Inilah Hasil Penelitian tentang Bantuan Hukum di Daerah

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah meluncurkan hasil penelitian tentang program bantuan hukum di daerah. Riset aksi itu dilakukan di lima provinsi (Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) dan lima kabupaten/kota (Musi Banyuasin, Palembang, Semarang, Makassar, dan Sinjai).
Hasilnya? Belum ada kesamaan pola penyelenggaraan bantuan hukum di daerah. Landasan hukum, mekanisme pendanaan, syarat mendapatkan bantuan, dan inisiatif penyusunan masih beragam. Keanekaragaman ini antara lain disebabkan sebagian daerah sudah menjalankan program sebelum UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum lahir. Namun, bantuan bisa dpakai untuk perkara pidana dan perdata.
Sebagian besar program bantuan hukum di daerah justru datang dari kepala daerah. Ini menunjukkan pemberian bantuan hukum tak lepas dari upaya kepala daerah memenuhi janji-janji politik saat kampanye. “Lebih disebabkan oleh program politik kepala daerah yang dikampanyekan sebelum terpilih,” demikian antara lain hasil analisis riset yang dilansir pada Kamis (30/5) pekan lalu.
Motif politik itu pula yang membawa konsekuensi pada landasan hukum. Sebagian besar payung hukum bantuan hukum di daerah adalah Peraturan atau Surat Keputusan Kepala Daerah. Bahkan ada yang didasarkan pada perjanjian antara walikota dengan tim advokasi. Padahal jika dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda), payung hukumnya lebih kuat. “Kebijakan bantuan hukum yang berasal dari keputusan atau peraturan kepala daerah cenderung bersifat simbolik, sehingga dalam pelaksanaan tidak maksimal”.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Wicipto Setiadi, mengapresiasi daerah-daerah yang sudah berinisiatif membuat program bantuan hukum. UU No. 16 Tahun 2011 justru semakin membuka peluang bagi daerah untuk menganggarkan dana bantuan hukum di APBD. Keberlangsungan program, diyakini Wicipto, bergantung pada kepedulian kepala daerah. “Tergantung concern kepala daerah,” ujarnya.
Setback
Apresiasi senada disampaikan Abdul Rahman Saleh. Namun Ketua Dewan Pembina YLBHI ini risau dengan fakta, ada daerah yang mensyaratkan dana bantuan hukum bisa diberikan jika perkaranya tidak ‘melawan’ atau berhadapan dengan Pemda. Menurut dia, jika daerah membuat syarat tidak menggugat Pemda sama saja kembali ke masa lalu. “Itu setback namanya,” kata mantan Jaksa Agung itu.
Persyaratan semacam itu tercantum dalam Peraturan Bupati Sinjai No. 8 Tahun 2010 tentang Pelayanan Bantuan Hukum kepada Masyarakat Tidak Mampu. Pasal 3 ayat (5) Perbup ini mengatur ‘Pelayanan bantuan hukum tidak diberikan terhadap sengketa yang berkaitan dengan pemerintah daerah”.
Bukan hanya Abdul Rahman Saleh yang mengkritik persyaratan itu. Pendiri YLBHI, Adnan Buyung Nasution, mengenang bagaimana dulu komitmen Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin membantu LBH. Ali Sadikin tetap mau memberikan bantuan sekalipun LBH (YLBHI) berperkara melawan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Sebaliknya, aktivis LBH juga tak boleh terpengaruh karena bantuan Pemda. Buyung berpesan agar Pemda meniru komitmen Ali Sadikin. “Saya berharap Pemda mengikuti jejak Bang Ali,” ujarnya saat peluncuran hasil penelitian itu.
Jumlah Dana
Keberagaman juga tampak pada jumlah dana yang dianggarkan Pemda dan diberikan kepada warga miskin. Pemprov Sumatera Selatan, misalnya, menganggarkan 1,5 miliar pada 2009. Jumlahnya naik menjadi 2,8 miliar pada periode 2010-2011, diambil melalui anggaran Biro Hukum dan HAM Sekretariat Daerah.
Di Sumatera Barat, anggaran yang disediakan pada 2011 adalah Rp35.366.000. Setiap kasus dibiayai 7,5 juta potong pajak. Di sini, ada target jumlah masyarakat miskin yang dilayani per tahun, bahkan jumlahnya cenderung menurun dari 10 kasus pada 2007-2008 menjadi empat kasus (2011-2012).
Pemprov Sulawesi Tengah membedakan jumlah biaya yang diberikan berdasarkan tingkatan peradilan. Tingkat pertama dianggarkan 10 juta rupiah per kasus, turun menjadi 5-7 juta di tingkat banding dan kasasi. Total anggaran yang disediakan pada 2011 adalah Rp200 juta. Jumlah serupa tercatat di Biro Hukum Setda Jawa Tengah untuk dana program bantuan hukum.
Di Kabupaten Musi Banyuasin justru tak ada jumlah pasti alokasi dana bantuan hukum untuk masyarakat miskin. Tetapi ada pos honorarium yang diberikan, yaitu honorarium panitia pelaksana (6 orang selama 12 bulan), tim pelaksana kegiatan (6 orang advokat selama 12 bulan), dan tenaga pendukung (2 orang selama 12 bulan).
Di Makassar, dana bantuan hukum punya mata anggaran sendiri dalam APBD. Besarannya 5 juta rupiah untuk kasus pidana dan 7 juta rupiah untuk kasus perdata. Total anggaran yang disediakan adalah Rp56 juta.
Mendapatkan dana dari pemerintah memang menjadi salah satu isu strategis, bahkan polemik, dalam perkembangan LBH di daerah. Advokat senior Adnan Buyung Nasution tak mengharamkan dana dari pemerintah. Ia justru meminta agar para aktivis memperjuangkannya agar bantuan hukum kepada masyarakat miskin dapat diberikan secara berkesinambungan. “Dana bantuan hukum harus diperjuangkan terus,” ujarnya.
Pemerintah Pusat sudah menganggar Rp40,8 miliar untuk dana bantuan hukum bagi rakyat miskin. Kepala BPHN Wicipto Setiadi menekankan pentingnya akuntabilitas dan pertanggungjawaban penggunaan dana. Para aktivis LBH juga harus punya komitmen untuk mempertanggungjawabkan dana bantuan hukum.

 

Sumber : hukumonline.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *