Korban Diminta Berani ”Polisikan” Jaksa Nakal

Era: Jaksa Minta Uang, Masuk Ranah Pidana

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang meminta masyarakat yang menjadi korban pemerasan yang dilakukan jaksa, berani melaporkan oknum jaksa nakal itu tak hanya menempuh proses internal pengawas (Aswas) Kejati, namun juga melaporkan ke pihak kepolisian.

Langkah ini, sebut Direktur LBH Padang, Era Purnama Sari, bisa memberi sanksi lebih berat kepada jaksa nakal tersebut. Terlebih lagi, Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa, terutama pasal 4 Huruf a, c dan d, tegas-tegas melarang perilaku tersebut.

“Bahkan, upaya menerima atau meminta hadiah atau keuntungan walaupun tidak ada tindak lanjutnya, dapat dianggap sebagai pelanggaran berdasarkan kode etik ini,” sebut Era menyikapi ekspose Asisten Bidang Pengawasan Kejati Sumbar Sri Astuti Yulia bertepatan dengan Hari Adhyaksa di aula Kejati Sumbar, Rabu (22/7) lalu.

Sri menyebutkan bahwa sebanyak 24 jaksa diperiksa bagian pengawasan Kejati Sumbar setelah diduga melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugasnya. Di mana, 17 di antaranya sudah diklarifikasi dan 7 kasus menjalani inspeksi kasus.

“Dari 24 perkara jaksa yang dilaporkan tersebut, 20 di antaranya sudah diselesaikan sementara 4 kasus masih dalam proses,” sebut Sri. Sebanyak tiga jaksa sudah mendapatkan sanksi, dua jaksa di Kejaksaan Negeri Solok kena sanksi ringan, sedangkan satu jaksa di Padangaro kena sanksi sedang.

Menurut Era, tindakan yang dilakukan beberapa jaksa diduga meminta sejumlah uang kepada korban dalam penanganan perkara, sudah masuk ranah pidana pemerasan (tidak lagi etik, red).

“Makanya, sebaiknya korban tidak hanya menempuh proses internal saja, tetapi juga melaporkan ke pihak kepolisian,” katanya.

Era melihat, tindakan-tindakan oknum jaksa tersebut merupakan modus-modus lama dan sudah menjadi rahasia umum. Sayangnya, selama ini hal seperti ini sulit dibuktikan karena tidak ada korban yang berani berbicara.

Jika hanya melaporkan masalah pemerasan ini ke internal kejaksaan, lanjut Era, paling-paling sanksinya hanya berupa mutasi atau penurunan jabatan atau malah tidak diproses sama sekali, karena konflik interest-nya tinggi.

Kasus seperti ini, menurutnya, jadi tantangan bagi aparat kepolisian untuk membuktikan integritasnya.

“Persoalan terbukti atau tidaknya, biarlah nanti dibuktikan di persidangan yang jelas kasus pemerasan ini diselidiki terlebih dahulu untuk membuktikan komitmen penegakan hukum kepolisian. Apalagi laporan pemerasan jaksa seperti ini sangat jarang terjadi, sehingga bisa membuka jalan bagi korban-korban lain yang mengalami hal demikian,” tukasnya.

Selain itu, Era berjanji bakal menindaklanjuti laporan tersebut ke Jaksa Agung Muda Pengawas Kejaksaan Agung agar Jamwas meninjau kembali laporan masyarakat tersebut.

“Kita mengimbau kepada para pelapor yang merasa tidak puas atas tindak lanjut laporan tersebut, dapat menghubungi LBH Padang sehingga bisa dihimpun data-datanya sehingga lebih kuat untuk dilaporkan ke Jamwas Kejagung RI,” imbaunya.

Biarpun begitu, Era tetap mengapresiasi langkah Aswas Kejati Sumbar yang merilis laporan 24 jaksa yang diduga melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hal itu, menurutnya, tidak hanya hak si pelapor namun juga merupakan bagian dari hak publik.

“Namun alangkah lebih baik Aswas Kejati Sumbar juga mempublikasi data kualitatif dari laporan pengaduan yang memuat data pengaduan, hasil temuan tim Aswas dan rekomendasi tindak lanjut,” sebut Era.

Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Halius Hosen mengatakan, dari seluruh Indonesia pihaknya menerima sekitar lima ratusan pengaduan soal jaksa dinilai melanggar aturan dalam menjalankan tugasnya.

Di mana, sebagian besar berupa laporan tebang pilih kasus, tidak professional dalam menerapkan pasal dan dugaan pemerasan. Pengaduan tersebut sudah ditindaklanjuti berupa rekomendasi klarifikasi.

Selain itu, dia mengimbau seluruh jaksa di Indonesia menaati kode etik kejaksaan. Jaksa juga harus menolak perintah atasannya, bila perintah penyidikan secara hukum tidak bisa dibuktikan.

“Kalau dirasa tidak pantas suatu perkara untuk dilanjutkan, maka tidak perlu takut sama atasan, baik Kajari maupun Kajati,” ingatnya

 

 

Sumber : padek.co

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *