Hak Pekerja Perempuan Masih Terabaikan

Koalisi yang terdiri dari serikat pekerja dan LSM menilai perlindungan hak pekerja perempuan masih minim. Pekerja perempuan masih kerap menerima tindakan kekerasan dan pelecahan yang dilakukan atasannya.
Anggota Koalisi dari Kalyanamitra, Rena Herdiyani, hal itu menimpa tak hanya pekerja yang bekerja di Indonesia tapi juga di luar negeri (TKI). Ia memperkirakan ada 70 persen dari 80ribu pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual.
Menurut Rena, hal itu terjadi karena ketidakseimbangan relasi kekuasaan antara pengusaha dan pekerja. Walau adaSurat EdaranMenakertrans No 03 Tahun 2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual, namun pelaksanaannya dirasa belum memuaskan. “Belum ada perkembangannya sejauh mana terimplementasi,” katanya dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Senin (29/4).
Anggota Koalisiyang laindari Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Wa Ampi, mengatakan di kawasan industri di KBN Cakung Jakarta, mayoritas pekerja perempuan pengetahuannya atas hak masih minim. Akibatnya, para pekerja tak tahu kalau tindakan yang dilakukan atasannya tergolong pelecehan seksual atau diskriminasi terhadap perempuan.
Kasus yang banyak terjadi yaitu pekerja perempuan dirayu atasannya untuk diajak berkencan dengan iming-iming diangkat menjadi pekerja tetap. Sebagai upaya memberi pemahaman atas hak pekerja perempuan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan peraturan lainnya, Ampi menyebut FBLP membentuk komite yang bertugas memberi pemahaman itu kepada pekerja perempuan. “Di KBN Cakung 90 persen pekerja terdiri dari perempuan,” tuturnya.
Selaras dengan itu Ampi mendesak pemerintah untuk menggalakkan sosialisasi kepada perusahaan-perusahaan tentang hak pekerja perempuan.Misalnya hak pekerja perempuan untuk mendapat angkutan khusus bila bekerja hingga larut malam karena lembur.
Di sisi lain, Ampi berpendapat mestinya perusahaan yang bersangkutan menjamin keselamatan pekerjanya sampai ke rumah dengan cara menyediakan angkutan. Selain itu perlu juga diberikan pemahaman kepada pekerja bagaimana mencegah terjadinya tindak kekerasan, pelecehan seksual dan diskriminasi di tempat kerja.
Senada, anggota koalisi dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Devi Fitriana, melihat masih banyak perusahaan yang belum memenuhi hak pekerja perempuan. Misalnya, menyediakan ruangan khusus menyusui di tempat kerja. Ada pula perusahaan yang memutus hubungan kerja (PHK) seorang pekerja perempuan yang mengidap HIV/AIDS.
Selain itu Devi menilai pemerintah perlu membuat kebijakan yang mewajibkan perusahaan yang pekerjanya mayoritas perempuan untuk menyediakan klinik khusus. Misalnya, menyediakan tenaga medis khusus bidang kesehatan reproduksi perempuan dan bidan. Pasalnya, kesehatan reproduksi perempuan harus dijaga karena tergolong rentan. “Jadi pekerja perempuan bisa optimal dalam bekerja,” ucapnya.
Sedangkan anggota koalisi dari AJI Jakarta, Anastasia Lilin, menyoroti PHK sepihak yang menimpa pekerja perempuan di lima perusahaan media. Ia menyebut perusahaan media tak luput dari masalah ketenagakerjaan. Selain PHK sepihak, diskriminasi terhadap pekerja perempuan sering terjadi. Misalnya, pekerja perempuan sulit menduduki jabatan strategis di perusahaan media. Akibatnya, produk-produk media masih didominasi perspektif kaum lelaki.
Soal penata laksana rumah tangga (PLRT), anggota koalisi dari Mitra Imadei, Inke Maris, mengatakan banyak anak-anak berusia 12-17 tahun bekerja di jenis pekerjaan itu. Ironisnya, pekerjaan yang dilakukan bukan hanya satu jenis, tapi banyak, mulai dari membereskan rumah, menjaga toko sampai mengurus anak majikan. Secara umum pekerjaan yang banyak itu kerap dilakukan oleh PLRT. Mengingat PLRT didominasi oleh perempuan, Inke mengatakan perlindungan pemerintah terhadap mereka sangat minim. Terutama PLRT yang masih berusia anak-anak. “Hak anak tidak mereka dapatkan seperti pendidikan dan bermain,” tukasnya.
Tak ketinggalan, anggota koalisi dari Migrant Care, Bariyah, mengatakan Indonesia termasuk negara pengirim pekerja migran terbesar. Dari seluruh pekerja migran asal Indonesia sekitar 70 persennya berjenis kelamin perempuan. Oleh karenanya, ketika ada persoalan yang menimpa pekerja migran, secara langsung bersinggungan dengan nasib perempuan. Sampai akhir 2012 Migrant Care mencatat ada 420 pekerja migran terancam hukuman mati. Salah satunya pekerja migran asal Semarang, Jawa Tengah, Satinah. Begitu pula dengan nasib tragis seorang pekerja migran yang diperkosa beramai-ramai oleh polisi Malaysia.
Mengacu berbagai persoalan pekerja migran itu Bariyah mengatakan pemerintah lamban dalam melakukan bantuan hukum. Misalnya, untuk kasus Satinah, Bariyah menyebut untuk menyelesaikannya pemerintah menyewa pengacara. Padahal, Bariyah memperkirakan hal itu tak cukup karena butuh diplomasi tingkat tinggi dengan kerajaan Arab Saudi untuk menuntaskan masalah tersebut. Hal lain yang disayangkan Bariyah, terjadinya iklan TKI di Malaysia yang intinya memberi potongan harga untuk pengguna jasa TKI.
Melihat fakta tersebut Bariyah berkesimpulan pemerintah belum serius melakukan perlindungan untuk pekerja migran. Khususnya mengimplementasikan UU No.16 Tahun 2012 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya. Akibatnya, perspektif pengelolaan pekerja migran yang dilakukan pemerintah cenderung mengarahkan pekerja migran hanya sebatas komoditas. Untuk memperbaiki hal tersebut Bariyah mengatakan Migrant Care berkomitmen mengawal pembahasan RUU PPILN yang saat ini sedang digodok di DPR. “Agar catatan hitam (kasus-kasus,-red) pekerja migran bisa terus menurun,” urainya.
Terpisah, Ketua bidang UKM, Wanita Pengusaha, Wanita Pekerja, Gender dan Sosial APINDO, Nina Tursinah, mengatakan sebagai organisasi pengusaha, APINDO membantu pemerintah melakukan sosialisasi tentang hak pekerja perempuan ke berbagai perusahaan. Untuk perusahaan berskala besar, Nina menyebut APINDO tak mendapat kesulitan dalam melakukan kegiatan sosialisasi tersebut.
Tapi, jika dijumpai terdapat perusahaan besar yang belum memenuhi hak pekerja perempuan seperti menyediakan angkutan khusus bagi pekerja yang pulang larut malam dan ruang menyusui menurutnya itu bukan sebuah kesengajaan. Namun, secara umum Nina mengatakan perusahaan skala besar cenderung sudah memenuhi hak pekerja perempuan sebagaimana diamanatkan peraturan yang ada dengan cukup baik.
Untuk industri di bidang Usaha Kecil Menengah (UKM), Nina mengatakan APINDO mengalami kesulitan melakukan sosialisasi. Pasalnya, sektor industri UKM sangat luas dan menyebar sampai ke daerah. Untuk memaksimalkan kegiatan itu Nina berharap pemerintah, khususnya Kemenakertrans membantu melakukan sosialisasi. Kendala lain yang kerap dijumpai dalam menyosialisasikan hak pekerja perempuan di industri UKM diantaranya berkaitan dengan terbatasnya ruangan untuk menyediakan tempat khusus untuk menyusui serta keterbatasan kemampuan untuk menyediakan transportasi.
Walau sudah melakukan kewajibannya untuk melakukan sosialisasi, namun Nina mengakui kegiatan tersebut belum dilakukan APINDO secara maksimal. Atas dasar itu, Nina mengimbau kepada seluruh pemangku kepentingan agar berbarengan mengkampanyekan pentingnya pemenuhan hak pekerja perempuan. “Memang kami belum lakukan sosialisasi secara maksimal, itu tugas kita bersama,” pungkasnya.

Sumber : hukumonline.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *