Djoko Tjandra adalah Gejala Pembobolan Hukum dan Sistem Layanan di Indonesia: Usut Tuntas dan Benahi Sistem Sekarang Juga!

Djoko Tjandra adalah Gejala Pembobolan Hukum dan Sistem Layanan di Indonesia_ Usut Tuntas dan Benahi Sistem Sekarang Juga!

Djoko Tjandra, buronan kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali kembali membuat masalah. Pada tahun 2009, Djoko Tjandra kabur ke Papua Nugini setelah Mahkamah Agung menyatakan ia terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda 15 juta rupiah serta uang miliknya di Bank Bali sebesar 546 miliar rupiah dirampas untuk negara. Pada bulan Juni 2020, Djoko Tjandra kembali ke Indonesia untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atas kasusnya ke PN Jakarta Selatan. Pengajuan peninjauan kembali ini dimulai dengan pembuatan e-KTP dan paspor. Kantor Kelurahan Grogol Selatan memberikan keistimewaan kepada Djoko Tjandra dengan pelayanan proses pembuatan e-KTP hanya selama 30 menit, berbeda dengan proses pembuatan e-KTP selama ini yang membutuhkan waktu hingga berminggu-minggu. Selanjutnya, Djoko Tjandra membuat paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Baik Kantor Kelurahan Grogol Selatan dan Kantor Imigrasi Jakarta Utara mengaku tidak menemukan catatan atau peringatan dalam sistem e-KTP dan paspor bahwa Djoko Tjandra adalah buronan.

Jika sebelumnya Djoko Tjandra terbukti melakukan pembobolan sistem keuangan negara, kasus Djoko Tjandra yang dapat dengan mudah mengurus e-KTP juga mencerminkan sistem administrasi kependudukan yang banyak lubangnya. Belum lagi Ditjen Imigrasi, Kepolisian, dan Pengadilan yang seakan-akan dapat dikendalikan dengan mudah oleh Djoko Tjandra dan pengacaranya Anita Kolopaking.

Koalisi telah mencatat beberapa pelanggaran dan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh   pejabat dari institusi penegak hukum dan lembaga lain yang terlibat dalam kasus ini serta titik-titik keterbatasan sistem layanan sebagai berikut;

  1. Kepolisian memenuhi permintaan Anna Boentaran, istri Djoko Tjandra, melalui surat tanggal 16 April 2020 untuk menghapus Red Notice Djoko Tjandra di catatan Interpol tanpa koordinasi lebih lanjut dengan Kejaksaan sebagai instansi yang menetapkan Djoko dalam DPO (daftar pencarian orang) pada tahun 2009.
  2. Kepala Divisi Hubungan Internasional Kepolisian Republik Indonesia (Divhubinter) menjalankan permintaan Anna Boentaran dengan melakukan koordinasi dengan markas pusat Interpol (IPSG) di Perancis untuk menghapus Red Notice Djoko Tjandra pada 22 April 2020. Koordinasi tersebut dilanjutkan dengan surat tanggal 29 April 2020 terkait informasi pembaruan data. Surat Divhubinter tersebut juga berisi informasi Red Notice Djoko Tjandra dengan nomor A1897/7-2009 telah terhapus di basis data Interpol sejak tahun 2014 atau lima tahun setelah Djoko Tjandra ditetapkan buron.
  3. Kepolisian melaporkan hasil koordinasi dengan Interpol kepada Anna Boentaran pada pada Mei 2020. Laporan tersebut ditandatangani oleh Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo, yang merupakan Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Polri. Tidak ada tanggal dalam laporan berkop Kepolisian Republik Indonesia tersebut. Namun, isinya menjelaskan nama Djoko Tjandra telah terhapus dari daftar Red Notice di IPSG.
  4. Kepolisian mempermudah pergerakan Djoko Tjandra di Indonesia seolah-olah sebagai orang tanpa masalah hukum, lewat penerbitan surat jalan yang ditandatangani oleh Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Lewat surat jalan tersebut, Djoko Tjandra dinyatakan sebagai konsultan. Djoko Tjandra bahkan memperoleh perlakukan sebagai pejabat Kepolisian karena surat jalan tersebut hanya diperuntukkan bagi anggota Kepolisian saja.
  5. Ditjen Imigrasi menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa ‘red notice’ atas nama Joko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014. Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020 tanpa berkoordinasi lebih lanjut dengan Kejaksaan yang menetapkan Djoko Tjandra sebagai DPO yang menjadi dasar permintaan penetapan red notice kepada IPSG.
  6. Ditjen Imigrasi meloloskan Djoko Tjandra masuk ke Indonesia tanpa koordinasi untuk penangkapan dengan Kepolisian dan Kejaksaan, sehingga pada 8 Juni 2020 Djoko Tjandra ditemani kuasa hukumnya bisa membuat e-KTP dengan nama Joko Soegiarto Tjandra dan ke PN Jaksel untuk mengurus pengajuan PK. Masuk dan keluarnya Djoko Tjandra untuk ditengarai bukan hanya terjadi sekali saja.
  7. Ditjen Imigrasi menerbitkan paspor untuk Djoko Tjandra pada 23 Juni 2020 di Kantor Imigrasi Jakarta Utara.
  8. Kelurahan Grogol Selatan menerbitkan kembali Kartu Tanda Penduduk Elektronik untuk seseorang yang berstatus terpidana yang buron. Lurah Grogol Selatan mengakui bahwa ia tidak mengetahui status buron Djoko Tjandra. Sistem layanan adminduk saat ini memang belum memiliki interoperabilitas antara data adminduk dengan data yang dimiliki Kemenkumham mengenai status buron seseorang.
  9. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan bertemu dengan Anita Kolopaking. Pertemuan ini dapat dianggap sebagai pelanggaran kode perilaku jaksa karena Anita Kolopaking diduga mempengaruhi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk mempermudah kepentingan-kepentingan Djoko Tjandra.
  10. Ketua Mahkamah Agung (MA) terlihat bersama dengan Anita Kolopaking dalam sebuah acara pribadi. Padahal Djoko Tjandra sebagai kliennya berniat untuk mengajukan Peninjauan Kembali yang perkaranya akan diperiksa oleh MA. Dengan pertimbangan kepentingan itu, pertemuan ini patut diduga melanggar kode perilaku hakim.
  11. Anita Kolopaking telah jelas mempertunjukkan perilaku yang mencederai kode etik advokat dengan secara aktif mempengaruhi aparat penegak hukum di lembaga-lembaga penegak hukum untuk tidak melaksanakan mencegah dilaksanakannya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atas kliennya. Organisasi advokat sebagai profesi terhormat (Officium Nobile) belum berhasil membangun organisasi profesi yang mendorong para advokat untuk menjunjung tinggi kode etik dalam menjalankan profesinya. Dalam praktiknya, advokat tidak jarang menjadi bagian utama dari praktik mafia hukum, seperti pada kasus Gayus Tambunan, OC Kaligis, Lucas, dan sebagainya.

Saat ini, proses pengusutan kasus Djoko Tjandra memasuki babak baru dengan dicopotnya Brigjen Prasetijo Utomo dari jabatannya. Pencopotan tersebut diduga terkait dengan persoalan Surat Jalan bagi Djoko Tjandra. Selanjutnya, Kajari Jaksel telah dimintai keterangan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkait video pertemuannya dengan Anita Kolopaking. Saat ini pemeriksaannya diambil alih oleh Bidang Pengawasan Kejagung yang dalam waktu dekat akan memeriksa Kajari Jaksel.

MA menyatakan bahwa pertemuan Ketua MA dengan Anita Kolopaking tidak membahas perkara. Walau demikian, koalisi menganggap MA perlu mendalami kejadian ini untuk memastikan tidak ada pelanggaran kode etik yang terjadi. Penjelasan MA tidak menghilangkan kenyataan bahwa sedemikian mudahnya seorang advokat yang mungkin sedang memiliki perkara di pengadilan untuk berada satu ruangan dan mungkin diskusi dengan Ketua MA. Apapun alasannya, MA harus menunjukkan upaya yang lebih serius menjelaskan kejakdian ini kepada publik. Misalnya dengan menelusuri apakah ada pegawai MA yang membawa Anita Kolopaking ke kediaman Ketua MA dalam momen Idul Fitri tersebut.

 

Di sisi lain, sangat disayangkan sampai saat ini tidak ada komentar apapun dari para Komunitas Advokat yang ada di Indonesia. Keheningan dari Komunitas Advokat terkesan membenarkan tindakan Anita Kolopaking sebagai pengacara yang dapat “mempengaruhi” para aparat penegak hukum demi kepentingan kliennya.

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan lembaga pemerintahan dan penegak hukum di atas menunjukan gejala pembobolan hukum dan sistem layanan di Indonesia yang selama ini terus dibenahi oleh pemerintah dan aktivis pada masa reformasi. Lembaga-lembaga yang diberikan kewenangan besar oleh UUD dan UU dan menerima anggaran dari uang rakyat, ternyata mudah diatur oleh seorang buronan terpidana. Sangat wajar jika masyarakat pesimis bahwa lembaga-lembaga tersebut mampu menjalankan fungsi menegakkan hukum, melindungi kepentingan negara, dan hak-hak mereka jika suatu saat mereka harus berhadapan dengan hukum.

Untuk mengembalikan martabat dan kewibawaan sistem hukum di negara ini, Koalisi mendesak dan menuntut hal-hal berikut untuk dilaksanakan sesegera mungkin:

  1. Upaya pengungkapan kasus ini harus dilakukan secara menyeluruh dan hingga tuntas dengan menyelidiki pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab di semua institusi terkait. Kasus ini sangat mencederai upaya pemberantasan korupsi dan memperburuk citra penegakan hukum di Indonesia. Seorang buronan bisa keluar dan masuk wilayah Indonesia dan difasilitasi oleh oknum penegak hukum.
  2. Presiden membentuk Tim Bersama yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyelidiki dan memproses berdasarkan hukum pidana yang berlaku setiap aparat institusi pemerintah dan penegak hukum yang membantu pelarian Djoko Tjandra.
  3. Ditjen Imigrasi mengusut tuntas oknum yang terlibat. Pihak Imigrasi seakan membiarkan begitu saja Djoko Tjandra keluar dan masuk wilayah Indonesia, padahal yang bersangkutan merupakan buronan. Selain itu, dugaan kelalaian lain dari pihak Imigrasi adalah menerbitkan paspor Djoko Tjandra.
  4. Kejaksaan Agung memeriksa Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan terkait kasus Djoko Tjandra secara transparan dan akuntabel.
  5. Ketua Mahkamah Agung harus menjelaskan apa konsekuensi yang dihadapi pegawai yang membawa Anita Kolopaking ke kediamannya, serta langkah yang diambil untuk memastikan kesalahan tersebut tidak akan diulangi dan  ditiru oleh pegawai pengadilan lainnya.
  6. Ketua Organisasi Advokat serta Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang menaungi Anita untuk mendisiplinkan dan mengeluarkan Anita Kolopaking dari keanggotaannya.

Selain terkait penegakan hukum di atas, Koalisi juga menuntut Presiden Joko Widodo untuk segera dan secara sungguh-sungguh melakukan pembenahan kelembagaan administrasi kependudukan yang menyeluruh, dengan cara:

  1. Menyusun keterhubungan data yang memungkinkan identifikasi cepat buronan di titik-titik layanan harus dibarengi dengan mekanisme respon yang memadai, pemutakhiran data yang sewaktu, dan mekanisme pengawasan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran hak tersangka.
  2. Memerintahkan pada Menteri Dalam Negeri untuk membenahi akuntabilitas sistem pencatatan sipil dan pendaftaran penduduk, dari hulu ke hilir, mulai dari pencatatan kelahiran sampai dengan pencatatan kematian, bukan hanya pada soal-soal teknis di permukaan tentang KTP-el.
  3. Memerintahkan pada Menteri Hukum dan HAM untuk membahas RUU Perlindungan Data Pribadi secara serius dan melibatkan ahli serta masyarakat sipil untuk menjamin bahwa interoperabilitas data bila nantinya ada, tidak melanggar hak-hak kebebasan sipil warga dan untuk sebesar-besarnya pencapaian kesejahteraan yang adil.

 

 

Jakarta, 26 Juli 2020

Koalisi Pemantau Peradilan

 

YLBHI, LeIP, PILNET Indonesia, PUSKAPA, ICW, PBHI, IJRS, ICJR, LBH Masyarakat, KontraS, ELSAM, LBH Jakarta, ICEL, PSHK, Imparsial, LBH Apik Jakarta

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *