Pada tanggal 14 September 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan surat keputusan Nomor 2.1447/MENLHK-KSDAE/KKHSG/KSA.2/9/2022 yang ditujukan kepada seluruh Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) agar tidak memberikan pelayanan kepada peneliti asing atas nama sdr Erik Mejaard, Julie Sherman, March Ancrenaz, Hjaimar Kuhi, Serge Wich dalam semua urusan, perizinan/persetujuan terkait dengan kegiatan konservasi dalam kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Adapun alasan pelarangan kepada peneliti tersebut adalah karena ‘perkembangan publikasi nasional dan internasional’ yang mereka tulis tentang satwa, antara lain orangutan, ‘dengan indikasi negatif dan mendiskreditkan pemerintah cq, Kementerian LHK’.
Surat keputusan KLHK tersebut adalah bentuk kebijakan anti-sains yang membatasi kebebasan akademik serta wujud kontrol kekuasaan atas produksi pengetahuan. Praktik semacam ini kerap ditemui dalam negara yang fasistis, totaliter dan anti-demokratik. Jika pemerintah cq KLHK tidak setuju dengan temuan penelitian Meijaard dkk yang menyatakan merosotnya jumlah orangutan, KLHK seharusnya dapat menyanggahnya melalui publikasi ilmiah, bukan melalui pelarangan, sensor, apalagi ancaman. Keengganan KLHK untuk menggunakan tradisi ilmiah dalam menyatakan ketidaksetujuan adalah bentuk sikap anti-sains yang bertentangan dengan narasi yang kerap didengungkan pemerintah mengenai pembuatan kebijakan berbasis riset. Sikap KLHK ini jelas menolak riset sebagai basis pembuatan kebijakan dan hanya bisa menerima hasil penelitian yang sesuai dengan selera, kehendak dan kepentingan pemerintah. Sikap semacam ini yang jelas mempermalukan Indonesia di dalam pergaulan internasional. Bukan kali ini saja, sikap anti-sains pemerintah ini juga telah lama menyertai kecenderungan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang semakin anti-demokrasi.
Sikap anti-sains KLHK ini juga patut disayangkan di tengah banyaknya profesor dan ilmuwan yang menjadi staf ahli dan penasehat senior menteri. Para profesor dan ilmuwan ini juga tidak menunjukkan sikap ilmiah yang tegas dalam merespons (menolak) kebijakan anti-sains pemerintah dan karena itu turut menjustifikasi kontrol kekuasaan (fasisme) dalam produksi pengetahuan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, kami Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menentang segala bentuk kebijakan anti-sains pemerintah karena meniadakan kebebasan akademik
2. Mendesak KLHK untuk mencabut surat keputusan Nomor 2.1447/MENLHK-KSDAE/KKHSG/KSA.2/9/2022 sebagai kebijakan anti-sains
3. Mendesak KLHK untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada publik, khususnya komunitas ilmiah, karena telah menggunakan kekuasaan dalam menyatakan ketidaksetujuan atas hasil penelitian, bukan menggunakan karya akademik
4. Mendesak para ilmuwan yang menjadi tenaga ahli maupun penasehat menteri KLHK untuk bersama KIKA menghentikan segala bentuk sikap anti-sains dan kontrol kekuasaan atas pengetahuan dari KLHK
5. Mendesak para ilmuwan yang menjadi tenaga ahli maupun penasehat menteri KLHK untuk mundur dari posisi di KLHK jika turut mendukung kebijakan anti-sains pemerintah.
6. Mendesak pencabutan gelar Guru Besar Menteri LHK Siti Nurbaya karena tidak sejalan dengan sikap anti-sains yang dituangkannya dalam kebijakan pencekalan peneliti asing
Jakarta, 28 Oktober 2022
Didukung oleh:
Organisasi:
1. Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)
2. Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera
3. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
4. IndoProgress Institute for Social Research and Education (IISRE)
Individu:
1. Herlambang Wiratraman (FH UGM)
2. Abdil Mughis Mudhoffir (Sosiologi UNJ)
3. Satria Unggul Wicaksana (FH Unmuh Surabaya)
4. Dhia al Uyun (FH UB)
5. Herdiansyah Hamzah (FH Unmul)
6. Saiful Mahdi (FMIPA Unsyiah)
7. Riwanto Tirtosudarmo (Peneliti Sosial Independen)
8. Syukron Salam (FH UNNES)
9. Idhamsyah Eka Putra (Universitas Persada)
10. Robertus Robet (Sosiologi UNJ)
11. Asfinawati (STHI Jentera)
12. Muhammad Isnur (YLBHI)
13. Rafiqa Qurrata A’yun (FH UI)
14. Fachrizal Afandi (FH UB)
15. Gita Putri Damayana (STIH Jentera)
16. Bivitri Susanti (STH Jentera)
17. Tristam Pascal Moeliono (FH UNPAR)
18. Dede Mulyanto (Antropologi, Universitas Pandjadjaran)
19. Iqra Anugrah (CSEAS Kyoto)
20. Ilsa. SL Nelwan dr, MPH, Public Health Consultant
21. Fajlurrahman Jurdi (Fak. Hukum Unhas)
22. Feri Amsari (F.Hukum Univ. Andalas)
23. Sri Murlianti (Pembangunan Sosial Unmul)
24. Lilis Mulyani (ALMI)