siaran pers
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi
“Impunitas dan Reformasi Polisi yang Tidak Pernah Tuntas”
Sejak mencuatnya Kasus Ferdy Sambo (Mantan Kadiv Propam Polri), kami melihat Kepolisian tidak pernah benar-benar berubah dengan mengoreksi dan mengevaluasi terlebih mereformasi institusinya. Kepolisian seolah-olah bebal dan kritik publik menjadi sangat relevan yang menyatakan bahwa ada permasalahan serius di tubuh Kepolisian sehingga harus direformasi secara struktural, instrumental dan kultural.
Baru-baru ini publik kembali dikejutkan dengan tindakan 5 (lima) Anggota Kepolisian dan 2 Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas dan berdinas di Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) atas tindakan melakukan pungutan liar dalam seleksi penerimaan siswa Bintara Tahun Angkatan 2022. Dari tindakan tersebut, mereka dikenakan sanksi etik yang beragam mulai dari demosi, penempatan khusus, dan penurunan jabatan 1 tingkat dan potongan tunjangan.
Sanksi Etik Minus Pidana Melanggengkan Impunitas Polisi
Kami menilai Kepolisian tidak pernah serius melakukan penindakan terhadap perilaku koruptif anggotanya. Alih-alih menindak, pendekatan yang diambil hanya sebatas memberi sanksi etik yang menurut kami akan melanggengkan impunitas dan tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect). Seharusnya baik sanksi etik dan pidana harus dilakukan secara paralel, Kepolisian seharusnya juga mengedepankan penegakan hukum pidana, karena tindakan yang dilakukan oleh para anggota kepolisian secara berjamaah tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai pidana korupsi dan/atau pidana dalam jabatan sebagaimana ketentuan pasal 5 ayat (1) dan/atau Pasal 12 huruf e Juncto Pasal 12B ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Tindakan serupa juga pernah terjadi dalam kasus lain, dimana Polri menghukum anggotanya yang melakukan tindak pidana melalui pendekatan etik tanpa proses hukum pidana, misalnya:
• Kasus penerimaan anggota Polri dengan hasil pungli hampir mencapai Rp 2 Miliar yang melibatkan anggota Polisi di Polres Rote Ndao di Nusa Tenggara Timur (NTT) 2022,
• Kasus 7 (tujuh) Perwira Polisi dan seorang PNS yang diduga terlibat pungli dalam penerimaan calon Brigadir Polisi tahun 2016 dan Sekolah Inspektur Polisi Sarjana tahun 2017 di Sumatera Selatan,
• Kasus dugaan suap dan penggelapan dalam jabatan perkara narkotika, yakni eks Kapolres Bandara Soekarno-Hatta yang hanya mendapatkan sanksi etik tanpa pidana,
• Kasus 2 (dua) terdakwa dalam kasus penyerangan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang masih menjadi Anggota Aktif meski terbukti melakukan tindak pidana,
• Kasus Iptu TK yang berkali-kali melakukan kekerasan terhadap masyarakat di Ambon hanya dijatuhi sidang etik berupa pemecatan tidak dengan hormat (2022),
• Kasus Penyiksaan M. Fikry dkk oleh Anggota Polsek Tambelang dan Polres Metro Bekasi yang sampai sekarang tidak ditindaklanjuti (2022),
• Kasus Penyiksaan yang dilakukan 6 (enam) aparat Polres Tanah Datar Sumatera Barat terhadap Viora Andika hanya diberi sanksi berupa permintaan maaf kepada institusi kepolisian dan korban secara lisan (2021),
• Kasus Unlawfull Killing dua mahasiswa Universitas Halu Oleo hanya sampai sidang etik dengan sanksi teguran lisan hingga penundaan kenaikan pangkat (2019).
Semakin jamaknya impunitas di tubuh Kepolisian tentu bertentangan dengan prinsip jaminan ketidak berulangan dalam HAM (guarantees of non recurrence) dan lebih jauh dari itu menunjukkan bahwa Kepolisian tidak memiliki kemauan yang serius dan tidak bersedia di reformasi secara struktural, instrumental dan kultural.
Urgensi evaluasi dan pembenahan sistem perekrutan Anggota Polisi
Perilaku koruptif anggota kepolisian hampir terjadi dalam berbagai level, tak terkecuali pada saat seleksi penerimaan Anggota Polri. Selain tidak pernah ditindak secara tegas, tindakan ini terus terjadi karena lemahnya transparansi dan akuntabilitas serta pengawasan Kepolisian, oleh karenanya Percaloan Penerimaan Anggota Polri merupakan salah satu isu penting dalam Agenda Reformasi Kepolisian di sektor Manajemen Sumber Daya Manusia (human resources). Oleh karena kasus-kasus seperti ini terus mengalami pengulangan, kami berpendapat sistem penerimaan Anggota Polri harus dievaluasi dan dibenahi dengan menetapkan sistem dan pengawasan seleksi yang melibatkan peran penuh pihak eksternal seperti Lembaga Independen Negara, Akademisi, serta masyarakat sipil dengan menekankan prinsip transparansi, akuntabilitas, inklusivitas, dan demokratis.
Oleh karena itu, kami Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi mendesak:
1. Kepala Kepolisian RI memerintahkan seluruh satuan di bawahnya untuk melakukan proses pidana terhadap Anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana korupsi khususnya dalam kasus Kepolisian Daerah Jawa Tengah;
2. Kepala Kepolisian RI menindaklanjuti komitmennya untuk menjadikan Polri sebagai institusi yang Prediktif, Responsibilitas, Transparansi dan Berkeadilan (PRESISI) khususnya dengan mengevaluasi Penerimaan Anggota Polri agar melibatkan peran aktif dan/atau partisipasi pihak eksternal;
3. Pemerintah dan DPR RI untuk menangani permasalah serius di tubuh kepolisian secara aktif dengan melanjutkan agenda Reformasi Kepolisian secara instrumental, kultural dan struktural melalui perubahan kebijakan/peraturan perundang-undangan;
4. Presiden segera membentuk Tim Independen Percepatan Reformasi Polisi yang bekerja secara langsung di bawah Presiden, guna memastikan reformasi terjadi di semua aspek Kepolisian RI.
Jakarta, 16 Maret 2023
Hormat Kami,
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi (ICW, YLBHI, KontraS, ICJR, AJI, dan PBHI Nasional)
Narahubung:
1. Agus Sunaryanto (ICW)
2. M. Isnur (YLBHI)
3. Fatia Maulidiyanti (KontraS)
4. Erasmus Napitupulu (ICJR)
5. Sasmito Madrim (AJI)
6. Julius Ibrani (PBHI Nasional)