Diseminasi Panduan Penyelenggaraan Bantuan Hukum Di Daerah

IMG_3423

Pada tanggal 22 Juli 2019, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan Media Briefing: Diseminasi Panduan Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Daerah. Acara ini diselenggarakan di Gedung LBH Indonesia. YLBHI menghadirkan Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum, Mohammad Yunus Affan, S.H., M.H. sebagai narasumber dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang berbicara mengenai “Peningkatan Kualitas dan Perluasan Bantuan Hukum di Daerah”. YLBHI sendiri diwakilkan oleh Ketua YLBHI Bidang Pengembangan Organisasi, Febionesta, yang berbicara mengenai “Peran Penting Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Bantuan Hukum”. Jalannya kegiatan ini dimoderatori oleh Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana.

Yunus Affan dalam pemaparannya menyampaikan kondisi kemiskinan masyarakat Indonesia menjadi masalah yang semakin berlapis ketika mereka berhadapan dengan hukum. Bahkan ketika ditemui pihak kepolisian pun sudah gemetar dan kebingungan. Kondisi ketidakberdayaan masyarakat tersebutlah yang menjadi latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dengan semangat untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap keadilan.

Organisasi Bantuan Hukum (OBH) merupakan salah satu elemen penting dalam pelaksanaan UU Bantuan Hukum untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap keadilan, khususnya bagi masyarakat miskin. Penyelenggaraan OBH merupakan Program Prioritas Nasional: Kepastian dan Penegakan Hukum 2015-2019. Kedudukannya sebagai Program Prioritas Nasional menjadikan penyelenggaraan bantuan hukum sebagai prioritas dalam alokasi anggaran.

Dari total 514 jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 229 diantaranya (>50%) masih belum memiliki OBH. Namun, angka tersebut sudah merupakan peningkatan yang cukup tajam sejak periode akreditasi tahun 2013. Saat ini sudah ada 524 OBH di seluruh Indonesia. Namun, OBH yang terakreditasi A hanya berjumlah 9, 63 lainnya terakreditasi B, dan sisanya terakreditasi C. Pun, pemenuhan pagu anggaran untuk masing-masing OBH dengan masing-masing akreditasi masih belum terpenuhi seluruhnya dengan APBN. Misalkan, sebuah OBH dengan akreditasi A berkapasitas menangani litigasi 60 kasus, maka yang baru dicover dengan APBN hanya sekitar 30 kasus saja.

Dalam hal ini, peran Pemerintah Daerah sangat krusial untuk menutupi lubang tersebut dengan membuat Perda Bantuan Hukum. Saat ini baru terdapat 155 Perda Bantuan Hukum. Untuk mendorong percepatan kebijakan daerah dalam penyelenggaraan bantuan hukum, BPHN menyiapkan sumberdaya perancang peraturan yang ahli untuk dapat mendampingi pembuatan Perda Bantuan Hukum di Indonesia.

Jika dibandingkan, ratio penduduk miskin Indonesia (BPS 2018) berjumlah 25.950.000 jiwa, dengan jumlah OBH hanya 542. Maka artinya, 1 OBH : 49.522 jiwa penduduk miskin. Dari angka tersebut, keberhasilan penyelenggaraan bantuan hukum sebagai akses keadilan bagi masyarakat miskin masih jauh dari ideal.

Yunus Affan juga mengkritisi ketentuan masa akreditasi yang saat ini 3 tahun sekali. Menurutnya hal itu terlalu lama. Harusnya setahun sekali. Sebab, misalnya salah satu OBH yang penyerapan anggarannya kurang, maka OBH tersebut masih berstatus sebagai OBH selama 3 tahun lamanya. Padahal apabila setahun sekali kelebihan anggaran tersebut bisa dialokasikan kepada OBH lain yang memiliki kebutuhan anggaran lebih besar di tahun selanjutnya.

Melengkapi penjelasan dari Yunus Affan, Febionesta menyoroti isu pesebaran OBH di Indonesia yang hanya terpusat di kota besar Pulau Jawa dan pentingnya perluasan subjek penerima bantuan hukum tidak hanya masyarakat miskin, tapi juga harus meliputi kelompok rentan sesuai peraturan-perundang-undangan.

Hal tersebut berdasarkan pengalaman YLBHI maupun afiliasinya seperti LBH APIK, yang dalam praktiknya sering kali seorang yang secara ekonomi tidak miskin, namun pada kenyataanya dia berada dalam kondisi tidak berdaya untuk memperjuangkan haknya. Misalnya perempuan korban KDRT yang merupakan istri dari seorang yang kaya atau lansia yang memiliki harta namun tidak berdaya untuk menguasainya. Pada praktiknya, banyak sekali kasus yang menjadikan kelompok rentan sebagai korban, namun karena keterbatasan subjek penerima bantuan hukum yang diakomodir, mereka sulit untuk mengakses dana bantuan hukum.

Itulah sebabnya, pemerintah daerah berperan penting untuk mengakomodir kekhususan kebutuhan klien maupun kekhususan yang dimiliki daerah. Misalnya memperluas subjek penerima bantuan hukum termasuk masyarakat adat, mengakomodir fasilitas transport penyandang disabilitas, dan sebagainya.

Febionesta juga menyoroti adanya ironi, akreditasi mensyaratkan OBH harus memiliki kantor. Namun, dari kebijakan anggaran, sewa kantor tidak menjadi salah satu item penganggaran. Termasuk hal teknis pendukung penyelenggaraan bantuan hukum lain seperti staff administrasi, pelatihan untuk peningkatan kualitas dan sebagainya.

Diskusi ini dihadiri lebih dari 40 peserta dari media dan OBH dari berbagai daerah seperti Depok, Bogor, dan Medan. Beberapa diantaranya mengkritisi soal mekansime akreditasi yang menyulitkan. Pembicara merespon bahwa mekanisme tersebut diperuntukan sebagai bentuk akuntabilitas penggunaan anggaran negara dan untuk pelayanan publik, sehingga dibutuhkan mekanisme legal-administratif agar tidak disalahgunakan.

Diskusi ini ditutup dengan beberapa poin rekomendasi:

  1. Pentingnya Peran Pemerindah Daerah untuk membuat kebijakan seperti Perda, Pergub, dan sebagainya untuk menalangi lub hole penyelenggaraan bantuan hukum serta mengakomodir kekhususan kebutuhan hukum di daerah.
  2. Pentingnya perluasan subjek penerima bantuan hukum agar tidak hanya kepada masyarakat miskin, tetapi juga meliputi kelompok rentan diantaranya perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas, Tenaga Kerja Indonesia, dan masyarakat adat.
  3. Pentingnya integrasi sistem bantuan hukum antara BPHN dan MA, termasuk integrasi potensi pro bono dan pro deo untuk memaksimalkan penyelenggaraan bantuan hukum.
  4. Pentingnya membaca dan memanfaatkan peluang sumber dana penyelenggaraan bantuan hukum seperti melalui Baznas, Filantropis, Dompet Duafa, dan sebagainya.
  5. Perbaikan kebijakan masa akreditasi yang saat ini 3 tahun sekali menjadi setahun sekali.
  6. Perbaikan kebijakan Permenkumham yang menentukan bahwa bantuan hukum hanya boleh dilakukan melalui salah satu jalan, litigasi atau non litigasi, yang mana hal itu bertentangan dengan praktik, bahwa penyelesaian suatu kasus dimungkinkan dilakukan upaya litigasi dan non litigasi bersamaan.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *