Kredo/Maklumat Peneguhan Jalan Gerakan BHS
[dibacakaan saat acara Pisah Sambut dan Pelantikan Pengurus YLBHI 2022-2026: Merawat Api Perlawanan; Jakarta, 7 Januari 2022)
Kepengurusan YLBHI 2017-2021 menjadi saksi kembalinya kuasa – kekuasaan yang brutal. Manusia tentu saja sudah lama menjadi komoditas dan HAM terengah-engah mencoba menempatkan manusia kembali sebagai subyek. Jika peradaban modern ditandai dengan kesetaraan maka Omnibus Law Cipta Kerja membalikkannya dengan membuat kontrak dan outsorcing nyaris tidak batasan sehingga orang miskin bisa diperas dan mensubsidi orang kaya karena keuntungan berlipat-lipat hasil ongkos produksi yang murah. Jika berabad-abad lalu menjadi komunitas dunia adalah memusuhi perbudakan, Omnibus Law Cipta Kerja membuat kerja 8 jam tidak cukup tetapi harus memenuhi jumlah produksi tertentu. Pasal tentang satuan waktu dan satuan hasil mengembalikan jam kerja panjang yang telah ditolak warga dunia pada tahun 1800an dan disepakati dienyahkan pada Abad XVIII.
Tidak hanya itu, tanah milik bisa diambil jika ditentukan sebagai komponen cadangan dan pemilik yang menolak bisa dipenjara. Dalam sekali ketok, yang katanya wakil rakyat dan orang baik pilihan rakyat, membuat hak tidak berarti dan mengembalikan militerisasi. Kaum muda, perempuan, kaum miskin kota, petani, nelayan, akademisi kritis dan semua yang melawan sudah merasakan kembalinya Pemerintahan otoriter. Dibubarkan sewenang-sewenang, ditangkap, dipukuli, ditelanjangi, dipilox badannya, dijemur di tengah malam, dijejalkan sambil menunggu pemeriksaan padahal alasan pembubaran protokol kesehatan dan lain-lain.
Apakah kejahatan seperti ini akan berhenti tiba-tiba? Tidak pernah! Tidak ada jalan mundur dalam sistem penindasan. Setelah sebelumnya menjadi tuan rumah Bank Dunia dan Lembaga Keuangan Internasional (IMF), Tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah G20. Apa hubungannya ini dengan rakyat? Rakyat akan merasakan akibatnya dari kesepakatan-kesepakatan timpang pada forum ini. Kontrak, outsorcing sebagai wujud flexible labour market tertera dalam Letter of Intent Indonesia ke IMF. Biaya membangun geothermal yang mengancam lingkungan hidup Warga Gunung Talang adalah hasil kesepakatan-kesepakatan seperti ini. Pencabutan berbagai subsidi juga adalah hasilnya.
Di mana tempat hukum kalau begitu? Indonesia tidak berjalan berdasarkan cita negara hukum (rule of law) tapi rule by law. Hukum menjadi stempel kekuasaan. Hukum tidak dibuat sesuai keinginan rakyat, suara rakyat bahkan dibungkam.
Mungkin pelaku sejarah atau pembaca sejarah akan mengatakan situasi ini sudah pernah terjadi di Indonesia. Benar, kita sedang menjalani siklus seperti tanpa pintu keluar. Tugas kita bersama mendobrak ruang tertutup ini dan menciptakan pintu keluar. Perubahan mendasar dari berabad-abad lalu selalu dijalani dari luar sistem. Setelah desakan perubahan tidak mungkin dibendung lagi, barulah sistem mengakomodirnya.
Satu yang mengkareng kita adalah sistem politik yang diatur agar dikuasai hanya segelintir orang. Presiden bagi seluruh rakyat Indonesia hanya bisa dicalonkan oleh Partai Politik. Ya, partai politik yang wakil-wakilnya di DPR tidak mendengarkan suara jutaan orang menolak UU atau meminta UU tertentu. Partai politik yang sebagiannya tidak demokratis, pimpinannya tidak berganti-ganti selama puluhan tahun dan kader-kadernya menjadi langganan penjara koruptor. Rakyat tidak punya hak menarik kembali calon yang ia pilih meskipun mengkhianati publik yang mendudukkannya di kursi itu.
Tentu saja mengubah sistem politik hanyalah awal, tugas sebenarnya adalah membuat demokrasi ekonomi terjadi, agar cita-cita berdirinya Negara ini sungguh terjadi; kesejahteraan seluruh rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ini pastinya agenda besar dan agenda besar membutuhkan upaya keras. Tapi YLBHI tidak pernah bermaksud berjalan sendiri, tidak di depan, tidak di belakang. Orang hukum atau pengacara bukan penonton di pinggiran yang baru datang setelah masalah terjadi. YLBHI akan dan harus berjalan bersama rakyat. Ini bukan agenda orang per orang, ini agenda kita bersama.
Masalahnya tinggal satu saja, bagaimana membuat sebagian besar orang bergerak. Seperti yang dikatakan Indonesia Raya, bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Raga hanya digerakkan oleh jiwa yang bangkit. Dan di masa kini hal ini susah-susah gampang. Mudah karena media sosial mampu menyebarkan pesan dalam waktu detik ke ribuan orang. Tapi sulit karena semua merebut ruang itu dan perebutan ini tidak netral. Ada yang dibiayai anggaran besar, memiliki kakak pembina, memanfaatkan kekuasaan dll, yang benar jadi salah, yang salah jadi pahlawan. Oleh karena itu sudah saatnya kita kembali ke masyarakat, memperkuat rakyat. Memperkuat negara telah nyata menjadi taktik yang bangkrut.
Saatnya kita menengok diri sendiri. Tidak ada orang korup yang berhak berteriak tentang anti korupsi. Karena itu dengan rendah hati kita harus selalu mengengok ke dalam, tidak boleh ada tempat untuk pelaku kekerasan seksual, orang yang korup, pembela penjahat kemanusiaan dll. Tetapi menjaga integritas tidak cukup. Semua orang tahu ini adalah jalan pedang. Karena itu kita selalu menjadikan LBH-YLBHI sebagai lembaga kader. Artinya siap memimpin dan dipimpin. Kita menjadi pemimpin bukan karena keinginan individual dan menundukkan diri kepada pemimpin yang kita pilih karena sadar kerja bersama selalu lebih baik dari kerja individual. Dalam jalan ini kerja bersama saja belum tentu menang, jadi mengapa kita harus bertengkar dengan sesama.
Pesan terakhir kami, perlakukan selalu kawan berbeda dari lawan. Dan apa yang kami maksud kawan bukan teman kongkow, teman sepermainan, teman sedaerah, teman satu sekolah, tapi teman seperjuangan. Apabila kita sering mengasihani orang yang kita anggap jahat, mengapa teman sendiri layak diperlakukan dengan kejam. Apabila kita memperlakukan teman seperjuangan seperti lawan, sesungguhnya ego kita masih dominan. Padahal dalam jalan ini, sesungguhnya kita, individu-individu mati, melebur, gerakan yang hidup. Karena itulah kita semua hadir…dan saling bertaut.