Begini Curahan Hati Mereka yang Mengaku Dikriminalisasi di YLBHI

Istilah ‘kriminalisasi’‎ menjadi populer dewasa ini. Sejumlah anggota masyarakat yang merasa menjadi korban kriminalisasi dan penegakan hukum yang dipaksakan mencurahkan isi hatinya bersama Wakil Ketua KPK non aktif Bambang Widjojanto (BW).

Para masyarakat ini berkumpul di Kantor Yayasan Bantuan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) , Jl Diponegoro No 74, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/5/2015).

P‎erwakilan koalisi LSM dari Lembaga Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, mendefinisikan kriminalisasi. Dalam konteks kajian kriminologi, kriminalisasi adalah ‎proses menjadikan suatu perilaku yang sebelumnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. 

Namun belakangan, istilah kriminalisasi menjadi bermuatan negatif, yakni penggunaan kewenangan penegakan hukum untuk tujuan buruk, lengkap dengan bukti yanf diada-adakan, tanpa adanya bukti permulaan yang cukup. BW membuka diskusi ini dengan menceritakan kasus yang menjadikan dirinya sebagai tersangka, yakni dia disangkakan mengarahkan kesaksian palsu dalam sidang Pilkada di Mahkamah Konstitusi.‎ 

“Saya dituduh membuat orang menyatakan sumpah palsu. Bagaimana mungkin saya dituduh dan menjadi tersangka, sementara orang yang seharusnya dibuktikan lebih dulu melakukan sumpah palsu tidak pernah dibuktikan apakah dia bersumpah paslu?‎” tutur BW.

‎Dia menyatakan, di lembaganya dulu yakni KPK, mekanisme penegakan hukum sangat terkontrol. Pemanggilan hingga pemeriksaan direkam dengan baik. 

Setelah BW, giliran Kho Seng Seng yang menceritakan pengalamannya. Dia dipidana gara-gara menulis dalam Surat Pembaca di surat kabar‎ Kompas. Ceritanya bermula dari 2003 saat dia membeli kios di ITC Mangga Dua dari salah satu perusahaan

Pada 2006, status Hak Guna Bangunan akan diperpanjangnya. Namun diketahui ternyata tanah yang dibelinya itu adalah milik Pemerintah Provinsi DKI. Dia akhirnya menulis di rubrik Surat Pembaca, dan singkat cerita gara-gara Surat Pembaca itu dia dilaporkan ke Polisi.‎

“‎Saya jadi tersangka, padahal saksi belum diperiksa. Saya dihukum percobaan satu tahun. Sampai tingkat MA, saya diputus bersalah,” kata Kho Seng Seng.

Giliran anak muda bernama Ando Supriyanto bercerita. Nasib kriminalisasi disertai tindak kekerasan ‎dialaminya. Dia dituduh membunuh pengamen di daerah Cipulir, Jakarta Selatan.

“Saya adalah korban salah tangkap di Cipulir,” kata Ando.

Ceritanya bermula dari Minggu pagi, 30 Juni 2013. Saat itu pengamen ini menemukan ada seseorang tergeletak di kolong jembatan Cipulir.‎ Dia mendapati orang itu penuh luka dan lumpur. Sosok yang tergeletak itu mengaku bernama Diki Maulana dari Jalan Haji Jaelani yang motornya dirampok. Dia ditodong dan kecebur kali.

“‎Pas pukul 12.00 WIB, anak-anak teriak, korban itu tidak bergerak. Saya hampiri, ternyata dia meninggal,” ucapnya.

Satpam sekitar dipanggil, dan sejurus kemudian polisi dari Polsek Kebayoran Lama datang. Ando kemudian disuruh menjadi saksi. Setelah ke Polsek, Ando disuruh ke Polda Metro Jaya. Di situlah aksi kekerasan diterima Ando

Tiba-tiba langsung dipukul saja. Kita bertiga (ada dua orang lain yang menjadi saksi), dipisah. Saya dilakban, disetrum, dipukul, diinjak-injak. Saya disuruh mengaku (sebagai pembuhun orang yang dia temukan tadi),” tutur Ando.‎

Setelah rangkaian pemeriksaan yang tak mengenakkan, Ando dan kawan-kawan ketakutan. “Dua hari saya dipukul, digebuk, disetrum,” katanya. 

Akhirnya dengan terpaksa, Ando mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukannya. “Karena ketakutan, masih kecil kan, ya bilang iya-iya saja,” kata dia. 

Tak ada yang mendampinginya saat proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Akhirnya, YLBHI membantu mereka hingga upaya hukum tingkat banding dan kasasi. Ujung cerita, dia divonis tak bersalah.

“Mudah-mudahan tak ada lagi yang seperti saya,” kata Ando sambil meneteskan air mata.

Ada pula kisah dari Misdan Bin Bakri, namun Misdan tak bisa hadir lantaran sedang melaut mencari ikan untuk sedekah bumi esok hari. Dia diwakili oleh pendampingnya bernama Sulaiman.

Misdan dikriminalisasi atas kasus pencurian lobster di Taman Nasional Ujung Kulon‎. Nelayan itu memang tinggal di perbatasan Taman Nasional Ujung Kulon

“Pada Oktober 2014, Misdan melaut mendapat tiga ekor lobster, juga kepiting. Pukul 14.00 WIB Tim Patroli Taman Nasional mendatangi mereka dan mengintrogasi. Mereka dituduh mengambil lobster,” tutur Sulaiman.

Nasib baik akhirnya berpihak, Pada 28 Januari 2015 Misdan dan kawan-kawan divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten. Namun Jaksa Penuntut Umum masih bersikukuh bahwa Misdan dan kawan-kawannya bersalah. Jaksa mengajukan kasasi dan sampai sekarang belum ada keputusan.‎

Sulaiman menuturkan, memang kawasan perbatasan Taman Nasional Ujung Kulon dengan pertanian dan kebub warga memuat sengketa agraria. ‎

Lalu bagaimana mengatasi permasalahan ini supaya ke depan tak terjadi lagi kriminalisasi? Anggota Tim 9 Komjen Pol (Purn) Oegroseno dihadirkan. Menurut mantan Wakapolri‎ ini, revisi KUHAP adalah solusinya.

“‎Kalau mau diamandemen, diamandemen yang terbaik lah,” kata Oegroseno.‎

Menurutnya, KUHAP harus menjamin bahwa tersangka berhak diam. ‎Penahanan juga harusnya hanya dilakukan apabila orang yang bersangkutan tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Penggeledahan dan penyitaan juga harus meminta izin hakim terlebih dahulu.

 
Sumber : detik.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *