LBH Jakarta Dan Serikat Buruh : SEGERA BENTUK DESK/UNIT PERBURUHAN DI BADAN RESERSE KRIMINAL KEPOLISIAN RI

Kertas Posisi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Menyambut “May Day” 1 Mei 2013, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta memiliki catatan-catatan atas kondisi perburuhan di Indonesia, juga merekomendasikan beberapa hal, diantaranya :
KEBEBASAN BERSERIKAT
Kebebasan berserikat menjadi isu utama karena melalui serikat, buruh memperjuangkan kepentingan ekonomi, hukum maupun politiknya. Kebebasan berserikat sudah dijamin melalui instrumen internasional Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat maupaun instrumen nasional melalui UU Nomor 21 Tahun 2000. Pelanggaran kebebasan berserikat dilekati sanksi pidana paling singkat 1 tahun atau paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit 100 jt atau paling banyak 500 jt. Pasal ini telah menjerat Direktur PT King Jim Indonesia yang dikenakan sanksi pidana 1,5 tahun.
Tetapi contoh tersebut ternyata tidak menurunkan angka pelanggaran kebebasan berserikat. Sepanjang tahun 2012 LBH Jakarta menerima 10 kasus pelanggaran kebebasan berserikat. Hal ini seharusnya sosialisasi pentingnya serikat buruh, sanksi yang dikenakan jika menghalangi kebebasan berserikat serta Pengawas Ketenagakerjaan yang berjalan. Hak untuk berserikat dalam prakteknya dikeberi oleh pemerintah sendiri dengan tidak berjalannya penegakan hukum. Penegakan hukum yang tidak berjalan dalam arti ketika buruh melaporkan pelanggaran kebebasan berserikat yang dialami, mereka hanya sebatas dipanggil menjadi saksi sesudah itu kasusnya tidak ada kejelasan. Hal ini terjadi dalam kasus PT Panarub Dwikarya, Serikat Pekerja Carrefour Indonesia, Serikat Pekerja Bukopin, PT Askes, PT Intan Pertiwi Industri, PT ASDP, PT Asietex, PT Daya Cipta Kemasindo. Pemerintah dapat dikatakan setengah hati dalam menjamin hak atas kebebasan berserikat bagi buruh.
HAPUSKAN OUTSOURCING
Kepentingan Outsorcing adalah pendekatan modal dan Investasi yaitu “pasar tenaga kerja yang fleksibel” (flexible labour market), Dimana Pengusaha mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya, terhindar dari kewajiban-kewajiban, serta dan membayar upah buruh semurah mungkin.
Karena sistem outsourcing, memberi kemudahan bagi perusahaan, untuk mencari pekerja/buruh dengan upah murah, dan bila pengusaha tidak membutuhkannya maka akan mudah untuk dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sistem kerja Outsourcing yang diatur dalam Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan, menempatkan buruh/pekerja sebagai “sapi perahan”.
Desakan penolakan sistem kerja Outsourcing terus menerus dilakukan oleh para buruh/pekerja. Tetapi Pemerintah dan DPR RI tetap “Ngotot” untuk mempertahankan sistem kerja Outsourcing tersebut. Ini diperparah oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Lembaga kehakiman yang bertugas mengawal konstitusi, melalui putusannya No. 27 Tahun 2011 tentang pengujian pasal-pasal outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan, memutuskan outsourcing tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh .
Setelah itu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, mengeluarkan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Bukannya menghapus dan menghilangkan praktik kerja outsourcing. Menakertrans semakin melegalkan sistem kerja Outsourcing. Ini membawa kerugian bagi para pekerja/buruh dan serikat buruh/pekerja.
Ironisnya , Virus Sistem Kerja Outsourcing tidak hanya “merasuki” di perusahaan swasta, namun juga sudah “menggerogoti” perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti di PT. Pertamina, PT. PLN (Persero), PT. Telkom, PT. ASDP, PT. Askes, PT. Merpati, PT. Jasa Marga, PT. Indofarma, PT. Gas Negara, PT. Petro Kimia Gresik, PT. KAI (Persero).
Dengan adanya sistem kerja Outsourcing tersebut, kerugian langsung yang dialami oleh para pekerja diantaranya; (1) Mendapatkan upah sangat rendah, karena perusahaan jasa penyedia melakukan pemotongan terhadap upah pekerja/buruh dari perusahaan pengguna; (2) Tidak kepastian kerja karena dikontrak terus menerus; (3) Menimbulkan diskriminasi dengan pekerja tetap, karena perbedaan gaji; (4) Pekerja Outsourcing sangata rentan mengalami Pelanggaran hak-hak normatif, berupa; Jamsostek, pensiun dan cuti tidak diberikan; (5) Pekerja Outsourcing dapat di PHK sewenang, sehingga kebebasan berserikat bagi pekerja outsourcing akan terlanggar.
Dengan demikian, telah nyata bahwa Sistem Kerja Outsourcing haruslah dihapuskan dengan membatalkan Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan, karena merupakan bentuk perbudakan karena perusahaan penyedia jasa pada dasarnya menjual manusia kepada perusahaan pengguna (user), ini juga jelas bertentangan dengan prinsip perlidnungan yang diatur dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
TOLAK DAN BATALKAN PENANGGUHAN UPAH.
Saat ini LBH Jakarta, tergabung dalam Tim Advokasi Buruh untuk Upah Layak (TAB-UL) kuasa hukum para serikat pekerja untuk menolak penangguhan upah karena penuh dengan kecurangan melalui pengadilan tata usaha negara, telah menggugat 3 (tiga) Gubernur yakni; Gubernur Jawa Barat, Gubernur Provinsi Banten dan Gubernur Provinsi DKI Jakarta.
Penetapan upah minimum disetiap provinsi didasarkan kepada kebutuhan hidup layak seorang lajang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 89 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan dan diatur dalam Permenakertrans No. 13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuh Hidup Layak sebanyak 60 komponen, dimana sebelumnya hanya ada 46 komponen yang diatur dalam Permenakertrans No 17 Tahun 2005. Sehingga dengan adanya upah minimum tersebut, maka dapat meningkatkan daya beli buruh, yang secara secara otomatis meningkatkan nilai perekonomian.
Dengan adanya penangguhan upah minimum maka menyebabkan para buruh tidak akan dapat hidup layak ditambah dalam proses penangguhan upah minimum yang diajukan oleh perusahaan penuh kecurangan yang sangat massif dan sistematis.
LBH Jakarta bersama serikat pekerja/buruh, menemukan Pola Kecurangan penangguhan upah diantaranya;
Penangguhan Upah, dipukul rata untuk semua pekerja, tanpa ada klasifikasi pekerja lajang, sudah menikah dan masa kerja 1 tahun atau lebih.
Serikat Pekerja tidak dilibatkan perusahaan.
Perusahaan melakukan intimidasi kepada pekerja/buruhnya untuk menandatangani Kesepakatan penangguhan upah dengan cara akan di PHK jika menolak untuk menandatangani, melanggar prinsip prinsip perundingan yang mendalam, jujur dan terbuka.
Pengusaha menggunakan intimidasi kepada pekerja/buruh untuk menandatangani Kesepakatan penangguhan upah dengan cara pekerja/ buruhnya dipanggil satu-satu oleh HRD untuk menandatangani keepakatan tersebut;
Adanya pengerahan preman, untuk menakut-nakuti para buruh, agar para buruh menandatangani kesepakatan penangguhan upah.
Perusahaan tidak dalam keadaan kondisi yang merugi selama dua tahun terakhir.
Perusahaan tidak transparan kepada para buruh mengenai persyaratan tata cara penangguhan upah.
Tidak adanya audit perusahaan yang menyatakan bahwa perusahaan telah merugi 2 tahun berturut-turut.
Tidak adanya laporan perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2 (dua) tahun yang akan datang.
Karena massifnya kecurangan yang terjadi dalam penangguhan upah, maka Surat Keputusan (SK) Gubernur yang menyetujui Penangguhan pelaksanaan UMP adalah cacat hukum, dan harus dibatalkan.
SEGERA BENTUK DESK/UNIT PERBURUHAN DI BADAN RESERSE KRIMINAL KEPOLISIAN RI
Ada sekitar kurang lebih 30 Pasal dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang mengatur Pasal dan sanksi Pidana di Perburuhan. Belum lagi yang diatur dalam UU No. 3/1992 Tentang Jamsostek, UU No. 21/2000 Tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, UU No. 2/2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), UU No. 1 TAHUN 1970 Tentang Keselamatan Kerja, UU No. 7 TAHUN 1981 Tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan
LBH Jakarta bersama Serikat Buruh selama ini sangat sering menemukan tindakan pelanggaran dan kejahatan Pidana yang diatur dalam berbagai Undang-undang tersebut. LBH Jakarta bersama buruhpun telah sering melaporkan ke Kepolisian, baik di level Polsek, Polres, Polda, maupun Mabes Polri. Tetapi seluruh laporan tersebut mandek dan tidak ada keberlanjutan perkaranya. Penerimaan yang sangat sulit dalam membuat laporan, ketidaktahuan aparat/peyidik tentang tindak pidana perburuhan, penanganan oleh unit/desk yang tidak nyambung, keraguan dan keengganan aparat dalam menindak pelaku-pelaku yang jelas melakukan Pidana Perburuhan, serta sejumlah alasan lainnya menjadi potret tidak tegaknya Pidana Perburuhan.
Kasus yang sama dahulu, Kepolisian gamang dan enggan menindak dan menyidik Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tetapi setelah ada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Kepolisian tegas Oleh karena itu penting untuk adanya Desk/Unit Perburuhan dalam Badan Reserse dan Kriminal di Kepolisian RI. Adanya Desk/Unit Pidana yang khusus menangani Pidana Perburuhan bisa mendorong dan menjawab berbagai permasalahan diatas. Tentu dengan pelatihan-pelatihan dan pengembangan kapasitas aparat penyidiknya.
PENGUATAN PENGAWAS KETENAGAKERJAAN
Pelanggaran-pelanggaran Hak Normatif, Kebebasan Berserikat, sistem kerja kontrak, outsourcing, upah minimum, kebebasan berserikat, tidak terpenuhinya jaminan sosial tenaga kerja serta pelanggaran lainnya juga terus berlangsung. Ini karena sangat lemahnya pengawasan dan sanksi dari Pemerintah melalui Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau melalui Dinas tenaga kerja setempatnya. Seringkali Petugas Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi/Dinas tenaga kerja setempat mengarahkan kejahatan/pelanggaran yang merupakan pidana/hukum publik diarahkan menjadi sengketa perdata melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Lahirnya 3 (tiga) paket Undang-Undang yang yaitu UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, telah memangkas peran Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, ditambah dengan adanya semangat otonomi daerah yang juga mendelegasikan bidang ketenagakerjaan menjadi peran Pemerintah Daerah untuk melakukan pengawasannya.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, seakan-akan tidak punya kewenangan untuk memaksa Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan di daerah untuk memberikan peran yang maksimal terhadap pelayanan pengawasan ketenagakerjaan. Disebabkan, Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan di daerah, lebih takut dimutasi oleh Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) ketimbang diperintahkan oleh Menteri Tenaga Kerja sekalipun.
Berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 13 ayat (1) huruf h dan Pasal 14 ayat (1) huruf h, membuat Pengawasan perburuhan menjadi semakin lemah. Belum lagi penggabungan tugas pemerintahan, seperti Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menyebabkan Dinas Ketenagakerjaan semakin kecil dan di pimpin oleh pejabat yang secara tekhnis tidak menguasai bidang ketenagakerjaan.
Maka penting penguatan Pengawasan Perburuhan ini melalui perubahan sistem. Seharusnya Pengawasan Perburuhan oleh Pengawas Ketenagakerjaan tidak bergantung pada Otonomi Daerah. Ia harus memiliki kekuatan memaksa agar pelanggaran-pelanggaran perburuhan tidak terus bertambah dan menjadi permasalahan yang semakin membesar

 

Sumber : kabarnasional-news.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *