Dalam penyusunan sistem bantuan hukum di Indonesia, salah satu negara yang menjadi rujukan adalah Afrika Selatan. Afrika Selatan dipandang oleh dunia internasional sebagai contoh sukses dalam banyak hal di sektor keadilan, misalnya dalam penyelesaian HAM masa lalu melalui Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi, maupun dalam hal pemberian layanan bantuan hukum bagi warga yang tidak mampu.
Membandingkan layanan bantuan hukum (oleh negara) antara Indonesia dengan Afrika Selatan mungkin dapat dianggap tidak berimbang. Afrika Selatan sudah memulai program bantuan hukum ini melalui Legal Aid Board sejak tahun 1969 (Legal Aid Act No. 22 of 1969) dan mulai dilaksanakan pada tahun 1971. Dari segi dana yang dialokasikan oleh negara, Afrika Selatan mengalokasikan 1,5 milyar Rand (Rp 1,5 trilyun) untuk bantuan hukum dengan jumlah penduduk miskin sekitar 22 juta jiwa (sekitar Rp 68.000,00 per kapita penduduk miskin). Sementara, Indonesia dengan anggaran bantuan hukum sekitar Rp 48 milyar dan penduduk miskin sekitar 28 juta jiwa, alokasi anggaran bantuan hukum per kapita penduduk miskin hanya sekitar Rp 1.700,00 saja. Meski demikian, kita bisa belajar banyak dari bagaimana bantuan hukum Afrika Selatan dirumuskan dan diimplementasikan.
Awal Mula Kebijakan Bantuan Hukum
Kebijakan bantuan hukum sudah lahir pada saat Afrika Selatan masih di bawah sistem apartheid. Saat itu, layanan bantuan hukum disediakan oleh negara dengan anggaran yang sangat terbatas dan hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih. Pada tahun 1994 dengan lahirnya konstitusi baru, layanan bantuan hukum dapat dinikmati oleh warga kulit hitam. Sistem yang digunakan juga berubah dari sebelumnya menggunakan sistem Inggris (judicare), di mana bantuan hukum dilakukan oleh pengacara privat atas rujukan dari Legal Aid Board, menjadi layanan bantuan hukum yang lebih variatif dan sistematis.
Sepanjang tahun 1971 hingga awal 1990-an, kebutuhan layanan bantuan hukum maupun anggaran bantuan hukum terus meningkat. Sistem judicare kemudian dianggap tidak lagi efisien dari segi anggaran. Dengan sulitnya kontrol terhadap biaya yang diajukan oleh pengacara privat ketika memberikan bantuan hukum, total biaya bantuan hukum menjadi sangat tinggi. Runtuhnya rezim apartheid pada tahun 1994 membuka ruang untuk membangun sistem bantuan hukum yang baru. Berbagai uji coba terhadap alternatif-alternatif sistem/mekanisme bantuan hukum yang ada terus dilakukan, hingga akhirnya pada tahun 1997 pemerintah memutuskan untuk mengutamakan penggunaan model pengacara publik yang direkrut dan bekerja untuk Legal Aid Board. Setelah itu, pemerintah membentuk pula kantor-kantor pengacara publik yang diberi nama Justice Centre di berbagai daerah di Afrika Selatan. Hal ini diputuskan berdasarkan pengalaman Afrika Selatan sendiri, bahwa skema bantuan hukum nasional tidak akan berhasil apabila pengacara yang memberikan layanan bantuan hukum tidak memperoleh imbalan yang memadai.
Perkembangan Bantuan Hukum di Afrika Selatan
Pada tahun 2014, lahir UU Bantuan Hukum baru yaitu Act 39 of 2014 yang semakin mempertegas model bantuan hukum yang mengutamakan Justice Centre sebagai pemberi layanan bantuan hukum dengan pengacara publik yang digaji oleh negara. Sampai saat ini terdapat 64 Justice Centre serta 64 Satellite Offices di seluruh wilayah Afrika Selatan dengan 1,057 pengacara permanen, 578 pengacara kontrak, 333 manajer, dan 168 paralegal. Meski demikian, model-model pemberian layanan bantuan hukum lainnya tetap dijalankan sebagai pelengkap dan menutup kekurangan bantuan hukum yang sudah ada dengan sistem in-house lawyer.
Pemerintah tetap mendorong tradisi pro bono di Afrika Selatan. Sebuah organisasi bernama probono.org berperan sebagai clearing house yang menghubungkan sekaligus menyediakan pengacara yang hendak melakukan pro bono dengan warga yang membutuhkan jasa hukum. Pemerintah juga mempertahankan model rujukan kasus ke pengacara privat di area di mana tidak terdapat Justice Centres. Demikian juga bila Justice Centres tidak dapat menangani perkara tersebut, baik dengan alasan logistik maupun etik, seperti misalnya konflik kepentingan maupun keterbatasan kapasitas atau pengalaman.
Model lainnya yang juga terus dikembangkan adalah dengan merekrut dan menggaji pengacara magang untuk memberikan layanan bantuan hukum di Satellite Office (pos khusus yang dimiliki Justice Centres, semacam LBH Pos bagi LBH Kantor) dan daerah pedesaan. Bagaimanapun juga, dana yang dibutuhkan merekrut dan menggaji pengacara magang ini lebih murah dibanding dengan biaya untuk membentuk Justice Centre baru dan membayar gaji pengacara.
Peran paralegal di tingkat komunitas juga diakui oleh sistem bantuan hukum Afrika Selatan. Banyak organisasi yang berbasis pada kerja-kerja paralegal komunitas yang memberikan akses terhadap keadilan dengan mendidik masyarakat tentang hak-hak hukum mereka, serta melatih paralegal untuk memberikan nasihat hukum. Dari sekitar 350 organisasi komunitas, salah satunya adalah Orange Farm Human Rights Advice Centre yang berjarak kurang lebih 45 km dari Johannesburg. Seperti halnya Community Advice Offices lainnya di Afrika Selatan, mereka menjadi pelengkap bagi skema layanan bantuan hukum berbasis pengacara konvensional. Dengan basis komunitas, mereka memainkan peran penting dalam memberikan informasi dan nasihat dasar, serta memberikan rujukan ke layanan bantuan hukum berbasis pengacara. Di tingkat nasional, organisasi bantuan hukum berbasis komunitas ini telah membentuk The National Association for the Development of Community Advice Offices (NADCAO). Asosiasi ini dibangun untuk membantu pengembangan dan pendanaan lebih dari 350 Community Advice Offices di negara tersebut dengan pelatihan dan penggalangan dana.
Di samping model-model layanan bantuan hukum di atas, beberapa model layanan juga terus dikembangkan di Afrika Selatan dalam bentuk pendanaan negara untuk kerja-kerja: litigasi kepentingan publik (public interest litigation), klinik hukum universitas, serta layanan nasihat hukum melalui telepon. Bisa kita lihat bahwa Afrika Selatan berpegang pada prinsip bahwa tidak ada model sistem bantuan hukum yang bersifat paripurna. Masing-masing model atau sistem layanan bantuan hukum memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Dengan dasar itu, eksperimen-eksperimen piloting terus dilakukan di Afrika Selatan terhadap berbagai model layanan bantuan hukum yang ada.
Pembelajaran untuk Indonesia
Tahun depan, implementasi UU bantuan Hukum di Indonesia sudah memasuki tahun kelima. Sudah waktunya pula bagi kita untuk melihat lebih dalam, melakukan refleksi, evaluasi, dan reformasi. Sistem rujukan (referral) kepada pemberi bantuan hukum yang terakreditasi (OBH) mungkin sudah saatnya dilengkapi juga dengan sistem in-house lawyer. Advokat bantuan hukum in-house ini bakal lebih memastikan kualitas layanan, sekaligus memberi benchmark bagi advokat yang bekerja di OBH. Selain itu, pembentukan komisi khusus bantuan hukum juga perlu dipikirkan kembali. Tanpa menafikan hasil dan kerja keras yang dilakukan oleh BPHN beserta jajarannya, komisi khusus bantuan hukum akan lebih memastikan fokus kerja dari institusi yang diberi mandat untuk memastikan akses keadilan bagi masyarakat. Komisi bantuan hukum juga akan lebih efektif dalam memberikan dan mengembangkan layanan bantuan hukum, baik yang bersifat informasi, konsultasi, maupun pendampingan hukum dengan membentuk unit-unit khusus untuk itu.
Sistem referral yang berlaku saat ini akan lebih tepat sasaran apabila diutamakan pada OBH-OBH yang beroperasi di daerah-daerah terpencil, maupun mendorong OBH-OBH baru di daerah tersebut. OBH-OBH yang saat ini terkonsentrasi di perkotaan akan didorong untuk lebih fokus pada legal empowerment melalui informasi dan konsultasi hukum, serta melakukan kerja-kerja litigasi kepentingan publik (public interest litigation). Sementara itu, dalam hal kerja-kerja pendampingan hukum (case works), advokat OBH tetap akan bisa memberikan pendampingan hukum dan akan terpacu kualitas kerjanya dengan adanya perbandingan dan “benchmarking” dari advokat in-house.
Tantangan untuk melakukan reformasi sistem bantuan hukum tak akan jauh berbeda. Keberadaan dan kekuatan sebuah sistem bantuan hukum utamanya ditentukan oleh kapasitas finansial negara dan kemauan politik pemerintah. Namun, ada sedikit perbedaan antara momen awal penyusunan UU Bantuan Hukum dengan situasi saat ini. Baik RPJMN 2015-2019, Strategi Nasional Akses Keadilan (SNAK) 2016-2019, Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan Paket Reformasi Hukum Jilid II dari pemerintahan Joko Widodo merupakan peluang bagi dimulainya reformasi sistem bantuan hukum. Dengan demikian, kita sudah memiliki sistem hukum dan konstitusi yang menunjang kebijakan bantuan hukum serta pengalaman implementasi kebijakan layanan bantuan hukum yang sudah berjalan. Dengan itu semua, kita tetap perlu mengingatkan kembali bahwa komitmen negara untuk memberikan akses terhadap keadilan bagi warganya dapat dilihat dari efektivitas dan efisiensi sistem dan implementasi layanan bantuan hukum