2 Tahun Pemerintahan Kedua Presiden Joko Widodo: Rakyat Dikorbankan, Demokrasi Diabaikan

Cover

Oktober 2021 genap 2 tahun Pemerintahan Jokowi periode II dan lebih tepatnya 7 tahun Pemerintahan Jokowi. Selama 7 tahun ini konsolidasi politik Pemerintah semakin kuat ditandai salah satunya dengan bergabungnya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi. Selain itu oposisi di DPR terlihat semakin lemah untuk menjalankan checks and balances, berbagai UU inisiatif Presiden dengan disahkan dalam waktu singkat seperti UU Minerba hanya sekitar sebulan, Omnibus Law Cipta Kerja hanya sekitar 8 bulan padahal mengubah 72 UU, 1 UU disisipkan dan 2 UU dicabut, Revisi UU MK dalam 7 hari dan Revisi UU KPK dalam waktu 12 hari saja.

Secara umum, kasus dan kebijakan yang terjadi pada masa 7 tahun Pemerintahan Jokowi ini dapat dilihat menjadi beberapa gejala umum. 

  1. Kebebasan Sipil Semakin Menyempit

Pemerintahan Jokowi membuat demonstrasi menjadi hal yang terlarang padahal pasca Reformasi UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum adalah salah satu UU yang segera dibentuk untuk membedakan masa otoritarian dengan demokrasi. Hal ini terlihat dari aksi May Day/Hari Buruh Internasional setiap tanggal 1 Mei. Dalam masa Pemerintahan Jokowi setidaknya hanya dua kali aksi ini dapat dilakukan di depan istana. Seperti aksi-aksi lainnya, demonstrasi hanya diperbolehkan sampai patung kuda. Berbagai kekerasan menimpa demonstrasi di berbagai kota. Beberapa diantaranya aksi PP Pengupahan 78/2015, May Day 2019 dengan stigmatisasi anarko, aksi Reformasi Dikorupsi tahun 2019, aksi-aksi penolakan Omnibus Law tahun 2020 dan aksi May Day serta Hari Pendidikan tahun 2021. Tidak hanya pembubaran tidak sah tetapi juga kekerasan serta kriminalisasi kepada peserta aksi damai. Hal ini diikuti dengan stigmatisasi peserta aksi sebagai perusuh untuk menjustifikasi tindakan-tindakan sewenang-wenang tersebut.

Salah satu instrumen penyempitan ruang kebebasan sipil adalah kriminalisasi dengan korban paling banyak kriminalisasi kebebasan berpendapat. UU ITE dan perluasan siar kebencian/hate speech yang tidak sesuai dengan Pasal 20 (2) Kovenan Hak Sipil menjadi hal utama penyumbang kriminalisasi kebebasan berpendapat ini. Tahun 2020 LBH-YLBHI menangani 43 kasus kriminalisasi dengan jumlah korban 151 orang. Jumlah korban terbanyak adalah petani/nelayan sejumlah 71 orang, diikuti aktivis/mahasiswa/pelajar sebanyak 50 orang.

  • Perampasan ruang hidup rakyat melalui UU, kebijakan dan pembiaran praktik-praktik menyimpang
  • UU Omnibus Law, UU Minerba

Kedua paket Undang-undang ini mendapat penolakan keras dari masyarakat sipil karena mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat dan lingkungan hidup dan sebaliknya memberikan keistimewaan kepada para pemilik modal yang juga berkuasa. Namun, penolakan rakyat ini dianggap angin lalu sehingga kedua UU ini disahkan dan sudah memakan korban.

Lebih dari 50 Peraturan Pemerintah pelaksana “UU Cilaka” telah diterbitkan, belum lagi peraturan pelaksana di level Kementerian. Peraturan-peraturan itu menajamkan semangat “UU Cilaka” memberikan karpet merah bagi investasi, mengabaikan pertimbangan-pertimbangan lingkungan,memberikan kemudahan bagi pelepasan kawasan hutan, wilayah adat dan lahan-lahan pertanian produktif hingga melegalkan kejahatan lingkungan. Seperti dihilangkannya Faba Batubara dalam daftar limbah B3 melalui PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup  

  • Ditutupnya data HGU 

Ketertutupan data Hak Guna Usaha (HGU) sudah terjadi selama bertahun-tahun dan meskipun masyarakat sipil memenangkan gugatan di pengadilan menuntut dibukanya data HGU, tetapi pemerintah tetap pada keputusannya tidak membuka data HGU dengan berbagai alasan. Tertutupnya data HGU ini membuat penyelesaian konflik agraria semakin terkatung-katung tanpa kejelasan.

  • Pembiaran dan Semakin Masifnya Perampasan Tanah

Salah satu tuntutan masyarakat untuk terciptanya keadilan di bidang agraria adalah penyelesaian konflik agraria melalui peninjauan ulang dan pembatalan berbagai perizinan yang dikeluarkan pemerintah kepada para pengusaha perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan proyek-proyek infrastruktur. Tetapi pemerintah tidak memiliki komitmen untuk melakukannya, dan sebaliknya justru memperpanjang izin-izin tersebut. Pada sisi lain, pemerintah justru memfasilitasi maupun melakukan perampasan tanah dan hak-hak rakyat atas sumber daya alam dengan dikejarnya proyek-proyek infrastruktur dan penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) termasuk di dalamnya pembangunan food estate. Kasus-kasus terkait PSN sudah bermunculan di antaranya kasus Wadas di Purworejo.

Pemerintah juga gagal melindungi hak-hak masyarakat adat. Kegagalan pengesahan RUU Masyarakat Adat ternyata diimbangi juga dengan kegagalan pemerintah melindungi hak-hak masyarakat adat, bahkan mengakibatkan kematian anggota masyarakat adat, seperti yang terjadi baru-baru ini di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara. Seorang warga meninggal dunia akibat konflik pertambangan dengan sebuah perusahaan. 

Pemerintah juga gagal mempertahankan dan melindungi hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bahkan, masyarakat yang mencoba membela hak-haknya atas lingkungan hidup dikriminalkan, sebagaimana yang sedang terjadi dalam kasus PT. Pajitex di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, dimana dua orang warga dikriminalkan saat sedang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup.

Pemerintah juga tidak memberikan pemulihan lingkungan hidup terhadap masyarakat yang wilayahnya terdampak pertambangan, yang lingkungannya rusak dengan lubang-lubang menganga paska beroperasinya pertambang. Anak-anak yang meninggal di lubang tambang pun tidak mendapat perhatian, para pengusaha melenggang santai tanpa jerat hukum.

Sampai sekarang, Presiden juga tidak kunjung mengeluarkan perpanjangan Perpres tentang Moratorium Sawit yang sudah berakhir September 2021, sementara pembabatan hutan untuk sawit terus berlangsung direstui pemerintah. 

  • Impunitas Pelanggaran HAM yang Berat.

Meskipun penuntasan pelanggaran HAM yang berat menjadi janji Jokowi sejak menjadi kampanye periode pertama Presiden, hingga 7 tahun pemerintahan janji ini tak kunjung terjadi. Masalah utama adalah pola menetap yaitu Kejaksaan Agung mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM. Padahal menurut UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Kejaksaan adalah penyidik yang tugasnya menurut KUHAP “…mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Komnas HAM sendiri adalah penyelidik yang tugasnya sebatas “…mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan”. Proses hukum pelanggaran HAM yang berat telah menjadi impunitas itu sendiri. Jaksa Agung dipilih oleh Presiden dan dalam sistem pemerintahan Presidensil menjadi wakil dan wajah Presiden dalam menjalankan penuntutan. Oleh karena itu ketidakmauan Jaksa Agung dalam melakukan penyidikan pelanggaran HAM yang berat menjadi tanggung jawab Presiden.

Selain itu Presiden tidak berusaha menjalankan Putusan MK untuk membuat kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Perlakuan yang sangat berbeda ketika Presiden mengajukan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai inisiatif Presiden.

  • Kegagalan Menjadikan Polisi sebagai Pintu Akses Keadilan Alih-alih Kepolisian Tampil sebagai Penegak Hukum yang Arogan,  Anti Kritik dan “Bumper Kekuasaan”. 
    • Diskriminasi Penegakan Hukum 

Kepolisian selama masa pemerintahan Jokowi menjadi salah satu institusi paling banyak disorot karena kecenderungannya sebagai “bumper” kekuasaan untuk membungkam kritik dengan melakukan penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi dan pembungkaman. Hal ini dilakukan terhadap mereka yang dianggap oposisi atau melakukan kritik kepada Pemerintah, pers dan bahkan pembela/lembaga bantuan hukum. Pada tahun 2019 LBH-YLBHI menangani 1.144 orang dengan pengaduan penangkapan  secara sewenang-wenang. Tahun 2020 penanganan kasus penangkapan sewenang-wenang meningkat menjadi 3.539 orang.

Diskriminasi penegakan hukum ini juga terlihat dalam kasus-kasus UU ITE. Laporan-laporan peretasan oleh individu dan lembaga pers tidak berjalan. Peretasan yang bukan merupakan delik aduan juga tidak ditangani oleh Kepolisian meskipun telah tersiar luas. Sangat kontras dengan kasus mereka yang kritis, Ravio Patra misalnya yang ditangkap dengan dasar Laporan Tipe A yaitu dibuat Polisi sendiri. 

Terhadap pers diantaranya dengan pola memberikan cap hoax pada sejumlah berita pers seperti pada project Multatuli yang mengangkat pemberitaan #percumalapor polisi dalam kasus kekerasan seksual yang kasusnya mandeg. Atau membuat laporan sendiri pada kasus Ravio Patra dan LBH Padang. LBH Padang dipanggil untuk penyidikan besar dugaannya terkait karikatur berseragam Polisi dengan kepala tikus yang pada dasarnya mempertanyakan mandegnya proses hukum dugaan korupsi dana covid di Padang. Beberapa akun kepolisian bahkan tercatat menangkal beberapa kritik kepada Kepolisian. Kepolisian yang langsung berada di bawah Presiden tanpa adanya Kementerian diantaranya telah bertumbuh menjadi lembaga anti kritik. 

  1. Kekerasan Polisi

Kekerasan terhadap peserta aksi mencuat sejak demonstrasi PP 78/2015 tentang Pengupahan, May Day 2019, Reformasi Dikorupsi 2019, penolakan Omnibus Law Cipta Kerja dan aksi-aksi serupa pada tahun 2021. Kekerasan ini pada umumnya terjadi saat menangkap demonstran atau terhadap demonstran yang telah ditangkap, juga terhadap warga masyarakat dalam kasus-kasus lain. Kasus penyiksaan terhadap tersangka juga terus terjadi. Pada tahun 2020 LBH-YLBHI mencatat adanya 38 kasus penyiksaan dengan jumlah korban 474 orang.

  1. Penundaan Berlarut dan Kegagalan Memberikan Korban Akses Keadilan

Tahun 2020 LBH-YLBHI mencatat 49 kasus penundaan berlarut dengan korban 944 orang. Didalamnya termasuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual. Baru-baru ini terjadi perempuan yang hendak menjadi korban kekerasan ditolak melapor di Polresta Banda Aceh dengan alasan belum divaksin. Di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Polisi juga menolak laporan seorang ibu yang tiga orang anaknya mengalami kekerasan seksual dari mantan suaminya yang merupakan ASN. Bahkan pelapor justru dilaporkan balik ke Polda Sulsel. Penundaan berlarut ini juga banyak terkait  laporan petani, nelayan dan masyarakat adat tentang korporasi baik tentang perampasan lahan maupun hal-hal lain. 

  • Hambatan Memberikan Bantuan Hukum

Tahun 2015-2021 tercatat 18 Pembela dari LBH-YLBHI ditangkap karena menjalankan fungsi pemberi bantuan hukum. Penangkapan ini terkait isu Papua, konflik agraria baik penggusuran maupun pencemaran, Cicak – Buaya/Pelemahan KPK, Aksi Kamisan dan aksi Myanmar. Dari tahun 2015-2021 juga terdapat 5 orang pembela dari LBH-YLBHI dikriminalisasi oleh Kepolisian karena menjalankan tugasnya sebagai penerima kuasa. Setidaknya sejak tahun 2019 penghalang-halangan bantuan hukum terjadi di berbagai Polda untuk mendampingi massa aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang. Tahun 2020 LBH-YLBHI mencatat 1.265 orang dihalang-halangi untuk mendapatkan bantuan hukum dan data ini hanya yang ditangani serta hanya di 17 Provinsi. 

  • Dwi Fungsi Aparat Pertahanan – Keamanan dan Militerisme

TAP MPR VI/2000 sudah mengatakan “peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan tejadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat”. Saat ini kita melihat TNI dan Kepolisian dilibatkan di luar fungsinya untuk berbagai hal termasuk penanganan COVID-19 misal menjadi garda depan vaksinasi (bukan hanya peran memberi dukungan) dan produksi obat COVID-19 oleh TNI AD. Selain itu TNI saat ini dapat terlibat langsung dalam penanganan terorisme dan bukan sebagai perbantuan aparat keamanan. Selain melanggar pakem TNI sebagai penjaga pertahanan dan Kepolisian sebagai penjaga keamanan, akuntabilitas terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum belum tuntas direformasi. Meskipun UU 34/2004 memandatkan TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum dan peradilan militer hanya untuk TNI yang melakukan tindak pidana militer, pada kenyataannya Pemerintah dan DPR tidak melakukan perubahan terhadap UU Pengadilan Militer. Oleh karena itu apabila terdapat pelanggaran hukum oleh anggota TNI dalam menjalankan kerja keamanan, penanganan COVID-19 dll akan mengalami masalah akuntabiltas dalam penegakan hukumnya. Selain itu kebijakan Pemerintahan Jokowi yang menerjunkan pasukan tanpa keputusan negara ataupun meminta persetujuan DPR merupakan operasi militer ilegal. Pada kenyataannya kebijakan ini telah melahirkan berbagai pelanggaran HAM mulai salah tangkap, pembunuhan di luar proses hukum dan pengungsi internal.

  • Perlindungan Kelompok Minoritas yang Tidak Sampai & Menjadi Gimmick Politik 

Meskipun Pemerintah saat ini banyak melakukan kampanye kebhinekaan seperti Saya Indonesia, Saya Pancasila pada kenyataannya nasib kelompok minoritas keagamaan tidak banyak berubah. Pengungsi Ahmadiyah belum dapat kembali begitu pula beberapa minoritas keagamaan yang tidak dapat membangun rumah ibadah dan beribadah. Kepolisian tercatat masih melakukan pembiaran terhadap serang kepada kelompok minoritas serta tidak melakukan perlindungan yang memadai. Bahkan Omnibus Law Cipta Kerja yang merupakan UU inisiatif Presiden memiliki beberapa pasal bermasalah dalam soal kebebasan beragama berkeyakinan. Salah satunya adalah mengembalikan konsep “agama yang diakui” padahal dua putusan MK terkait PNPS 1/1965 dan hak Penghayat dalam administrasi kependudukan telah menegaskan tidak benar hanya ada 6 agama yang diakui di Indonesia dan semua agama serta keyakinan memiliki hak yang sama.    

  • Pelemahan KPK

Salah satu “keberhasilan utama” Pemerintahan Jokowi adalah melemahkan KPK. Dalam sistem Presidensial tidak mungkin ada UU yang dapat terjadi apabila Presiden tidak mengirim Surpres/Surat Presiden dan/atau menyetujui isi RUU dalam Pembahasan Tingkat I dan Tingkat II. Dewan Pengawas telah membuat independensi KPK terganggu baik dalam masalah penyitaan barang bukti yang bocor dan penggeledahan terlambat maupun dalam masalah pemeriksaan etik internal.  

Penuntasan pelemahan KPK adalah Tes Wawasan Kebangsaan. Agenda ini berhasil dengan operator lapangan Ketua KPK, Firli Bahuri, hasil dari Pansel bermasalah bentukan Presiden Jokowi dengan Keppres 54/P Tahun 2019. Presiden juga menerima tanpa keberatan hasil dari pansel dan mengirimkan seluruh nama termasuk calon yang bermasalah kepada DPR. Lebih dari itu TWK adalah Litsus model baru yang menilai dan memutuskan ideologi seseorang bahkan tanpa melalui proses pengadilan.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *