Hentikan Kebijakan Represif di Tengah Kesulitan Masyarakat Akibat Covid-19

Pada 5 April 2020, YLBHI mendapatkan berita di berbagai media tentang POLRI mengeluarkan aturan khusus tangani hoaks dan penghinaan Presiden, dimana berita-berita tersebut nampaknya merujuk pada Surat Telegram Kapolri Nomor 1100 tentang Siber tanggal 4 April 2020 yang ditandatangani oleh Kabareskrim. Surat telegram tersebut bersamaan juga dengan dikeluarkannya Surat Telegram KAPOLRI Nomor 1098 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Surat Telegram KAPOLRI Nomor 1099 tentang Bahan Pokok.

YLBHI mencatat, aturan ini berpotensi melanggar due process of law, mendorong semakin banyaknya penangkapan terhadap masyarakat yang kritis, dan berpotensi melanggar lebih lanjut hak atas kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi.

Surat Telegram tersebut memang ditujukan untuk internal kepolisian, tetapi dampaknya justru akan berlaku bagi masyarakat luas. Penjelasan pasal-pasal yang ada tanpa disertai penjelasan yang memadai berdasarkan hukum dan putusan pengadilan yang berkembang berpotensi kuat menjadi penyalahgunaan dalam penerapannya.

Kebijakan mengedepankan pemidanaan justru kontraproduktif dengan kebijakan Presiden Joko Widodo yang telah melepaskan 30.000 lebih narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Aturan mengenai Penghinaan Presiden juga sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan diubah jadi delik aduan, dimana jika Presiden Joko Widodo tersinggung atau merasa dihina bisa mengadukan secara pribadi ke kepolisian. Menggunakan pasal ini secara serampangan berarti menghidupkan kembali semangat kolonialisme yang sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.

Lebih lanjut, YLBHI memberikan catatan untuk beberapa hal:
1. Dalam Surat Telegram 1098 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar tanggal 4 April 2020, YLBHI mencatat Pengaturan Menolak atau melawan petugas yang berwenang sebagaimana pasal 212 s/d 218 KUHP berpotensi menjadi alat untuk penangkapan sewenang-wenang dalam perintah social distancing sesuai dengan PSBB. YLBHI juga khawatir pengenaan Pasal ini menjadi tindakan penggunaan hukum pidana yang berlebihan atau over-criminalization.

Sebagai contoh, pengenaan Pasal 212 KUHP bagi yang melanggar PSBB adalah TIDAK TEPAT. Pasal ini lebih tepat dikenakan kepada mereka yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan kepada seorang pegawai negeri yang melakukan pekerjaannya yang sah atau melawan kepada orang yang waktu membantu pegawai negeri itu karena kewajibannya menurut Undang-undang atau karena permintaan pegawai negeri itu sendiri, dihukum karena perlawanan. R. Soesilo memberikan catatan Pasal 212 KUHP ini sebagai ketentuan yang diterapkan dalam kondisi seseorang yang melawan petugas kepolisian yang akan menangkap dirinya. Bukan melawan tidak mengindahkan himbauan untuk menjalan PSBB.

2. Mengenai kebijakan PSBB, per tanggal 7 April baru ditetapkan di wilayah DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar di Wilayah DKI Jakarta dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID 19).

3. PSBB sendiri tidak memiliki sanksi pidana menurut UU 6/2018. Meskipun Pasal 93 UU Kekarantinaan Kemasyarakatan dicantumkan, tapi TIDAK TEPAT dikenakan bagi mereka yang tidak mematuhi himbauan soal PSBB. Dalam Pasal 93 jelas disebutkan adanya dampak yang harus muncul dari sebuah tindakan yaitu “sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”.

4. YLBHI mencatat bahwa STR tersebut juga menggunakan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dari UU 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Padahal kita ketahui bahwa Penetapan Status Darurat Kesehatan Masyarakat dan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah berdasarkan UU 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Masyarakat dan sama sekali tidak merujuk UU 4 Tahun 1984.

5. YLBHI memandang penggunaan ancaman pada UU 4 Tahun 1984 TIDAK TEPAT dan berpotensi menjadi peluang menyalahgunakan wewenang karena di luar status Darurat Kesehatan Masyarakat dan diluar Status PSBB dalam UU 6 Tahun 2018.

6. Surat Telegram 1100 tentang Siber tanggal 4 April 2020

Menyebarkan hoax terkait Covid dan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran wabah Covid sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan/atau 15 UU No. 1/1946.

Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 masih menjadi kontroversi dalam pelaksanaannya, sebagaimana disampaikan oleh ahli hukum pidana, Andi Hamzah. Andi Hamzah menyatakan bahwa pasal ini bermasalah karena Pemerintah melalui UU 73/1958 tentang pemberlakukan UU 1/1946 di seluruh wilayah RI dan Perubahan KUHP, tidak mengintegrasikan pasal 14 dan 15 ke dalam KUHP. Andi menambahkan pasal tersebut juga tidak ditambahkan kedalam UU 73/1958.

Hal ini bermula saat ada dua KUHP yang berlaku di Indonesia, yakni KUHP 1 Maret 1942 dan UU 1 Tahun 1946. Dan di tahun 1958, dikeluarkan aturan bahwa yang berlaku adalah KUHP tahun 1946, tapi tidak disebut pasal 14 dan pasal 15 secara gamblang dan cacat karena tidak tegas. Pasal ini juga pasal materiil, yakni mensyaratkan adanya keonaran di masyarakat baru delik pidana ini dapat dikenakan kepada pelaku.

7. Penghinaan kepada Penguasa/Presiden dan Pejabat Pemerintahan yang dimaksud Pasal 207 KUHP.

Pasal ini tepatnya penghinaan terhadap penguasa bukan presiden, karena KUHP sudah mengatur tersendiri bagi penghinaan terhadap presiden di dalam Pasal 134 KUHP yang telah dibatalkan dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.

Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan jika Presiden secara pribadi merasa dihina dapat menggunakan Pasal 310- 321 KUHP yang merupakan delik aduan, atau dalam arti Presiden sendiri yang harus mengadukan.

Mahkamah Konstitusi juga dalam putusannya menjelaskan bahwa Pasal 207 KUHP hanya dapat dilakukan atas dasar pengaduan langsung oleh orang yang merasa terhina.

Selain itu, menetapkan perubahan yakni hanya pada martabat pejabat umum/penguasa dan bukan lagi martabat institusi (content for personal and not content of institutional). Sehingga saat mengkritik kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi (Presiden, Gubernur ataupun Bupati), hal tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai tindak penghinaan sebagaimana dimaksud pasal 207 KUHP.

Berdasarkan hal-hal di atas YLBHI menyatakan:
1. Pemerintah perlu mengedepankan pendekatan persuasif dan kemanusiaan di tengah situasi serba sulit akibat Covid-19;
2. Situasi krisis justru membutuhkan suara kritis agar Penguasa mengerti kenyataan yang terjadi di masyarakat dan dapat membuat kebijakan yang tepat bagi keselamatan rakyat;
3. Tindakan represif sebagai pendisiplinan tidak akan berhasil tanpa pemberian insentif berupa pemenuhan kebutuhan rakyat dan penyadaran masyarakat.

Jakarta, 7 April 2020

CP. Asfinawati
Muhamad Isnur

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *