YLBHI Desak Polri Tindak Ormas Anarkis

Kelompok minoritas acapkali menjadi korban kekerasan Ormas tertentu. Kali ini dialami keluarga dan anak korban pelanggaran HAM tragedi 1965 di Wisma Santi Dharma Godean Sleman Yogyakarta oleh Ormas Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Ironisnya, Polri sebagai institusi penjaga ketertiban keamanan masyarakat seolah tak berkutik acapkali menghadapi kelompok vigilante.

Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Gatot Rianto, mengatakan tindakan pembubaran paksa pertemuan keluarga dan anak korban tragedi 1965 telah melanggar hak konstitusional dan HAM. Menurutnya, hal itu sebagai tindakan kriminal yang mesti dipertanggungjawabkan di hadapan hukum.

Gatot mengatakan, tindakan anarkis yang dilakukan Ormas tertentu seolah menjadi tren yang tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Pasalnya, aksi anarkis tidak sejalan dengan komitmen negara dalam melakukan perlindungan, penegakan hukum dan pemenuhan hak dasar setiap warga negara. YLBHI menilai tindakan kekerasan yang acapkali dilakukan oleh Ormas tertentu mesti mendapat perhatian dan penanganan serius dari pemerintah dan Polri.

“Langkah itu dilakukan agar tidak meluasnya konflik antar kelompok masyarakat di berbagai wilayah Indonesia,” kata Gatot.

Gatot menyayangkan sikap lamban dan ketidaktegasan Polri dalam menangani aksi kekerasan yang kian marak dikhawatirkan berimplikasi pada suburnya praktik kekerasan dalam menyelasaikan masalah di masyarakat. Padahal, menurut Pasal 2 UU No.2 Tahun 2002tentang Polri menyebutkan fungsi kepolisian.

Pasal 2 menyatakan, “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.

Menurut Gatot, jika fungsi Polri tidak dijalankan dengan maksimal, bukan tidak mungkin kepercayaan masyarakat akan luntur. Begitu pula terhadap pemerintah di penghujung rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya, langkah kongkrit yang akan dilakukan YLBHI adalah berkoordinasi dengan Kapolri Jenderal Sutarman dan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

“Kami juga ingin memastikan korban membuat laporan resmi untuk dilakukan penyidikan. Tindakan seperti ini tidak sekali, kami akan berkoordinasi dengan Kapolri,” ujarnya.

Gatot mencontohkan, penanganan kasus Cikeusik, Sampang. Menurutnya, Polri seolah tak berdaya menangani kasus tersebut. Dia berharap Kapolri di bawah kepemimpinan Sutarman dapat membawa perubahan, khususnya kemanan dalam kebebasan berpendapat di muka publik.

“Kami mendesak pemerintah, Polri dan Menteri Dalam negeri melakukan penuntasan aksi kekerasan pembubaran paksa diskusi yang disertai intimidasi,” katanya.

Irna selaku korban menceritakan kronologis peristiwa tersebut. Pada 27 Oktober, ia merencanakan pertemuuan santai dan tidak ada pembahasan agenda serius. Rencananya, dalam pertemuan itu akan dibahas perihal peningkatan pendapatan ekonomi terhadap masyarakat yang didominasi pemuda. Selain itu, pertemuan akan membahas pelatihan terhadap kelompok petani ternak agar dapat meningkatkan penghasilan. Lantaran para pemuda tersebar di berbagai daerah di Jawa Tengah, maka disepakati  Wisma Santi Dharma Yogyakarta menjadi tempat pertemuan.

Sekitar pukul 8.30 WIB, tempat itu disambangi oleh sekelompok orang yang menginginkan pertemuan tersebut dibatalkan. Kapolsek setempat pun meminta pembatalan lantaran tempat tersebut akan diserang sekelompok massa.

“Datang kembali sekelompok masyarakat dan kapolsek bilang pertemuan itu harus dibatalkan karena akan diserang sekelompok masyarakat. Kemudian pimpinan FAKI itu mendekat dan sejajar dengan kami. Lalu terjadi dialog yang agak keras. Mereka menghendaki pertemuan agar dibatalkan,” ujarnya.

Irna melanjutkan, Wisma Santi Dharma saat itu telah dikepung FAKI dan aparat kepolisian. Saat terjadi dialog, di luar halaman Santi Dharma terjadi keributan. Wajah tiga orang pemuda yang akan menghadiri acara tersebut lebam akibat dianiaya. FAKI menuding pertemuan tersebut dalam rangka digelarnya kongres kader komunis.

“Saya bilang bagaimana mungkin kongres yang pesertanya hanya belasan, dan tidak mungkin kongres digelar beberapa jam saja,” katanya.

Ironisnya, lanjut Irna, polisi menyalahkan dirinya lantaran pertemuan tersebut tidak meminta izin kepada kepolisian. Namun, Irna membela dii. Menurutnya, acapkali pihak yang akan menggelar acara di Santi Dharma tak perlu meminta izin kepolisian. Pasalnya, Santi Dharma merupakan tempat yang tertib. Atas insiden tersebut, Irna akan membuat laporan ke pihak kepolisian.

Atas kejadian yang dialami Irna, Gatot menilai persitiwa tersebut telah memenuhi unsur pidana mulai dari pelaku, motif, hingga dilakukan secara bersama-sama. Ia berharap Ormas dapat menghargai kebebasan berpendapat dan menjalankan hak konstitusi sebagai warga negara. “Ini sudah memenuhi unsur pidana. Ketika terjadi pelanggaran hukum, maka institusi Polri harus menindak,” katanya.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Sutarman saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR menegaskan akan mengedepankan tindakan preventif terhadap masyarakat. Setidaknya akan meminimalisir aksi kekerasan di masyarakat. Menurutnya, anggota Polri harus hadir di tengah masyarakat dalam menjaga ketertiban masyararakat.

“Menolong masyarakat akan menimbulkan kepercayaan masyarakat, sehingga bantuan Kamtibmas akan tercipta,” ujarnya.

 

Sumber : hukumonline.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *