75 Tahun Mahkamah Agung RI : Saatnya Pembaruan Pengadilan Secara Menyeluruh

75 Tahun Mahkamah Agung RI

Tanggal 19 Agustus 2020 adalah tepat MA berusia 75 tahun. Momentum hari lahir Mahkamah Agung perlu diperingati dengan mengingat kembali visi dan misi serta semangat Mahkamah Agung serta pengadilan yang berada di bawah naungannya. Konstitusi mengatur kekuasaan kehakiman sebagai lembaga “guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sebagai negara pihak Kovenan Hak Sipil dan Politik Indonesia memiliki kewajiban untuk memastikan pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM yang salah satunya adalah melalui lembaga peradilan. LBH-YLBHI menangani 249 kasus di pengadilan sejak Agustus 2019 hingga Agustus 2020.

Dalam peringatan Hari Ulang Tahun Mahkamah Agung di tahun 2020 ini LBH-YLBHI menyampaikan catatannya terkait Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya baik kelembagaan, penegakan hukum acara maupun kualitas putusan sebagaimana di bawah ini.

1)Putusan pengadilan minim argumentasi. 2) Kurangnya perspektif HAM termasuk hak atas lingkungan, masyarakat adat, hak atas dan dalam pekerjaan, kebebasan berpendapat/berekspresi dan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan. 3) Integritas dan nilai anti korupsi belum terinternalisasi. Masih ditemui kasus-kasus suap maupun korupsi lainnya. 4) Eksekusi yang tidak jelas. 5) Modernisasi institusi pengadilan yang setengah hati. 6) Hakim permisif terhadap pelanggaran hukum acara. 7) Hakim menghalang-halangi atau mendukung jaksa menghalang-halangi terdakwa untuk didampingi penasihat hukum. 8) Disparitas putusan dalam satu peristiwa yang sama dengan banyak terdakwa dalam satu pengadilan. 9) Disparitas putusan pengadilan dalam isu yang sama di lingkungan pengadilan umum. 10) Hakim tidak menggunakan keterangan terdakwa di persidangan dan menggunakan pengakuan terdakwa yang diperoleh melalui penyiksaan sebagai alat bukti. 11) Majelis hakim dalam putusannya melegitimasi penyiksaan terhadap terdakwa/tersangka. 12) Pemalsuan keterangan fakta-fakta pengadilan di dalam putusan. 13) Hakim membuat putusan sebelum nota pembelaan dibacakan. 14) Hakim melanggar asas fair trial. 15) Hakim melanggar asas praduga tak bersalah. 16) Hakim tidak memiliki perspektif gender.

Berdasarkan permasalahan di atas, YLBHI menyatakan dan merekomendasikan hal-hal sebagai berikut kepada MA:

  1. Memberikan pemahaman lebih banyak dan mendalam bagi para hakim mengenai hak asasi manusia dan perspektif gender;
  2. Menjadikan Integritas dan anti korupsi tidak hanya sebagai slogan, tetapi sebagai nilai yang terinternalisasi;
  3. Menindaktegas hakim atau perangkat pengadilan yang terbukti melanggar nilai-nilai anti korupsi, hak asasi manusia, dan gender;
  4. Mengeluarkan aturan dasar pelaksanaan teknis bagi permohonan eksekusi agar suatu putusan dapat dieksekusi;
  5. Memastikan modernisasi pengadilan berjalan dengan sesuai dengan cita-cita Mahkamah Agung yakni peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan termasuk kanal pengaduan yang efektift terhadap masalah dalam modernisasi pengadilan ini;
  6. Mengeluarkan petunjuk teknis penanganan kasus-kasus pidana kehutanan dan lingkungan hidup sehingga tidak terjadi lagi disparitas putusan di lingkungan Peradilan Umum;
  7. Mengeluarkan petunjuk teknis tentang hukum acara dalam hal terdapat pengakuan bahwa terdakwa telah disiksa. Beban pembuktian kasus penyiksaan haruslah pada penuntut umum, bukan terdakwa. Pembuktian kasus penyiksaan harus dianggap tidak cukup hanya dengan menghadirkan saksi-saksi verbalisan, tetapi dengan bukti-bukti lain.

 

Jakarta, 19 Agustus 2020

Yayasan LBH Indonesia:

 LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Padang, LBH Pekanbaru, LBH Lampung, LBH Palembang, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Surabaya, LBH Yogyakarta, LBH Bali, LBH Manado, LBH Makassar, LBH Papua, LBH Palangkaraya.

 

Narahubung:

  1. Aditia Bagus Santoso
  2. Era Purnamasari

 

Lampiran Rilis dapat diunduh melalui di sini

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *