Hari Bhakti Adhyaksa 59 : Kejaksaan Belum Profesional dan Menegakkan Hak Asasi Manusia

HAri Adhyaksa 59

Siaran Pers YLBHI
No. 106/ SK/Pgrs-YLBHI/VII/2019

HARI BHAKTI ADHYAKSA 59:
KEJAKSAAN BELUM PROFESIONAL DAN MENEGAKKAN HAK ASASI MANUSIA

 22 Juli 2019 adalah Hari Bakti Adhyaksa (hari lahirnya Kejaksaan RI) ke-59. Kejaksaan RI memiliki visi “Menjadi Lembaga Penegak Hukum yang profesional, proporsional, dan akuntabel. Berkaitan dengan hari Kejaksaan ini dan memperhatikan visi Kejaksaan RI, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) beserta 15 kantor LBH menemukan 20 fakta (terlampir) bahwa lembaga ini belum akuntabel, proporsional, dan profesional dan belum mengedepankan demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam tugas penuntutan. YLBHI menemukan setidaknya 7 (tujuh) catatan penting mengenai Kejaksaan RI sebagai berikut:

1. Kejaksaan belum profesional dan tidak memegang prinsip fair trial dalam menjalankan tugas sebagai penuntut

Penuntut Umum dalam sistem peradilan pidana mestinya menjadi pengendali perkara (dominus litis). Maka, sudah seharusnya Penyidikan Perkara oleh penyidik (termasuk di Kepolisian) harus berada dalam pengawasan dan pengendalian penuh oleh Jaksa Penuntut Umum, karena semua pembuktian dan penuntutan di Pengadilan oleh Kejaksaan.  Meskipun sistem peradilan pidana Indonesia masih secara terbatas menganutnya, tetapi Penuntut Umum juga tidak menggunakan wewenang terbatas tersebut, misalnya tetap mengembalikan berkas perkara yang tidak cukup bukti kepada Kepolisian atau tidak melanjutkan penuntutan sesuai pasal 144 KUHAP.

2. Kejaksaan Menjalankan Fungsi Yang Diskriminatif dan Melanggar HAM

Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI pada Pasal 30 ayat 3 huruf d tentang Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara (terwujud melalui Bakor Pakem) menjadi sumber diskriminasi bagi kelompok minoritas keagamaan. Wewenang ini juga diperluas dengan melibatkan aktor non-negara seperti lembaga keagamaan sehingga makin tidak akuntabel;

3. Kejaksaan menjalankan fungsi yang merusak demokrasi dan melanggar HAM

Salah satu fungsi Kejaksaan adalah mengawasi ideologi di masyarakat atas nama ketenteraman dan ketertiban umum. Kebebasan berpikir dan menganut suatu pandangan politik adalah hal yang dijamin oleh Konstitusi, UU HAM, dan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah menjadi hukum Indonesia berdasarkan UU 12/2005;

4. Kejaksaan Agung menghambat penuntasan pelanggaran HAM yang berat & menjadi alat impunitas

Menurut UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan adalah penyidik perkara pelanggaran HAM yang berat dan Komnas HAM adalah penyelidik. Tugas penyidik menurut KUHAP adalah “mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Faktanya, Kejaksaan Agung selalu mengembalikan berkas perkara dengan alasan kurangnya bukti padahal yang harus mencari bukti adalah Kejaksaan Agung sendiri;

5. Kejaksaan berpotensi menghalangi pengungkapan korupsi

Kejaksaan Agung membentuk Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) yang diperkuat dengan Peraturan Jaksa Agung No. Per-014/A/JA/11/2016 tentang mekanisme kerja teknis dan administrasi. Pada prakteknya tim ini berpotensi menghalangi pengungkapan korupsi yang terjadi pada proyek yang dikawal dan bahkan peluang korupsi itu sendiri;

6. Penuntut Umum tidak mandiri dan independen

Sistem rencana penuntutan (Rentut) berjenjang dimana yang berwenang menentukan tuntutan bukanlah Penuntut Umum yang bersidang dan lebih mengetahui fakta persidangan tetapi pimpinan Kejaksaan baik Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Agung. Hal ini berpotensi memunculkan tekanan pimpinan terhadap Penuntut Umum dan membuka ruang korupsi baik gratifikasi, perdagangan pengaruh (trading influence) maupun penyuapan dan pemerasan;

7. Kejaksaan belum memiliki keterbukaan informasi

Akses informasi di Kejaksaan relatif tertutup sehingga publik sulit untuk mengakses informasi termasuk surat-surat edaran Kejaksaan yang ikut menentukan nasib masyarakat.

 

Jakarta, 21 Juli 2019

 

YLBHI-LBH

(LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Padang, LBH Pekanbaru, LBH Palembang, LBH Bandar Lampung, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Makassar, LBH Manado, LBH Papua)

 

 

C.p

Asfinawati 0812 8218930

Era 0812 10322745

 

 

 

Lampiran: 20 temuan tentang kinerja jaksa sebagai Penuntut Umum

 

  1. Tidak menggunakan kewenangan sebagai pengendali perkara (dominus litis) untuk menghentikan perkara kriminalisasi hak yang masuk dari penyidik. Penuntut malah mengikuti irama penyidik akhirnya kasusnya dipaksakan masuk pengadilan.
  2. Tetap melakukan penuntutan ke pengadilan perkara-perkara pidana yang bukti-buktinya patut diduga diperoleh penyidik melalui penyiksaan.
  3. Sebagai eksekutor putusan enggan melakukan eksekusi dan menunda mengeluarkan tahanan. Akibatnya tahanan ataupun terpidana kelebihan masa tahanan/pemenjaraan (overstay) di rutan maupun lembaga pemasyarakatan.
  4. Sering mengeluarkan surat penetapan penahanan kepada tersangka ketika pelimpahan tahap 2 tanpa alasan yang jelas padahal tersangka koperatif dan sejak penyidikan tidak ditahan.
  5. Tidak memberikan surat perpanjangan penahanan kepada terdakwa
  6. Sering tidak bertanggungjawab dengan perkara yang dipegangnya yaitu saat sidang bukan jaksa yang bersangkutan yang ada di tempat duduk sehingga memperlambat jalannya persidangan.
  7. Lupa membawa tersangka dan barang bukti di persidangan sehingga meyulitkan pembuktian.
  8. Hanya menerima tersangka saat pelimpahan (P22) tetapi berkas tidak diterima.
  9. Salah eksekusi barang bukti. Misal putusan memerintahkan barang bukti dikembalikan ke korban tetapi malah dikembalikan ke terdakwa.
  10. Dalam bersidang di pengadilan seringkali tidak memakai seragam lengkap misal memakai sandal, tidak memakai dasi toga sidang sehingga mempengaruhi kewibawaan pengadilan.
  11. Meminta terdakwa memutuskan kuasa dengan LBH/pengacara.
  12. Meminta uang kepada terdakwa dengan memberikan janji, salah satunya tuntutan ringan.
  13. Tidak menginformasikan kepada terdakwa dan penasehat hukumnya tentang agenda sidang pertama meskipun tahu bahwa terdakwa memiliki kuasa hukum.
  14. Sering berupaya mengulur waktu untuk menghadirkan saksi dan korban kemudian meminta kepada majelis hakim cukup membacakan BAP saksi korban. Hal ini bertujuan untuk menghindari terbuktinya kelemahan surat dakwaan penuntut umum dan pemeriksaan silang terhadap saksi.
  15. Ketidakpastian hukum dan undue delay karena bolak balik perkara. Pada fase penuntutan, terdapat Peraturan Jaksa Agung Nomor PER – 036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum yang menyatakan proses bolak-balik berkas dari penyidik kepada penuntut hanya dapat terjadi selama dua kali. Dalam praktik, surat edaran ini tidak diberlakukan. Banyak sekali kasus dimana proses bolak balik berkas dari penyidik kepada penuntut terjadi hingga beberapa kali, sehingga merugikan korban;
  16. Dalam kasus-kasus biasa misal kasus pidana umum dan tidak menarik perhatian, kasus-kasus kriminalisasi dan kasus-kasus masyarakat miskin dituntut tinggi, salah satu faktonya karena tuntutan ditentukan oleh pimpinan kejaksaan bukan jaksa yang menangani perkara yang lebih mengetahui fakta-fakta di persidangan;
  17. Penuntut umum banding atas perkara kriminalisasi dan menyangkut masyarakat miskin karena merasa ada kewajiban untuk banding. Meski fakta-fakta persidangan menunjukkan dakwaan lemah misal karena adanya alasan penghapus tindak pidana misal dalam kasus-kasus masyarakat adat, tetapi tetap banding karena merasa ada kewajiban. Padahal kewajiban banding ketika putusan hakim kurang dari 2/3 tuntutan yang ada dalam SE Kejaksaan Agung No. SE-013/A/JA/12/2011 sudah direvisi oleh Surat Kejaksaan Agung No. B-3841/E/Ejp/12/2012 yang mengatakan revisi surat edaran sebelumnya mengacu antara lain pada kearifan lokal, restorative jusctice dan diversi.
  18. Kasasi atas putusan bebas. Meskipun pasal 224 KUHAP mengatakan terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi tetapi penuntut umum tetap melakukannya. Tentu ini melanggar hak terdakwa selain mengganggu kepastian hukum.
  19. Tidak memberikan berkas perkara secara suka rela. Meskipun berkas perkara sangat dibutuhkan oleh terdakwa dan/atau kuasanya untuk pembelaan diri, masih banyak ditemui berkas baru diberikan setelah kuasa hukum meminta di depan hakim.
  20. Praktik yang mendiskriminasi masyarakat adat. Meskipun Surat Edaran Kejaksaan Agung B-230/E/Ejp/01/2013 pada intinya meminta penuntut umum tidak gegabah menuntut orang dalam perkara yang menyangkut tanah karena mungkin merupakan perkara perdata, pada praktiknya masyarakat harus membuktikan kepemilikan dengan sertifikat. Padahal sebagian besar tanah-tanah adat tidak mengenal sertifikat tanah sebagai pembuktian hak.

UNDUH RILIS

 

 

 

 

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *