Rancangan Undang-undang (RUU) Rahasia Negara merupakan salah satu RUU yang menjadi prioritas untuk dibahas berdasarkan dokumen Program Legislasi Nasional (Prolegnas), dimuat dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia No. 01/DPR-RI/III/2004-2005. Paper ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran, analisis serta rekomendasi terhadap proses penyusunan dan substansi/materi RUU ini, dengan menggunakan perspektif hukum hak asasi manusia (HAM). Dalam paper ini dokumen yang digunakan adalah RUU Rahasia Negara versi Departemen Pertahanan (Dephan) – selanjutnya disebut RUU Rahasia Negara dan RUU Kerahasiaan Negara versi 21 Oktober 2005 – selanjutnya disebut RUU Kerahasiaan Negara. Pembahasan terhadap kedua RUU ini dimaksudkan untuk melihat perkembangan wacana dan sejumlah perubahan-perubahan rumusan pasal. Analisa yang dimuat dalam paper ini juga sekaligus menunjukkan sesat pikir yang dikandung dalam rumusan rancangan.
Penggunaan perspektif norma dan standar HAM bukan mengada-ada. Penjelasan RUU Kerahasiaan Negara bahkan diparagraf paling awal mengutip pasal yang menjamin HAM dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dinyatakan dalam penjelasan, dinyatakan:
“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 28F, mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaukan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”
Dengan menggunakan pengetahuan dan praktik HAM, pembatasan yang dilakukan – dalam hal ini oleh UU Rahasia Negara – dapat dirumuskan secara tidak bertolak belakang, bertentangan bahkan menegasikan jaminan hak dalam pasal 28F tersebut. Karenanya, tidak beralasan untuk tidak memberi peluang diskursus HAM mengambil tempat dalam perdebatan mengenai substansi dan materi RUU ini. Sebaliknya, pernyataaan pejabat yang melulu berargumen ekonomi-politik dengan mengabaikan argumen hak asasi manusia pada dasarnya bertentangan dengan semangat dan nafas yang mendasari dan menghidupi proses penyusunan perundang-undangan Rahasia Negara.
Sejumlah Organisasi Non-Pemerintah (Ornop), termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memberikan perhatian kepada proses penyusunan RUU ini untuk memastikan pada saatnya nanti, menjadi UU yang tidak mengancam “kebebasan masyarakat” (civil liberties) dan “keadilan sosial” (social justice). Secara regular, YLBHI senantiasa mengajukan gagasan-gagasan dan evaluasi kritis terhadap para pembuat kebijakan (decision makers) yang terkait dalam pembahasan RUU ini, termasuk meminta Pemerintah dan DPR untuk bersikap terbuka dan membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan RUU ini.
Silahkan unduh Laporan YLBHI No. 9, November 2005 (PDF, Bahasa Indonesia)