“Hukuman Mati Inkonsisten terhadap visi-misi Presiden Jokowi untuk menghormati Hak Asasi Manusia dan menuntaskan Pelanggaran Hak Asasi Manusia”
Hukuman Mati merupakan Kejahatan Kemanusiaan:
Jokowi adalah kita, itu yang disampaikan dalam kampanye sebelum menjadi presiden Republik Indonesia. Tapi sekarang, atas nama negara, Jokowi yang ramah dan murah senyum serta suka blusukan itu menolak semua grasi (pengampunan) yang diajukan kepada Presiden sebagai panglima penegakan hukum oleh narapidana hukuman mati, dan memerintahkan hukuman mati dilaksanakan.
Visi dan misi Jokowi untuk menghormati dan menuntaskan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia tidak sesuai dengan statemen Jaksa Agung HM Prastyo mengenai para narapidana yang akan dieksekusi pada Minggu, 18/1/2015 ini. Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan, untuk gelombang pertama dan berikutnya pihaknya mendahulukan pelaksanaan eksekusi mati untuk narapidana kejahatan narkotika. Eksekusi ini dilakukan sebagai bukti komitmen pemerintah untuk memberantas peredaran narkoba didalam negeri.
Narapidana yang akan dieksekusi MInggu, 18/1/2015 ini terdiri dari empat orang laki-laki dan dua orang perempuan. Lima orang narapidana akan dieksekusi di Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Sisanya di LP Boyolali, Jateng. Eksekusi dilakukan dengan cara ditembak sampai mati. Mereka adalah Namaona Denis (48) warga Negara (WN) Malawi, Marco Archer Cardoso Moreira (53), WN Brazil, Daniel Enemuo alia Diarrassouba Mamadou (38) WN Nigeria, Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir (62) kewarganegaraan tidak jelas, Tran Thi Bich Hanh (37) WN Vietnam, dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia Warga Cianjur, Jawa Barat.
Pelaksanaan eksekusi terpidana mati menurut Jaksa Agung tanpa mengabaikan hak-hak terpidana, merupakan penegasan dan sinyal kepada para pelaku jaringan sindikat narkotika bahwa Indonesia tidak main-main memerangi kejahatan narkotika. Indonesia tidak akan berkompromi dengan jaringan sindikat narkotika dan akan tetap konsisten bersikap keras dan tegas, tiada ampun bagi bandar dan pengedar. Bahkan presiden pun mengatakan tidak ada maaf,” tegas Jaksa Agung.
Sekarang, harapan penggiat HAM yang memilih Jokowi karena komitmen atas penegakan hukum dan perlindungan HAM, dan karena menentang calon Presiden yang lain karena diduga melakukan pelanggaran HAM, menghilangkan nyawa dan melakukan penculikan seakan sirna. Dengan pelaksanaan hukuman mati merupakan pelanggaran HAM, HAM merupakan hak non derogableright,yaitu hak yang tidak boleh diganggu dan dihilangkan dalam keadaan apapun dan waktu kapanpun.
Sementara tujuan pemidanaan terhadap terpidana sebagaimana teori pembinaan yang dianut oleh Indonesia sekarang ini dalam konsep pemasyarakatan, untuk memperbaiki terpidana dan mengembalikan terpidana kembali menjadi bagian dari masyarakat. Pembinaan itu sendiri, guna memperbaiki atau merubah seseorang melalui teori pembinaan dan pemasyarakatan dalam sistem hukum yang dianut Indonesia dalam teori hukum modern. Tujuan pemidanaan yang dianut oleh Indonesia adalah semangat ke arah perlindungan HAM dengan membangun system kearah yang lebih manusiawi dan lebih rasional, sehingga “system pidana retribution” atau untuk tujuan memuaskan salah satu pihak dengan tujuan menggunakan teori balas dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Hal ini bersifat primitive dan tidak boleh dianulir kembali oleh negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip penegakan HAM, demokrasi danequality before the law.
Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati atau adanya hukuman mati. Namun karena problem struktural lainnya yang terjadi dalam proses bernegara dan culture yang ada, seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup dan system negara yang tidak pro rakyat atau hilangnya rasa adil di tengah-tengah masyarakat mengakibatkan kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum negara Indonesia hilang dan apatis terhadap penegakan hukum. Bahkan untuk kejahatan terorisme, hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan tindakan terorisme untuk dilakukan lagi dan berulang kali, sehingga hukuman mati justru dianggap menjadi amunisi ideologis gunameningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku dan pengikutnya.
Hukum Indonesia adalah warisan dan peninggalan Belanda. Pada saat itu, hukuman mati hanya ditujukan kepada pribumi sebagai upaya politik untuk membunuh perlawanan pribumi terhadap penjajah yang bertentangan dengan prinsip HAM. Sementara, pada saat itu hukuman mati ini telah dihapuskan oleh Belanda pada tahun 1890-an, disaat menjajah Indonesia.
Meskipun Belanda telah menghapus hukuman mati, Indonesia masih memberlakukan hukuman mati dalam system hukum Indonesia. Hal ini bertentangan dengan semangat Indonesia untuk melakukan reformasi hukum sesuai sila ke-dua Pancasila. Semangat yang sama juga diiringi dengan amandemen UUD 1945 dalam Pasal 28 huruf A dan Huruf I ayat (1) yang melindungi hak hidup sebagai hak konstitusional dalam UUD 1945.
Ketika hukuman mati diterapkan dalam pelaksanaan hukuman dan pemidanaan, dapat dikategorikan hukuman mati bertentangan dengan konstitusi negara dalam semangat yang dibangun dalam perlindungan HAM.
Berdasarkan uraian di atas, maka Yayasan LBH Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:
- Bahwa hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28 huruf A dan Huruf I ayat (1) yang melindungi hak hidup sebagai hak konstitusional dalam UUD 1945 dan tidak sesuai dengan Sila ke II Kemanusiaan yang adil dan beradab dari Pancasila.
- Bahwa Hak hidup adalah hak kodrati yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (Non-Derogable), sebagaimana hal ini juga dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
- Mendesak Jokowi untuk menghentikan proses eksekusi mati terhadap terpidana mati sebagai wujud komitmen menegakkan hukum secara manusiawi dan melindungi HAM karenabertentangan dengan semangat dari prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusi negara republik indonesia dan upaya penuntasan Pelanggaran Hak asasi Manusia
Hormat Kami
Jakarta, 17 Januari 2015
Yayasan LBH Indonesia
Bahrain, SH, MH
Direktur Advokasi dan Kampanye