Neraca Timpang Bagi Si Miskin

Pengesahan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum merupakan angin segar untuk prospek penegakan keadilan di Indonesia. Pada dasarnya, bantuan hukum merupakan pemberian jasa hukum kepada masyarakat miskin untuk mewujudkan prinsip kesamaan di muka hukum. Sebelumnya, ketentuan mengenai bantuan hukum tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan dari level UU, Perda, peraturan internal lembaga penegak hukum, hingga Surat Edarat Mahkamah Agung.

Buku ini pun hadir sebagai hasil penelitian untuk menyediakan data bagi para perumus kebijakan bantuan hukum. Supaya kebijakan yang dibuat nantinya benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, khususnya dalam hal skema anggaran dan mekanisme penyaluran anggaran bantuan hukum. Sebab, ketersediaan dana bantuan hukum bagi masyarakat miskin merupakan salah satu indikator penentu dalam mengukur keberhasilan implementasi UU Bantuan Hukum.

Penelitian ini dilakukan terhadap lembaga penyelenggara bantuan hukum di 5 Kota seperti Jakarta, Surabaya, Padang, Papua dan Makassar. Lembaga bantuan tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan (ketiganya disebut APH), dan Organisasi Bantuan Hukum.

Hampir kelima kota tersebut sudah memiliki program bantuan hukum dalam lembaga APH. Hal itu didorong karena adanya dukungan negara berupa anggaran, sumber daya manusia maupun infrastruktur pendukung yang cukup massif mengikuti struktur pemerintahan. Sayangnya, program bantuan hukum itu tidak merata dipergunakan untuk masyarakat miskin, tetapi untuk kepentingan internal institusi, pejabat yang tersangkut perkara ataupun perusahaan-perusahaan milik negara.

Sebagian besar institusi APH yang menyelenggarakan bantuan hukum menerima dana dari APBN bahkan APBD. Sehingga pada dasarnya institusi APH memiliki sumber dana yang memadai. Sayangnya, besarnya alokasi dana program bantuan hukum tidak sejalan dengan banyaknya kasus yang ditangani dari dana program bantuan hukum. Pengelolaan dana tidak transparan dan hanya mengandalkan diskresioner pejabat setempat tanpa mekanisme pengawasan eksternal dan pelaporan publik.

Sementara, penyelenggaraan bantuan hukum yang dilakukan oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di kelima kota tersebut lebih bermakna. Kasus yang ditangani oleh OBH berjumlah ratusan bahkan ribuan. OBH juga memberikan kualitas pelayanan hukum yang baik, sehingga 50% dari penerima manfaat yang menjadi responden menyatakan alasan datang ke OBH adalah karena percaya. Frekuensi kasus yang ditangani juga beragam mulai dari pendampingan pra litigasi, mediasi, hingga kasasi.

Menariknya buku ini, penelitiannya menemukan hal diluar maksud penelitian namun sangat krusial terhadap prospek bantuan hukum di Indonesia. Yakni, adanya penyimpangan dana bantuan hukum yang dilakukan secara sistematis dan melembaga di institusi penegak hukum. Hal itu berakar karena kesalahpahaman konsep bantuan hukum di kalangan aparat penegak hukum. Sebab belum ada standar pelayanan bantuan hukum, absennya institusi pengawasan eksternal dan pemberian dana yang tidak sejalan dengan kebutuhan riil.

Hasil penelitian ini menunjukkan kepada kita sebuah ketimpangan kinerja antara institusi penegak hukum dan OBH. Padahal, institusi penegak hukum memiliki sumber daya yang mumpuni, namun penyelenggaraan pelayanan bantuan hukum yang dilakukan tidak sejalan dengan sumber daya yang dimiliki. Sedangkan kinerja OBH, meski terbatas sumber daya, ia mampu memberikan pelayanan yang maksimal terhadap pencari keadilan.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print