Pengelolaan Bantuan Hukum di Daerah Perlu Diperkuat

Sejumlah daerah telah berinisiatif mengeluarkan kebijakan pemberian dana bantuan hukum kepada warga miskin. Namun alokasi dananya belum sepadan dengan jumlah warga miskin. Bahkan pelaksanaan program bantuan hukum bisa berhenti di tengah jalan jika semata bergantung pada kebijakan kepala daerah.
Demikian rangkuman pandangan yang dihimpun hukumonline dari sejumlah aktivis bantuan hukum berkaitan dengan publikasi hasil penelitian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) –dibantu Australia Indonesia Partnership for Justice—tentang program bantuan hukum di daerah. Pelaksanaan program bantuan di daerah belum berjalan sebagaimana diharapkan. Hambatan juga terjadi di daerah-daerah yang sudah menggagas pengelolaan bantuan hukum jauh sebelum lahirnya UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Sumatera Selatan, misalnya, sudah menerapkan kebijakan bantuan hukum bagi warga miskin sejak 2009. Dana yang dianggarkan pun sudah lebih dari dua miliar (anggaran 2010-2011). Menurut Eti Gustina, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, jumlah warga miskin yang mengajukan permohonan bantuan dana mengalami peningkatan. Tetapi dana sempat dihentikan Pemprov begitu ada UU Bantuan Hukum. “Mungkin takut melanggar,” ujarnya.
Sumatera Barat, salah satu daerah yang sudah menginisiasi program bantuan hukum sejak 2007, juga masih menghadapi hambatan. Pemprov mengalokasikan dana 6 juta per kasus, yang disalurkan lewat organisasi bantuan hukum seperti LBH Padang. Namun alokasi dana dibatasi untuk sekitar 10 kasus. Akibatnya, jumlah anggaran tak sebanding dengan kebutuhan bantuan hukum warga miskin di Sumatera Barat. “Dana bantuan hukum yang tersedia kecil. Jadi, belum bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat miskin berperkara,” ucap Vino Oktavia, Direktur LBH Padang.
Di Sumatera Selatan sebagai contoh. Pada 2009, dari 118 permohonan, yang disetujui hanya 70. Tahun berikutnya ada 107 permohonan, dan 82 permohonan dikabulkan. Di Kota Semarang, ada 67 kasus pendampingan warga miskin pada 2011-2012. Jumlah ini kemudian dijadikan patokan untuk penganggaran pada 2012-2013.
Vino juga menyoroti payung hukum program bantuan yang masih lemah. Umumnya masih berupa Surat Keputusan (SK) atau peraturan Gubernur di provinsi, atau bupati/walikota di kabupaten/kota. Payung hukum demikian, praktis, sangat bergantung pada kepentingan politik kepala daerah. Seharusnya penyusunan program bantuan hukum bagi warga miskin melibatkan legislatif, sehingga pijakan hukumnya adalah Peraturan Daerah (Perda). Jawa Timur termasuk pionir dalam penyusunan Perda Bantuan Hukum.
Selama ini anggaran bantuan hukum umumnya dimasukkan ke dalam anggaran Biro Hukum Setda. Di daerah tertentu, seperti Makassar, operasionalisasi dana bantuan hukum dijalankan sebuah tim beranggotakan 15 orang yang dibentuk Walikota. Model kelembagaan semacam ini, menurut pengamanat Abdul Azis, Direktur LBH Makassar, belum efektif mewujudkan akses masyarakat marjinal kota terhadap keadilan dan peradilan. Kesibukan dan mindset advokat yang ditunjuk sering menjadi kendala. “Itu kadang tidak efektif karena ujung-ujungnya Biro Hukum (Pemkot) yang turun,” ujarnya.
Sebenarnya jumlah daerah yang belum mempunyai program bantuan hukum lebih banyak. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Wicipto Setiadi, mengakui tak semua daerah memiliki lembaga bantuan hukum, dan walhasil tak punya program bantuan hukum untuk rakyat miskin. Sebaran lembaga pemberi bantuan hukum dan advokat ikut mempengaruhi keberadaan dan keberlangsungan program bantuan hukum di daerah.

 

Sumber : hukumonline.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *