YLBHI : Negara Harus Akui Penganut Agama Lokal dan Penghayat Kepercayaan

Perubahan UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan momentum yang tepat bagi Negara untuk memberi pengakuan dan segala pencatatan administrasi kependudukan kepada para penghayat kepercayaan dan penganut agama lokal.

 

Negara tidak berhak mengingkari fakta dan sejarah keberadaan para penghayat kepercayaan, karena faktanya penghayat kepercayaan sudah hidup dan berkembang sebelum agama-agama besar masuk ke Indonesia dan sebelum Negara ini merdeka atau lahir.

 

Dengan demikian, perubahan UU 23/2006 merupakan momen yang tepat bagi DPR dan pemerintah untuk menyesuikan perubahannya dengan konstitusi (UUD 1945), sehingga perubahannya bisa mengikis persoalan diskriminasi yang berdasarkan agama.

 

DPR dan pemerintah tidak boleh mengingkari keberadaan penghayat kepercayaan dan penganut agama lokal yang lahir dari kearifan lokal budaya nusantara. Penghayat adalah pemeluk ajaran atau keyakinan leluhur yang berkembang di Nusantara. Namun, dalam pembahasan Perubahan UU Adminduk, DPR dan pemerintah tidak mengakomodasi penghayat kepercayaan dan penganut agama lokal. Hal ini nampak dalam RUU Perubahannya, ketentuan mengenai kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP), pemerintah dan DPR mengembalikan pada Pasal 64 dalam UU Adminduk, yakni dalam ayat 2 disebutkan bahwa penduduk yang agamanya belum diakui berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak dapat mengisi kolom agama.

 

Maka itu artinya, negara tidak mengakui keberadaan penghayat kepercayaan di Indonesia. Sehingga berdampak pada kolom agama KTP para penghayat tertulis tanda (-), hal ini merupakan perlakuan diskrimatif dalam pelayanan administrasi kependudukan. Tanda (-) ini akibat dari adanya politik pembatasan 6 agama yang diakui oleh negara. Kategorisasi ini akhirnya melahirkan stigma dan menciptakan keadaan yang merugikan para penghayat yang acapkali dianggap sebagai orang yang tidak beragama.

 

Selain itu dalam dunia pendidikan, acapkali anak-anak dari para penghayat dan penganut agama lokal juga mendapatkan diskriminasi bahkan pemaksaan untuk memilih salah satu agama yang diakui agar bisa dicantumkan dalam raport pendidikan formalnya.

 

Tidak adanya perubahan dalam Revisi UU Adminduk ini, sepertinya Negara ingin melanggengkan hambatan-hambatan lain dalam pelayanan administrasi, padahal itu sangat berlawanan dengan amanat UU Adminduk, yang menjamin hak seorang/kelompok Penghayat untuk mendapatkan hak sipil warga negara seperti pencantuman kepercayaan dalam KTP, akta kelahiran, perkawinan dan dokumen-dokumen lainnya.

 

Seharusnya Indonesia yang merupakan negara multikultur, memberikan penghormatan terhadap hak budaya dan tradisi-tradisi warganya beserta komunitasnya, karena itu semua merupakan bagian dari hak sipil politik yang wajib di hormati dan dijamin keberadaannya oleh negara.

 

Jakarta, 11 Juli 2013

Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia

 

Moch. Ainul Yaqin

Koord. Bidang Sipil Politik

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *