Progam Pembangunan KEK Bitung Dinilai Abaikan Hak-Hak Masyarakat

Program pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung, yang merupakan bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) mulai mendapat penolakan.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado, menilai, persiapan pembangunan KEK Bitung mengabaikan hak-hak masyarakat. Salah satunya, adalah penggusuran tempat tinggal sekitar 500 kepala keluarga di Kelurahan Tanjung Merah, Kecamatan Matuari, Kota Bitung, Sulawesi Utara pada awal Februari 2016. Luasnya diperkirakan 92 hektar. Wilayah ini masuk dalam area pembangunan KEK.

Akibatnya, mereka kehilangan tempat tinggal dan lapangan pekerjaan. Selain itu, anak-anak menjadi sulit sekolah karena jarak yang semakin jauh.

“Kemudian, peternak juga mengalami kesulitan. Karena, tidak mungkin membawa ternak ke pemukiman baru. Demikian juga untuk warga yang bertani, lahan garapan mereka sudah tidak ada yang jaga. Karena itu, warga menuntut hak keberlangsungan hidup mereka dikembalikan,” kata Aryati Rahman, staff LBH Manado, kepada Mongabay, akhir Februari 2016.

Dikatakan Arya, sebagian warga yang terkena dampak penggusuran telah dipindahkan ke rusunawa. Disesalkan dia, di pemukiman baru itu hanya terdapat 120 unit dan tidak bisa menampung sekitar 500 KK.

“Sisanya, sampai detik ini, masih bertahan di lokasi yang sudah digusur. Mereka membuat tenda dengan menggunakan terpal dan seng-seng bekas. Sementara, ada informasi, hari Senin (29/2/16) adalah hari terakhir warga tinggal di sana. Kalau ada yang masih bertahan terancam ditangkap.”

Menurut Arya, YLBHI punya kajian kritis terkait UU No.2/2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Misalnya, ujar dia, pembangunan tidak serta-merta mengorbankan masyarakat yang tinggal di sekitar area pembangunan.

“Ini yang kami sayangkan dari program KEK Bitung. Kami melihat ini secara keseluruhan sebagai pelanggaran HAM, pelanggaran atas hak hidup masyarakat yang tergusur dan terkena dampak.”

Program pembangunan KEK Bitung kemudian dilihatnya melanggar UUD pasal 33 ayat 3, serta melanggar UU HAM. Negara memang menguasai tanah, kata dia, tapi itu jelas untuk kepentingan masyarakat.

“Kami melihat, masyarakat dijadikan korban pembangunan. Pemerintah, jika ingin menjalankan kebijakan, juga harus memperhatikan masyarakat. Dalam kasus ini, pemerintah harusnya bersabar dulu. Tahan dulu. Sampai dapat kesepakatan bersama,” tambah Arya.

Selain itu, dalam penggusuran ini, pemerintah dinilai tidak konsisten memandang proses hukum. Sebab, lanjut dia, ketika warga meminta ganti rugi, pemerintah meminta untuk menunggu putusan pengadilan. Namun, sebaliknya, pemerintah kota telah melakukan penggusuran terlebih dahulu tanpa menunggu keputusan pengadilan yang dimaksud.

Sebelum aksi penggusuran, pada Januari 2016, warga telah memasukkan gugatan ke PN Bitung terkait ganti rugi. Sebab, kata Arya, surat edaran Kepala Dinas Tata Kota menghentikan kegiatan warga dan mengakibatkan kerugian sewa tukang.

Namun, belum ada kepastian hukum mengenai gugatan tersebut, tempat tinggal mereka telah digusur terlebih dahulu. Menyikapi permasalahan tersebut, saat ini, LBH sedang mempersiapkan gugatan pasca penggusuran.

Kedepannya, ancaman penggusuran dari program pembangunan KEK Bitung dikhawatirkan masih akan terjadi, terutama di kelurahan Tanjung Merah. Sebab, kata Arya, akan ada reklamasi 1000 hektar di sana. Kemudian, di wilayah daratan dibutuhkan sekitar 500 hektar, sementara saat ini baru 92 hektar yang baru dipenuhi.

Pada Selasa (23/2/16), sekitar 200 warga menggelar demonstrasi di depan kantor walikota Bitung untuk meminta pemerintah kota mengembalikan hak keberlangsungan hidup, baik dari sisi ekonomi, sosial dan budaya.

Sementara itu, dikutip dari radarmanado.com (24/2/16), Walikota Bitung, Max J Lomban, menegaskan tidak bisa melakukan ganti rugi terhadap penggusuran tersebut. Sebab, menurut Lomban, penggusuran itu dilakukan di tanah negara. “Jika ganti rugi, maka kita yang akan jadi sasaran. Karena dalam aturan memang tidak bisa,” kata dia.

Lomban menyatakan, sebagian besar warga korban penggusuran bukan warga asli kota Bitung, melainkan pendatang dari luar kota. Ditambahkan dia, pemerintah kota Bitung sudah memulangkan sebagian warga ke kampung halaman. Sementara, sebagian lain tinggal di rusunawa yang disediakan pemkot Bitung.

Perkiraan Dampak KEK Bitung

Sementara itu, berdasarkan riset Perkumpulan Kelola tahun 2013, luasan rencana KEK Tanjung Merah adalah 534 hektar atau 64,4% dari total luasan kelurahan Tanjung Merah. Luasan kelurahan ini mencapai 829 hektar atau 22,96% dari total luasan kecamatan Matuari, yang mencapai 3.160 hektar.

Berdasarkan riset tersebut, akibat pembebasan lahan untuk perencanaan pembangunan KEK sebesar 534 hektar, luasan kelurahan Tanjung akan berkurang hingga 239 hektar. Hal ini diperkirakan akan berdampak pada lahan 2.400 kepala keluarga.

Areal peruntukan KEK Tanjung Merah akan diperluas ke arah barat yang berbatasan dengan kabupaten Minahasa Utara, dengan luasan 1.500 hektar. Untuk memenuhi kebutuhan luasan tersebut, pemerintah akan mereklamasi pesisir laut seluas 1.000 hektar, yang akan dimulai dari Pantai Kema, kabupaten Minut, hingga Pantai Girian, Kota Bitung.

Berdasarkan data Perkumpulan Kelola, beberapa kasus reklamasi yang berlangsung di Sulawesi Utara, berdampak besar terhadap rusak dan hilangnya terumbu karang. Selain itu, terdapat ancaman di sekitar 5-6 lokasi wisata publik di sepanjang pantai Kema hingga pantai Girian.

Sesuai riset tersebut, program pembangunan KEK Bitung diperuntukkan bagi pengembangan sejumlah sektor ekonomi. Namun, dari sejumlah sektor, pemanfaatan ruang untuk industri lebih besar yakni dengan luasan 144,3 hektar atau 28,3% dari ruang lainnya.

“Hal ini sesuai dengan usulan pemerintah provinsi Sulawesi Utara mendesain KEK Bitung sebagai zona industri pengolahan dan logistik,” demikian disebutkan dalam riset Perkumpulan Kelola.

 

Sumber : mongabay.co.id

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *