Kepercayaan Publik Terhadap MK Pada Titik Nadir: Hakim Konstitusi Harus Mundur

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) sebagaimana yang termaktub dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan  tersebut menegaskan bahwa hukum adalah panglima dan instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pancasila sila ke-5). Keadilan bagi semua (justice for all) menjadi terwujud apabila para penegak hukum memiliki integritas dan moral yang baik. Permasalahannya, jika melihat kinerja lembaga penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung yang buruk, membuat masyarakat tidak mempunyai harapan lagi dan kemana harus mencari keadilan.

Pada sisi lain, produk undang-undang yang seharusnya dapat mengartikulasikan maksud konstitusi, dalam praktiknya juga dibajak kesepakatan politik yang menguntungkan para oligarki hitam atau segelintir orang atau kelompok, akibatnya tujuan keadilan makin menjauh dari maksud semula. Pada titik inilah kemudian muncul ide perlunya pengujian terhadap undang-undang terhadap konstitusi guna mengukur apakah undang-undang yang telah dibuat sesuai dengan maksud konstitusi atau tidak. Pertanyaannya siapa yang berwenang dalam menguji undang-undang apabila dirasa bertentangan dengan cita-cita dan tujuan konstitusi? Sedangkan konstitusi sendiri tidak mengatur tentang lembaga apa yang berhak menguji undang-undang terhadap konstitusi.

Bertepatan dengan momentum Reformasi, wacana perlunya sebuah Mahkamah Konstitusi mulai menguat dalam amandemen Undang-Undang Dasar RI 1945. Ide tersebut dilatarbelakangi karena banyaknya undang-undang yang tidak sesuai dengan tujuan dan cita-cita konstitusi. Puncaknya pada tahun 2001, dalam Amandemen Ketiga UUD 1945, perlunya akan sebuah Mahkamah Konstitusi dimasukan dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Harapannya, Mahkamah Konstitusi dapat menjadi institusi yang kredibel dalam memutus pelbagai penyimpangan undang-undang sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Orde Baru.

Tak hanya menguji undang-undang terhadap konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga diberikan kewenangan lain:
Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar;

  • Memutus pembubaran partai politik;
  • Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
  • memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Sebuah kewenangan yang sangat besar, apalagi dengan sifat putusannya yang final dan mengikat. Oleh karena itu, konstitusi kemudian mensyaratkan bahwa orang-orang yang harus ditempatkan di dalam Mahkamah Konstitusi: “harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.”

Seiring dengan berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi kemudian mampu menjadi salah satu produk reformasi yang memberikan harapan para pencari keadilan. Hal itu terkonfirmasi dari antusiasnya masyarakat dalam mengajukan uji materiil maupun sengketa Perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Pada tahun 2012 saja, Mahkamah Konstitusi mencatat jumlah perkara PUU yang diproses sepanjang 2012 adalah sebanyak 169 perkara (59 persen); perkara PHPU kepala daerah sebanyak 112 perkara (39 persen); dan selebihnya perkara SKLN sejumlah 6 perkara (2 persen).

Meskipun kredibilitas MK “terjaga” di hadapan publik, jika dilihat lebih mendalam, sistem yang ada di MK sebenarnya menyimpan bom waktu: 1. Dengan kewenangan yang dimilikinya untuk menguji undang-undang, MK kemudian semena-mena mengeliminir pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dengan putusannya. Akibatnya, hanya Tuhan dan para hakim MK saja yang tahu sejauh apa yang terjadi di dalam MK; 2. Seleksi hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR, MA, dan Presiden untuk menempatkan orang-orang terbaik dan negarawan di MK tersimpangi oleh Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Maksud Konstitusi yang hanya memberikan kewenangan kepada DPR, Presiden dan MA untuk “mengajukan” hakim konstitusi tersimpangi dengan klausa dan praktik “pemilihan” yang dilakukan oleh DPR, Presiden, dan MA. Akibatnya, sejumlah politisi dan orang-orang yang tahu rekam jejaknya masuk ke dalam MK.

Tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang menerima sejumlah uang dalam “membantu” penyelesaian sengketa Pilkada oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 2 Oktober 2013 pukul 21.35 WIB di sebuah rumah Komplek Widya Chandra membenarkan “bom waktu” yang telah tersimpan secara sistemik tersebut. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap MK menjadi runtuh. MK yang digadang-gadang sebagai salah satu keberhasilan produk reformasi tersipak jauh dalam jurang kenistaan. Lebih dari itu, kepercayaan publik terhadap institusi hukum berada pada titik terendah dalam sejarah Indonesia merdeka: publik tidak percaya lagi terhadap satu pun lembaga penegak hukum yang ada.

Berada pada kondisi yang genting dan memaksa ini, sudah seharusnya Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan membuat langkah cepat dan tangap guna menyelamatkan negara ini dari implikasi negatif rendahnya kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang dapat meruntuhkan negara ini. Meskipun meletakan orang terbaik untuk duduk di Mahkamah Konstitusi namun tanpa memperbaiki sistem, hanya akan menyimpan “bom waktu”: menunggu terjadinya Skandal “Akil Mochtar jilid 2”.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka Yayasan LBH Indonesia memandang perlu menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Mendesak KPK untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan yang berkaitan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Ketua Mahkamah Konstitusi RI untuk mengungkap pihak mana saja yang terlibat baik di internal (hakim-hakim konstitusi) maupun eksternal Mahkamah Konstitusi RI.
2. Meminta seluruh Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI masa jabatan 2013-2015 untuk mundur untuk menyelamatkan institusi mahkamah konstitusi dari ketidakpercayaan publik terhadap MK (secara luas: penegakan hukum) dan memudahkan kinerja KPK untuk menyelidiki kemungkinan keterlibatan hakim-hakim konstitusi yang lainnya.
3. Mendesak Presiden RI untuk secepatnya mengeluarkan Perpu, yang berisi:
a. Mengganti seluruh Hakim Konstitusi masa Jabatan 2013-2015;
b. Mengatur kembali seleksi hakim konstitusi sebagaimana maksud konstitusi di mana Presiden, DPR, dan MA hanya mempunyai kewenangan untuk mengajukan nama calon hakim konstitusi.
c. Mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial mengawasi perilaku dan tindakan hakim konstitusi yang tidak sesuai dengan kode etik.

Jakarta, 6 Oktober 2013
YAYASAN LBH INDONESIA

Alvon Kurnia Palma, S.H
Ketua Badan Pengurus

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *