yang telah diuraikan penasihat hukum. Adapun alasan majelis hakim dalam memutus gugatan penggugat tidak dapat diterima karena Koordinator Solidaritas Petani Penggarap Kalasey Dua (SOLIPETRA) dalam mengajukan keberatan administratif tidak mempunyai dasar hukum, dalam hal ini tidak terdaftar di Kesbangpol. Putusan yang sangat positivistik dan sarat dengan kehendak penguasa.
“Banding di PTUN Tinggi Makasar di tanggal 5 Oktober 2022 keluar putusan yang masih menguatkan putusan pengadilan PTUN Manado bahwa gugatan tidak dapat diterima (Niet on Vankelijk Verklaard/NO), dan saat ini kita telah mengajukan upaya kasasi, masih menunggu putusan MA,” ucap Frank.
Berharap Masih Adanya Keadilan Bagi Petani
Perkebunan Kalasey ada di atas tanah yang subur. Warga meyakini tanah ini adalah ni tanah perjanjian yang Tuhan kasih untuk kelangsungan hidup petani. Kelapa, umbi-umbian, cengkih tumbuh subur disini, tapi yang merupakan produk unggulan adalah pohon pisang.
Dari keterangan petani, sekitar 70% pasar yang menjual pisang di Manado itu dari Kalasey.
“Yang jualan-jualan pisang di areal pantai Malalayang itu diambil dari Kalasey,” kata Oma Ndio. “Termasuk yang jual-jual di pasar ambe di sini,” tambahnya.
Dalam sebulan, petani bisa dua sampai tiga kali panen. Setiap panennya petani mendapat keuntungan sampai dua juta. “Jadi sebulan bisa dapat lima sampai tujuh juta,” Oma Ndio menyebut dari mengelola kebun ia bersama mendiang suaminya bisa membangun rumah dan menyekolahkan anak sampai sarjana.
Dari data yang dikumpulkan oleh teman-teman jejaring yang tergabung dalam SOLIPETRA, perputaran ekonomi warga Kalasey Dua atas mengelola kebun seluas 20 hektar dengan total kisaran 100 orang petani bisa mendapat 500 juta sebulan.
Selama perampasan lahan yang dialami petani Kalasey Dua yang mana Brimob 20 hektar, Bakamla enam hektar, dan rumah sakit sembilan hektar, mereka selalu diiming-imingi akan mendapat keuntungan. Dari anak-anak petani akan diprioritaskan menjadi anggota polisi, dipekerjakan menjadi staf, satpam, bisa berjualan di areal pembangunan, semua itu hanya janji palsu.
Pernah suatu ketika saat bangunan Brimob sudah dibangun, ada warga yang mau berjualan, tapi dilarang oleh pihak Brimob.
“Jangankan jadi Polisi, kami tidak diijinkan berjualan di areal Brimob,” ucap Eca seorang pemuda Kalasey Dua.
Pernyataan pemerintah bahwa kehadiran Politeknik Pariwisata itu akan membuka lapangan kerja dan otomatis mensejahtrakan warga Kalasey Dua. Sayangnya, kenyataan selama ini tak seindah pernyataan. Petani desa semakin kehilangan lahan, akses, dan manfaat sumber daya alam yang telah dikuasai oleh korporasi dan elite penguasa.
“Torang so bosan dengar janji-janji pemerintah,” (Kami sudah bosan dengan janji-janji pemerintah) ucap Oma Ndio. “Yang torang butuhkan tanah untuk bertani, bukan beton, torang nda bisa makan beton.” (Yang kami butuhkan tanah untuk bertani, bukan beton, kami tidak bisa makan beton).
Di bulan November, warga Kalasey Dua melaporkan ke Komnas HAM dugaan pelanggaran HAM yang dialami petani. Pelanggaran itu antara lain perampasan tanah, menghilangkan sumber mata pencarian, dan penyiksaan yang dialami pada waktu penggusuran.
Merespon pengaduan yang dilakukan warga, pada tanggal 19 Desember, perwakilan Komnas HAM mengunjungi Desa Kalasey Dua. Komisioner Komnas HAM yang hadir saat itu adalah komisioner bidang pengaduan, Hari Kurniawan. Dalam kesempatan itu perwakilan Komnas HAM berjanji akan mengusut soal dugaan pelanggaran HAM yang dialami oleh petani Kalasey Dua.
Memasuki empat bulan sejak kedatangan Komnas HAM, warga belum mendapat kabar terkait upaya atau rekomendasi yang dilakukan. “Kami belum dapat kabar hasil rekomendasi selanjutnya dari Komnas HAM terkait kasus Kalasey,” ucap Om Bering.
Petani hingga kini berupaya mempertahankan tanah yang belum digusur. Mereka menggalang solidaritas, sembari berharap ada campur tangan dari pemerintah pusat untuk berpihak dengan mengintervensi agar hak-hak petani bisa terpenuhi di tanah Kalasey.
*
Di Sulawesi Utara, kebijakan ramah infrastruktur yang digenjot pemerintah hari ini semakin masif, seperti pembangunan jalan tol, mempermudah izin pertambangan, reklamasi, dan PSN Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Likupang. Namun, pembangunan infrastruktur tersebut ternyata tidak membawa dampak yang signifikan buat warga.
Ini menggambarkan kekinian pemerintah semakin terbiasa membuat kebijakan memunggungi prinsip-prinsip HAM serta mengabaikan partisipasi dan aspirasi rakyat. Ia kerap tampil angkuh, congkak, dan brutal sehingga membuat produk aturan yang bias kepentingan yang amat asasi, menggusur yang lemah dan memberi karpet merah pada kelas penguasa dan pemodal.
Dari catatan LBH Manado di Sulawesi Utara sepanjang tahun 2022, konflik agraria merupakan konflik dengan jumlah korban pelanggaran hak terbanyak, yaitu ada 693 orang yang haknya dilanggar haknya, meliputi hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.[1]
Pengabaian hak, norma, dan adab itu kerap tidak bisa dihukum selama dibungkus dalam bingkai kebijakan. Hal ini menjadi tantangan atas pemberlakuan negara hukum. Batu uji negara hukum yang demokratik pertama-tama harusnya bisa diberlakukan pada penguasa. Jika pemerintah selaku pemangku kekuasaan bisa diadili, dibawa ke pengadilan yang bebas dan otonom, barulah kita dapat menaruh harap pada negara hukum yang berpihak pada keadilan.
[1] Catatan Akhir Tahun LBH Manado Tahun 2022.
[1] Pengabdi Bantuan Hukum LBH Manado.