Dari Jalan Diponegoro 74, Jakarta

dari jalan diponegoro 74

Adnan Buyung Nasution mungkin tak pernah membayangkan, Lembaga Bantuan Hukum/Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang ikut dia dirikan pada 28 Oktober 1970 tidak hanya menjadi lembaga yang aktif memberikan bantuan hukum bagi orang miskin dan mereka yang dilindas kekuasaan.

Sejarah menunjukkan. Lembaga Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH YLBHI) juga menjadi salah satu lembaga yang aktif mengkritisi otoritarianisme Orde Baru. Kantor lembaga itu, di Jajan Diponegoro 74, Jakarta, menjadi salah satu simpul penting gerakan pro demokrasi di Indonesia.

Dalam 45 tahun perjalanannya, LBH YLBHI juga menjadi salah satu sumber kepemimpinan di masyarakat sipil. Dalam hal melahirkan calon pemimpin, peran LBH/YLBHI dapat disebut sama pentingnya dengan organisasi kemahasiswaan atau organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah-

Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan dan Benny K Harman merupakan alumni LBH, YLBHI yang kini berkiprah di Parlemen. Benny yang masuk ke DPR dari Partai Demokrat adalah mantan Kepala Divisi Kajian Strategis YLBHI. Sementara Trimedya yang dari PDI-P pernah menjadi pengacara publik LBH Jakarta.

“Kami dulu masuk LSM (lembaga swadaya masyarakat) karena alasan ideologis. Lalu, ketika liberalisasi politik tahun 1999, kami melihat ada jalan untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan masyarakat,” ujar Benny.

Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif) Bambang Widjojanto, juga alumni LBH/YLBHI.

Namun, sesuai bidang ilmu yang dimiliki, sebagian besar alumni LBH/YLBHI akhirnya menjadi hakim, jaksa, dan advokat. Abdul Rahman Saleh, Direktur LBH Jakarta (1981-1984), bahkan menjadi Jaksa Agung (2004-2007).

Adapun alumni yang menjadi advokat di antaranya Todung Mulya Lubis, Hotma Sitompul, Patra M Zen, Luhut MP Pangaribuan, Lelyana Y Santosa, Teguh Samudra. Albert Hasibuan, dan Abdul Hakim Garuda Nusantara.

Nama LBH/YLBHI biasanya kerap terpatri di setiap alumni tersebut. Akibatnya, sering ada alumnus yang dicemooh saat membela tersangka korupsi.

Adnan Buyung tidak terlepas dari kontroversi itu. Kira-kira pada Maret 2002, aktivis LBH/YLBHI “menolak” kehadiran Bang Buyung di Gedung YLBHI akibat terlibat dalam Tim Advokasi HAM Perwira TNI. Buyung akhirnya mengalah demi LBH/YLBHL

Asfinawati, Direktur LBH Jakarta (2006-2009), menanggapi kontroversi pengacara alumni LBH dengan santai “Itu faktanya. Ada orang yang meman-faatkan LBH untuk latihan, ada yang menjadikan LBH sebagai batu loncatan dengan numpang .tenar,” ujarnya.

Lembaga

Para alumnus LBH/YLBHI yang jumlahnya ribuan orang juga banyak yang mendirikan lembaga baru, mulai dari lembaga yang mengadakan bantuan hukum, seperti LBH Masyarakat dan LBH Mawar Saron, hingga menggerakkan lembaga pembela HAM. seperti Imparsial serta Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).

Ketika Bambang Widjojanto menjadi Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1995-2000). antara lain lahir Indonesia Corruption Watch (ICW), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Direktur LBH Jakarta (2003-2006) Uti Parulian Sihombing pada 2008 mendirikan Indonesian Legal Resource Center (ILRC). “Saya memilih mendirikan organisasi nonpemerintah yang fokus pada reformasi pendidikan hukum,” ujarnya.

Ketua YLBHI Alvon K Palma menuturkan, keberadaan sejumlah lembaga yang didirikan para alumnus YLBHI tersebut antara Iain dipicu oleh perdebatan klasik soal apakah LBH/YLBHI hanya terpaku di soal bantuan hukum, atau meluas ke pendampingan masyarakat dan isu lain.

Kemunculan lembaga baru itu terkadang dipicu perselisihan di internal LBH/YLBHI. Namun, perselisihan itu juga bagian dari dinamika yang mematangkan LBH/YLBHI.

Tantangan

Di tengah ingar-bingar alumni LBH/YLBHI, satu per satu tokoh senior masyarakat sipil telah berpulang. Ade Irawan dari ICW mengakui, gerakan masyarakat sipil kini mulai kehilangan sosok.

Sosok seperti Adnan Buyung dan Munir, misalnya, sulit digantikan. Namun, menurut Haris Azhar dari Kontras, hal itu tak menjadi persoalan. “Gerakan masyarakat sipil kini tidak sekadar mengedepankan kekuatan sosok,” ujarnya.

Zaman sudah berbeda. Ketokohan pada diri Bang Buyung* dan Munir, kata Haris, terbentuk karena momentum. Bang Buyung terkenal konsisten dan militan, di sisi lain Munir memiliki kekuatan verbal dalam mengisi tafsir pada zaman transisi politik.

Namun, figur bukan satu-satunya masalah di gerakan masyarakat sipil saat ini Demokratisasi dan liberalisasi politik juga membuat tak ada lagi isu yang kini hanya milik gerakan masyarakat sipil. Hampir semuaisu, seperti korupsi, hak asasi manusia, dan separatisme, kini juga digarap oleh lembaga lain, seperti lembaga negara. Dalam kondisi seperti ini, perlu kecerdasan dari masyarakat sipil dalam bergerak dan memilih isu agar dapat tetap eksis.

Pendanaan juga jadi persoalan dalam gerakan masyarakat sipil di Indonesia saat ini

Namun, di tengah ingar-bingar demokratisasi saat ini, tetap masih ada masyarakat miskin dan tertindas. Dalam konteks ini, pesan yang ditulis Adnan Buyung pada 20 September 2015 menjadi relevan. “Jagalah LBH YLBHI. Teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin dan tertindas,” tulis Buyung, yang saat itu sedang terbaring di rumah sakit

Mengingat LBH/YLBHI sudah beranak cucu, wasiat Adnan Buyung yang meninggal pada 23 September lalu layak dilanjutkan oleh siapa pun yang sempat “berguru” di Jalan Diponegoro 74 dan gerakan masyarakat sipil di Indonesia pada umumnya

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *