Sejak disahkannya UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Kementerian Hukum dan HAM sebagai Penyelenggara Bantuan Hukum melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah memberikan akreditasi terhadap 405 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang tersebar di 34 provinsi dan 167 kabupaten/kota pada periode 2015-2018. Dari 405 OBH tersebut terdapat 2.070 advokat dan 2.130 paralegal. Pemerintah mengalokasikan anggaran dari APBN kurang lebih Rp 45 milyar. Adapun jumlah Penerima Bantuan Hukum pada tahun 2017 tercatat hampir 50.000 orang.
Kementerian Hukum dan HAM RI menyadari bahwa anggaran maupun jumlah layanan yang diberikan tersebut masih jauh dari mencukupi untuk dapat memenuhi kebutuhan bantuan hukum di Indonesia. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh HiiL pada tahun 2014, sebanyak 16% penduduk Indonesia mengalami masalah hukum dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Jika data itu diproyeksikan pada penduduk miskin saja, maka setidaknya terdapat 4,5 juta penduduk miskin yang pernah mengalami masalah hukum dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Kesadaran hukum (legal awareness) yang masih rendah membuat sebagian besar (71%) dari mereka yang mengalami masalah hukum tidak melakukan apapun, termasuk bahkan untuk sekedar mencari informasi lebih jauh mengenai masalah yang mereka hadapi. Alasan dari mereka untuk tidak melakukan apapun antara lain bahwa mereka menganggap permasalahannya tidak cukup serius, tidak yakin akan bisa memperoleh hasil yang positif, khawatir akan merusak hubungan dengan pihak lain, atau sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Bantuan hukum dalam artian yang lebih luas, menjadi semakin menemukan relevansinya dalam situasi ini. Bantuan hukum yang bukan hanya berupa pendampingan hukum di pengadilan (legal representation), namun memiliki peran sebagai penyedia informasi hukum, pendidikan, pengetahuan, dan tentunya nasihat hukum, akan dapat memberikan harapan bagi masyarakat, mendorong terjadinya perubahan, memberantas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan.
Di samping memberikan jasa hukum kepada masyarakat menurut UU No. 16 Tahun 2011 bantuan hukum juga bertujuan lebih luas untuk menjamin dan memenuhi akses terhadap keadilan serta memperbaiki sistem peradilan. Saat ini implementasi UU Bantuan Hukum masih sangat terbatas pada pemberian jasa hukum kepada masyarakat miskin. Dua tujuan yang lebih besar di atas mensyaratkan pula adanya peningkatan kualitas pemberi bantuan hukum, baik secara organisasional maupun secara personal.
Skema program bantuan hukum nasional saat ini hanya mengalokasikan dana sampai dengan Rp 8 juta untuk setiap kasus/kegiatan bantuan hukum yang dijalankan oleh OBH. Bagi OBH, dana sebesar itu dianggap masih belum mencukupi untuk kebutuhan pendampingan hukum per kasus, apalagi ketika kasus tersebut mencapai tahap banding hingga Kasasi atau Peninjauan kembali.3 Dengan demikian kebutuhan biaya untuk operasional OBH maupun penambahan jumlah advokat dan paralegal tidak akan bisa terpenuhi dari alokasi dana bantuan hukum tersebut.
UU Bantuan Hukum saat ini hanya memberikan bantuan hukum kepada kelompok masyarakat miskin yang dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Miskin dan sejenisnya (sesuai Pasal 14 ayat (1) butir c UU 16/2011 tentang Bantuan Hukum). Sedangkan di sisi lain, ada kebutuhan bantuan hukum juga dari kelompok-kelompok rentan seperti anak, perempuan, masyarakat adat dan penyandang disabilitas terlepas dari kondisi ekonomi mereka.4 Dalam Pasal 17 dan 18 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak yang dirampas kebebasannya atau menjadi korban ataupun pelaku tindak pidana, berhak mendapatkan bantuan hukum. Hal ini diperkuat lagi dalam Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan: “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Hak atas bantuan hukum bagi penyandang disabilitas secara tegas diatur dalam Pasal 29 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan secara spesifik mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyediakan bantuan hukum kepada Penyandang Disabilitas dalam setiap pemeriksaan pada setiap lembaga penegak hukum dalam hal keperdataan dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kebutuhan akan peningkatan kuantitas dan kualitas layanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang cukup besar di satu sisi, dan berbagai keterbatasan yang dimiliki pemerintah pusat dalam memberikan layanan bantuan hukum, mengharuskan adanya peran serta pemerintah daerah dalam pelayanan bantuan hukum. Peran pemerintah daerah ini terutama menyangkut penyelenggaraan dan penganggaran bantuan hukum sehingga lebih memperluas jangkauan bantuan hukum. Kesadaran pemerintah daerah untuk turut serta dalam memenuhi hak konstitusional warga negara dalam memperoleh bantuan hukum sudah ada setidaknya di 16 provinsi dan 61 kabupaten/kota melalui pembentukan Perda Bantuan Hukum. Pada umumnya, Perda-Perda ini masih sepenuhnya mengacu pada mekanisme bantuan hukum yang diatur UU bantuan Hukum, dan belum menjangkau kebutuhan-kebutuhan yang lebih luas dalam meningkatkan kapasitas dan kualitas layanan bantuan hukum. Di sisi lain, banyak muncul keragu-raguan dan kebingungan di pemerintah daerah ketika hendak membentuk maupun mengimplementasikan Perda Bantuan Hukum. Salah satu isu fundamental yang sempat muncul adalah persepsi bahwa bantuan hukum merupakan kewenangan pusat, merujuk pada Pasal 10 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pasal ini manyatakan bahwa urusan yustisi merupakan urusan pemerintahan absolut, artinya urusan yustisi merupakan kewenangan pemerintah pusat dan sama sekali bukan kewenangan daerah. Dalam bagian Penjelasan UU Nomor 23 tahun 2014 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “urusan yustisi” misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional.
Undang-undang Nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum mengamanatkan kewenangan penganggaran bantuan hukum oleh Daerah di Pasal 19 ayat (1) yakni Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah. Sedangkan Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah. Karena yang diatur hanyalah pengalokasian anggaran, maka Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum oleh Daerah tunduk pada rejim Peraturan Pelaksana dari UU 16/2011.
Ada keraguan dari Pemerintah Daerah mengenai apakah Anggaran Bantuan Hukum merupakan Hibah atau Bantuan Sosial. Hal itu sudah terjawab dengan adanya pengaturan anggaran bantuan hukum dalam Permendagri Nomor 31 Tahun 2016 dan Permendagri Nomor 33 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. Dengan adanya aturan ini, semestinya tidak perlu ada lagi keraguan mengenai kewenangan pemerintah daerah dalam pelayanan bantuan hukum.
Di beberapa daerah yang sudah memiliki Perda Bantuan Hukum juga muncul kendala di tingkat implementasi, yang pada dasarnya disebabkan oleh kekawatiran dalam pengelolaan dan penyaluran anggaran bantuan hukum. Regulasi bantuan hukum tersebut terhenti hanya di tingkat Perda, dan tidak diikuti dengan aturan yang lebih teknis dalam bentuk peraturan/ keputusan kepala daerah. Menurut mereka perlu ada petunjuk teknis di tingkat nasional bagi penganggaran bantun hukum di daerah untuk dapat dimasukkan dalam Permendagri tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.
Dengan dasar itulah PANDUAN PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM DI DAERAH ini disusun melalui kerja sama antara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Yayasan Tifa. Dengan adanya Panduan ini diharapkan adanya dapat memperluas dan meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan bantuan hukum, menjadi referensi bagi pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan bantuan hukum di tingkat nasional, serta mendorong terbentuknya Perda bantuan hukum yang mencakup peningkatan kapasitas dan kualitas layanan bantuan hukum di daerah.
Jakarta, 21 Nopember 2018
Prof. DR. H. R. Benny Riyanto, S.H., M.Hum
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional